Saksi Hidup Kekejaman Penjajah Jepang


Nama Sutarman, dalam beberapa tahun terakhir ini sering kali menjadi bahan berita karena perannya sebagai saksi hidup kekejaman penjajah Jepang. Media terakhir yang memberitakannya adalah beritasatu.tv. Sebelumnya, sudah ada beberapa media lain yang memberitakannya. Salah satunya adalah Gatra pada edisi No: 52 / XVII tanggal 9 Nov 2011. Seperti ini kutipan lengkapnya.




Romusha dari Sijunjung: Tragedi Sejarah yang Terlupakan

Dalam kurun masa seumur jagung menduduki wilayah Indonesia, tentara Jepang menorehkan sejarah hitam tentang kekejaman. Puluhan ribu rakyat dijadikan romusha dan dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Puluhan ribu warga dari Pulau Jawa dikirim ke Sumatera Barat untuk menerabas hutan dalam pembangunan jalur kereta api dari Muaro Sijunjung ke Pekanbaru.


Entah berapa ribu romusha yang tewas di sana. Yang cukup menyedihkan, banyak warga yang paham tragedi bangsa yang tak kalah dibandingkan kisah romusha di jalur kereta api Burma-Thailand.  dengan langkah pelan dan agak tertatih, lelaki gaek itu datang mendekat. Senyum terus mengembang dari bibirnya yang tipis dan dipenuhi kerut. Dari raut wajahnya, tampak jelas bahwa ia bukanlah warga asli daerah ini. Paling banter, ia pendatang yang sudah lama tinggal di Jorong Silukah, Kecamatan Durian Gadang, yang masuk wilayah Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.


Benar saja. Ketika dikorek, ia mengaku berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. Tepatnya dari Desa Somogede, Kecamatan Wadaslintang. Sudah hampir 70 tahun ia tinggal di Silukah dan beranak-cucu di desa itu. Matanya yang bulat kecil pun tampak berbinar begitu diberitahu bahwa kami datang dari Jawa. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil terus menebar senyum.


Suratman, kakek yang kini berusia hampir 87 tahun itu, bukanlah bekas pekerja tambang batu bara yang memang banyak didatangkan dari Pulau Jawa pada masa penjajahan Belanda. Ia eks romusha yang masih hidup di kawasan Durian Gadang. Ia termasuk sedikit orang yang menjadi saksi kejamnya kerja paksa pada masa singkat penjajahan Jepang. Ia seorang dari puluhan ribu romusha yang bekerja membangun jalur kereta api dari Muaro Sijunjung hingga ke Pekanbaru.


Walau telah banyak lupa tentang detail berbagai peristiwa itu, Suratman masih bisa menuturkan garis besar pengalaman teramat pahit yang dialaminya sebagai romusha. Alkisah, sewaktu berumur 18 tahun, ia direkrut tentara Jepang dari desanya. "Janjinya, saya akan disekolahkan," katanya mengenang kejadian sekitar tahun 1943 itu.


Sekolah? Tentu saja menarik hatinya, lantaran ia memang ingin sekali mengenyam pendidikan. Bersama seorang kawannya bernama Dullah --berusia dua tahun lebih muda-- ia meninggalkan desa dan pekerjaannya sebagai petani. Suratman dan Dullah diangkut ke Ambarawa bersama rombongan dari desa-desa lainnya. Dari Ambarawa, mereka diangkut dengan kereta api ke Jakarta.


Janji untuk bersekolah ternyata cuma bujuk rayu tentara Jepang. Sesampai di Jakarta, Suratman dan rombongan dari Ambarawa langsung digiring ke Pelabuhan Tanjung Priok. Di sana, mereka bergabung dengan ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa yang siap diberangkatkan dengan kapal laut. Tujuannya: Sumatera. Mereka ternyata akan dipekerjakan sebagai romusha. Suratman kemudian tidak tahu lagi nasib Dullah karena mereka terpisah. "Mungkin dia sudah lama meninggal," katanya.

Tragedi di Ngalau Cigak

Setelah lebih-kurang 20 hari berlayar di bawah pengawasan ketat tentara kolonial Jepang, sampailah rombongan itu di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Tak berhenti sampai di situ. Penumpang asal Jawa ini lalu dibagi lagi dalam kelompok-kelompok. Sebagian dinaikkan ke kereta api yang membawa mereka ke Muaro Sijunjung. Suratman masuk dalam kelompok ini.


