Bila Hutan Menjadi Emas Perekonomian dan Sumber Bencana

Oleh : Sutrisno Budiharto | 08-Okt-2008, 08:41:08 WIB

ALAM Indonesia terkesan makin kurang bersahabat menyusul banyaknya peristiwa bencana alam yang melanda berbagai daerah Indonesia dalam beberapa tahun ini. Bahkan, WALHI – salah satu Organisasi Non Pemerintah (Ornop) bidang lingkungan – sampai mengangkat laporan khusus berjudul “Republik Bencana” terkait banyaknya peristiwa bencana alam di Indonesia antara tahun 2006-2008. Menurut laporan WALHI, antara tahun 2006-2008 sedikitnya telah terjadi 840 peristiwa bencana alam . Sedang periode sebelumnya, antara 1998 hingga 2003 tercatat sebanyak 647 bencana (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003) Dan data bencana dari Bakornas Penanggulangan Bencana antara tahun 2003-2005 tercatat terjadi 1.429 bencana (RAN PRB 2006-2009; UNDP – 2006). Artinya, antara 1998 hingga 2008 terdapat indikasi peningkatan peristiwa bencana. Pada periode 1998-2003 rata-rata peristiwa bencana masih berkisar 108 bencana per tahun, tapi pada periode 2003-2005 rata-rata peristiwa bencana naik menjadi 476 bencana per tahun. Dan pada periode 2006-2008 rata-rata peristiwa bencana menjadi 420 per tahun. Sedang jenis bencana terbanyak adalah berupa banjir dan tanah longsor (lihat tabel-1).

Tabel-1: Jumlah Bencana Alam di Indonesia 1998-2008
---------------------------------------------------------------------------
TAHUN : JUMLAH : RATA-RATA : JENIS BENCANA
: BENCANA : PER TAHUN : TERBESAR
---------------------------------------------------------------------------
1998-2003 : 647 :108/ tahun : Banjir dan Longsor 