Di Muaro, ia lalu disatukan dengan ribuan orang yang dikerahkan untuk membangun jalur rel kereta api di ruas Silokek sampai Silukah. Mereka dipaksa menerabas hutan dan mengikis bukit cadas berbekal alat seadanya. Adakalanya tentara Jepang menggunakan dinamit untuk menghancurkan bukit yang akan diratakan. Cara itu banyak pula makan korban. "Kami bekerja siang-malam, seperti tak kenal waktu. Belum ada jalan untuk sampai ke sini," katanya.


Suratman menuturkan pengalaman mengerikan yang masih melekat di benaknya hingga kini. Pada waktu itu, mereka sudah bekerja sampai ke sebuah tebing terjal di kawasan bernama Ngalau Cigak. Pada suatu malam, selagi ratusan orang masih bekerja di kaki tebing, tiba-tiba ia mendengar ledakan dinamit yang berasal dari atas.


Hanya dalam hitungan detik, tebing di atas mereka runtuh. Suratman berhasil menyelamatkan diri, sedangkan banyak sekali romusha lain yang tak sempat menghindar. Mereka tertimpa reruntuhan tebing. Di malam buta itu, ia hanya dapat mendengar teriakan dan rintihan memilukan rekannya senasib sepenanggungan.


Keesokan paginya, ia menyaksikan mayat berserakan. Sebagian ada yang tewas tertimpa pohon. Bau anyir mayat merebak di sana-sini. Sebagian korban ledakan ada yang dikubur, sebagian lagi dihanyutkan begitu saja ke Sungai Kuantan yang merentang di dekat lokasi tersebut. "Bau bangkainya tidak hilang sampai dua bulan," katanya. Sorot mata kakek renta itu pun berubah menunjukkan perasaan ngeri. Selama lebih-kurang dua tahun menjadi romusha, hanya satu tahun ia dipekerjakan di jalur menuju Silukah. Ia sempat mengenyam pengalaman yang sama getir dan mengerikan di kawasan Lipat Kain, yang masuk wilayah Riau.


Selama menjalani kerja paksa, menurut dia, para romusha hanya diberi makan seadanya: sekepalan nasi dengan garam. Pakaian yang mereka kenakan pun hanya karung goni yang dibentuk untuk menutupi badan dan torok --sebutan warga setempat untuk kulit kayu. Kalau sakit, pilihannya hanya dua: mencari obat sendiri dari tumbuhan yang ada atau mati. "Kami tidak boleh saling menolong. Kalau ketahuan, bisa-bisa mendapat hukuman pukulan atau tidak dikasih makan oleh tentara Jepang," tuturnya.


Sekitar setahun setelah Jepang menyerah, Suratman kembali ke Silukah untuk menata kehidupan baru menjadi petani seperti dilakoninya di Jawa dulu. Di Silukah ini pula, kemudian ia menikah dengan perempuan bernama Sinem, warga asli Jorong.


Kisah Romusha Pelarian

Dalam kondisi seperti itu, masuk akal bila banyak romusha yang berusaha kabur. Tapi risikonya harus kehilangan nyawa bila ketahuan.Di antara mereka yang berani mengambil risiko itu dan selamat setelah kabur adalah Turijan. Romusha ini pernah mengerjakan jalur kereta api yang sama yang digarap dari arah Pekanbaru. Pekerja paksa asal Jawa itu ditempatkan sebagai pekerja di sekitar kawasan Sungai Singigi, yang masuk wilayah Kuantan, Riau.


Lekaki yang kini berusia 80 tahun itu mengaku berasal dari Desa Lubang Kidul, yang masuk wilayah Kecamatan Boto, Purworejo, Jawa Tengah. Seperti Suratman, pada saat direkrut tentara Jepang bersama 25 warga desanya, ia diiming-imingi jadi anggota heiho alias tentara. Ketika itu, usianya masih sangat muda: baru menginjak 12 tahun. "Saya dilarang pamit kepada orang tua," katanya.


Persis seperti cerita Suratman, Turijan dan kawan-kawannya kemudian disatukan dengan ribuan calon romusha di Tanjung Priok. Mereka diberangkatkan ke Teluk Bayur dan langsung pula diangkut dengan kereta ke Muaro Sijunjung. Kerjanya setiap hari adalah menggali bukit hingga membuat terowongan dan menimbun lembah untuk landasan jalur rel kereta api.

Ulah tentara Jepang pada waktu itu memang buruk sekali. Para pekerja yang tampak berpangku tangan didera tanpa belas kasihan. Apalagi, penyiksaan itu dipertontonkan di hadapan romusha lain. Tak tahan menerima perlakuan seperti itu dan karena setiap hari dipaksa menyaksikan penyiksaan, bahkan sempat tidak diberi makan, Turijan akhirnya memutuskan kabur. Ia ternyata dapat meloloskan diri. Bersama enam romusha lainnya, ia lari masuk hutan belantara. Ia lepas dari pengawalan ketat tentara Dai Nippon.

Selama dalam pelarian, ia mengaku terus dihantui rasa takut. Sebab tentara Jepang terus memburu mereka yang kabur. Ia tidak berani pula muncul ke dusun-dusun yang ada karena khawatir dilaporkan penduduk setempat. Untuk dapat bertahan hidup selama pelarian, ia dan rekan-rekannya memakan apa saja yang ada di hutan, termasuk daun-daunan yang layak makan.

Pada saat-saat terakhir menjelang Jepang menyerah, Turijan bersembunyi di wilayah sekitar Logas. Petulangan dalam hutan itu mengantarkan dia sampai ke wilayah Loge, sampai akhirnya tiba di Nagari Paru, Kecamatan Sijunjung. Kemudian ia memilih bermukim di Jorong III, tempat tinggalnya hingga kini bersama anak-anak, menantu, serta cucu-cucunya.


Kesaksian Tahanan Perang
Menurut kesaksian Suratman, para romusha yang bekerja dalam kelompoknya semua berasal dari Jawa. Ia tidak tahu bahwa Jepang juga mempekerjakan orang bule ketika membangun jalur kereta api, terutama dari arah Pekanbaru, sejak medio 1944. Jumlah mereka lebih dari 5.000 orang. Sebagian besar romusha kulit putih itu terdiri dari para tahanan perang berkebangsaan Belanda.


 Menurut data yang dikumpulkan George Duffy, sekitar 4.000 tahanan Belanda dipekerjakan sebagai romusha dalam proyek pembangunan jalan kereta api itu. Lalu serdadu Inggris berjumlah sekitar 1.000 orang. Sisanya, 200 serdadu Australia dan 15 tentara Amerika yang dijadikan romusha di jalur Pekanbaru. Jumlah yang tewas sekitar 700 orang. Sebagian besar karena terserang wabah penyakit.

Namun kerja paksa seperti dialami Suratman dan Turijan untuk membangun jalur kereta dari Muaro Sijunjung ke Pekanbaru itu jelas bukan isapan jempol. Sejumlah studi yang dilakukan beberapa pakar asing menguatkan cerita kekejaman tersebut. Saking menyeramkan perlakuan tentara Jepang, sampai ada yang menyebutnya sebagai pembangunan jalur kereta api maut menembus hutan belantara.

Salah satu rujukan yang menguatkan cerita mereka adalah karya sejarawan Henk Hovinga, The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe 1943-1945. Menurut dia, penelitian mendalam yang dilakukan Pemerintah Belanda menemukan bukti bahwa lebih dari setahun sebelum kedatangan para tahanan itu, terdapat romusha yang mengerjakan pembangunan jalur kereta tersebut yang didatangkan dari Jawa. Sekitar 80% dari mereka hilang, tidak kembali ke kampung halamannya, dan tewas di lokasi kerja.

Memang belum ada angka resmi berapa jumlah sesungguhnya romusha yang dikerahkan untuk membangun jalur kereta api sepanjang lebih-kurang 220 kilometer itu. Tapi diperkirakan setidaknya 30.000-50.000 orang yang menggarap penebangan pohon dan meratakan tanah untuk tempat bantalan dan bentangan rel kereta api. Dari jumlah tadi, tidak diketahui benar berapa seungguhnya romusha yang menemu ajal karena dibunuh, mengalami kecelakaan, atau terserang penyakit.

Penerapan Strategi Kolonial
Sejatinya, jalur kereta itu sudah akan dibangun Pemerintah Belanda di negeri terjajah ini. Badan perkeretaapian milik pemerintah, Staats Spoorwegen, malah sudah membuat peta rencana pembangunannya. Tapi, konon, karena tak ada dananya akibat krisis yang melanda Negeri Belanda, pembangunan jalur kereta itu terpaksa dibatalkan. Jepang yang menemukan dokumen Belanda itu melanjutkan rencana untuk tujuan strategis perang. Ada yang menyebutkan, sekitar 85% jalur yang dibangun Jepang di bawah pengawasan Angkatan Darat ke-25 itu mengikuti rencana induknya. Rute dibangun untuk menghubungkan Padang dengan sisi timur Sumatera, terutama sambungan rel dari pusat batu bara di Sawahlunto ke Pekanbaru.

Menurut sejarawan dari Universitas Andalas, Gusti Anan, pembangunan jalur kereta api itu benar-benar diperlukan Jepang. Selama perang berkecamuk, Jepang membutuhkan logistik dalam jumlah sangat besar dan bisa dikirim dalam waktu cepat untuk memenuhi kebutuhan serdadunya. Batu bara dan minyak jarak juga merupakan komoditas amat penting untuk mendukung perang. "Sijunjung di mata Jepang adalah wilayah penghasil batu bara," ujar dia.

Gusti Anan bercerita, Jepang secara khusus mengapalkan rel-rel yang dibutuhkan dari Jawa. Batangan rel yang dinilai tak diperlukan lagi kemudian diangkut ke Padang, lalu sebagian diangkut ke kawasan Muaro Sinjunjung. Demikian pula lok dan gerbongnya dibawa dari Medan dan Semarang. "Wajar saja bila rel-rel itu sulit diidentifikasi asal-usulnya," katanya.

Untuk mewujudkannya, Jepang menerapkan konsep yang sama dengan pembangunan jalur kereta yang diterapkan di jalur Burma-Thailand. Jalur kereta di "negeri gajah putih" itu selesai dibangun dalam tempo kurang dari dua tahun dan mengerahkan puluhan ribu romusha. Belakangan, kisah memilukan yang melintas tapal batas dua negara itu diangkat ke layar lebar lewat film berjudul The Bridge of River Kwai. Kepiluan yang berlangsung di jalur kereta api Muaro Sijunjung kePekanbaru itu tak kalah ketimbang yang tergambar dalam film tadi.

Selain itu, romusha boleh dibilang merupakan strategi kolonial yang diterapkan Jepang dengan menempatkan pekerja non-lokal di kawasan yang ia duduki. Tujuannya, untuk mengantisipasi agar mereka tidak kabur. Begitu pula sebaliknya, penduduk lokal direkrut dan dikirimkan untukbekerja di daerah lain. Mereka dipindahkan ke Bukittinggi, Bangkinang,Padang, atau Pariaman. Dengan begitu, kecil kemungkinan mereka larisecara perseorangan. Siasat lain yang dijalankan Jepang adalah merekrut penduduk setempat untuk dijadikan romusha. Walau berstatus sama dengan mereka yang berasal dari Jawa, tentara Jepang memperlakukan romusha lokal secara lebih baik. "Sikap mereka umumnya lebih manusiawi," katanya lagi.

Tragedi Sejarah yang Terlupakan
Dalam banyak catatan yang tersebar di internet disebutkan, pembangunan jalur kereta api itu selesai seluruhnya pada 15 Agustus 1945. Lokomotif dan gerbong-gerbongnya belum sempat digunakan untuk tujuan semula: mengangkut batu bara ke Pekanbaru. Walhasil, kereta api itu dipakai untuk membawa para tahanan perang dari kamp-kamp kerja paksa ke Pekanbaru. Setelah itu, sejak September 1945, bentangan rel itu menjadi jalur mati alias tak terpakai sama sekali.

Amat disayangkan, kini jejak sejarah kelam romusha itu sebagian besar sudah lenyap. Yang tersisa kini hanya beberapa saksi hidup, seperti Suratman dan Turijan. Sedangkan bukti fisiknya kini tinggal lokomotif yang dijadikan monumen sejarah: satu di Silokek dan satu lagi di Pekanbaru.

Jalur rel kereta yang dibangun dengan keringat dan darah para romusha telah lenyap. Batangan relnya yang memanjang sejauh 220 kilometer menguap entah ke mana. Ini semua membuat tragedi sejarah yang membentang dari Muaro Sijunjung hingga Pekanbaru seakan ikut terlupakan.

Yang lebih menyedihkan adalah kesan yang diguratkan penulis Belanda, Rudy Kousbroek, yang pernah datang ke monumen bersejarah di Pekanbaru.Ketika ia datang, tak seorang pun warga setempat yang tahu asal-usul lokomotif yang ada di tengah-tengah mereka. "Andaikan tak ada bekas tahanan perang Eropa yang datang dan menyadarkan, boleh jadi tidak seorang pun dari mereka mengenang drama yang terlupakan ini," tulis dia.

Saksi Bisu yang Merana
Sekilas, lokomotif uap yang teronggok di sisi kiri salah satu ruas jalan Jorong Silukah itu tampak seperti besi rongsokan. Yang tersisa tinggal bagian kepala dan ruang pembakarannya, sedangkan ruang masinisnya telah lenyap sama sekali. Dari yang ada, beberapa bagiannya pun sudah termakan karat.

Kalaulah tak ada papan peringatan di dekatnya, boleh jadi tidak ada yang menyangka, loko uap itu menyimpan seribu misteri tentang romusha dan kekejaman tentara Jepang di masa silam. Dari warna hijau yang samar terlihat, loko itu tampaknya kendaraan angkut militer. "Saya menduga, jalur kereta api Muaro Sijunjung ke Pekanbaru ini juga digunakan untuk mengangkut senjata," ujar Paldi Muhendra.

Lelaki yang kerap disapa Mak Pado ini boleh dibilang sosok yang paling gigih menjaga keberadaan benda bersejarah itu. Berawal dari kabar yang beredar di kalangan penduduk soal loko yang ditemukan warga ketika bergotong royong membangun jalan pada 1980-an. "Sekitar tahun 1990, saya sering memancing di sana. Pada saat itulah saya diberitahu tentang penemuan mereka," katanya.

Awalnya, ia tidak percaya. Bagaimana ceritanya ada lokomotif terkubur di tanah Silokek. Jalur rel keretanya tidak ada. Tapi, karena penasaran, ia lantas menelusuri kebenarannya. Bersama beberapa kawannya sesama penggiat teater, ia mendatangi lokasi itu untuk mengecek kondisi benda kuno tersebut. "Ternyata cerita warga benar.

Lokomotif itu terkubur di kedalaman hingga dua meter. Yang kelihatan baru kepalanya saja," ujar Kepala Seksi Budaya di Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten (Parsenibudpora) Sijunjung itu.

Sejak membuktikan penemuan itu, Paldi mulai proaktif. Ia khawatir, benda bersejarah itu hancur atau diganggu tangan-tangan jail. Ia pun berusaha meyakinkan pemerintah daerah untuk mengangkat dan melindungi benda tadi. "Gagasan saya dianggap gila, kayak tidak ada pekerjaan lain mengangkat baja seberat itu," katanya, disusul derai tawa.

Gagasannya baru mulai terwujud pada tahun 2000. Pemerintah daerah mulai memberi perhatian. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar pun mulai mengkaji keberadaan loko itu lima tahun kemudian, bekerja sama dengan Dinas Parsenibudpora Sijunjung. Selang setahun, Pemda Sijunjung menggelontorkan dana Rp 45 juta untuk biaya pengangkatan loko itu, sekaligus pembuatan landasannya.

Setelah terangkat, sempat muncul perdebatan soal penempatan. Ada rencana menempatkan loko tua itu sebagai monumen di simpang Logas, yang berjarak sekitar 17 kilometer dari lokasi penemuan. Rencana lain, menjadikannya sebagai monumen di lokasi penemuan. "Walhasil, benda itu tidak dipindahkan, mengingat aspek sejarah dan faktor besarnya biaya jika dipindahkan ke Simpang Logas," katanya lagi.

Rupanya, cerita penemuan loko itu mengawali perjumpaannya dengan Suratman, mantan romusha saksi sejarah pembangunan jalur kereta api di kawasan itu. Setiap kali singgah di Silokek, ia kerap berpapasan dengan lelaki gaek tadi. Ia curiga, raut mukanya tidak memperlihatkan wajah orang asli Silokek. Selidik punya selidik, ternyata benar. Pak Suratman adalah orang Jawa yang pada zaman Jepang dipaksa bekerja di situ.

Klop. Dari perbincangan dengan lelaki tua asal Desa Somogede, Wonosobo, itu, Mak Pado bisa merangkai cerita tentang keberadaan loko uap tadi. Benar, rupanya Silokek pernah dilewati rel kereta api yang menghubungkan Muara Sijunjung dengan Pekanbaru. "Sayang, seluruh relnya sudah musnah," kata Pado.

Menurut kabar yang beredar, pengangkatan rel itu diborongkan kepada pengusaha dari Jakarta pada 1970-an. Loko berukuran panjang 8,83 meter, lebar 2,35 meter, dan tinggi 2,94 meter itu kini berdiri di atas landasan beton tanpa rel. Saksi bisu kekejaman Jepang itu tampak masih agak merana, walau sudah ada atap seng yang melindunginya dari sengatan sinar matahari dan terpaan hujan. Seluruh tubuhnya bisa kian termakan karat karena tak dilapisi pelindung.

Pampasan Perang untuk Rakyat
Ada satu harapan yang sangat didambakan Suratman, seorang dari sekian banyak mantan romusha di negeri ini. Tidak seperti kasus para jugun ianfu, yang biasa disebut perempuan penghibur, ia merasa hak-hak para romusha pun pantas diusahakan. "Saya mohon perhatian dari pemerintah, tolong perjuangkan hak-hak kami juga," ujarnya lirih sesaat sebelum kami berpisah.

Entah berkaitan entah tidak dengan harapan Suratman, sekitar 50 tahun silam, Pemerintah Jepang meneken kesepakatan untuk membayar pampasan perang kepada Indonesia. Ada beberapa poin penting yang tertuang dalam perjanjian itu. Jepang bersedia membayar pampasan senilai US$ 223,080 juta dalam jangka 20 tahun, di samping membatalkan tagihannya kepada Indonesia senilai US$ 117 juta. Selain itu, pemerintah Tokyo mengusahakan pinjaman jangka panjang US$ 400 juta.

Dalam butir kedua catatan tambahan pelaksanaan persetujuan pampasan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1958 itu, ada hal yang menarik disimak. Disebutkan, pemerintah mengakui tekanan penderitaan yang merata pada seluruh bangsa Indonesia selama pendudukan Jepang.

Lalu, dikatakan pula, hasil pampasan perang dan kerja sama ekonomi itu bukan merupakan penggantian yang diderita rakyat secara terperinci.Yang terakhir menyebutkan, hasil pampasan perang dan kerja sama ekonomi digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan kehidupan seluruh rakyat Indonesia secara merata.

Realisasinya kemudian, sebagian hasil pampasan tadi dimanfaatkan untuk membangun sejumlah proyek. Yang paling terkenal adalah pembangunan Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, dan Hotel Bali Beach di Bali. Bangunan lain yang menjadi saksi bisu hasil pampasan perang juga berlokasi di Jakarta, yakni Toserba Sarinah.

Di Sumatera, tercatat beberapa proyek yang dibangun dengan dana pampasan perang itu. Sebut saja Jembatan Ampera di Palembang, yang selesai dibangun pada 1965 dengan biaya US$ 11,72 juta. Sedangkan di Jawa Timur, tercatat pembangunan terowongan pengendali air di Tulungagung, yang selesai dibangun pada 1961 dengan biaya US$ 1,97 juta.

Masih banyak lagi proyek lain yang dibiayai dengan hasil pampasan perang. Diperkirakan ada sekitar 36 proyek. Tapi, pertanyaannya, apakah kemanfaatan seluruh proyek itu kemudian menyentuh kepentingan para korban kekejaman tentara Jepang dalam masa pendudukan? Tampaknya harapan yang lama terpendam dalam dada Suratman akan tetap terkubur selamanya.


Tags: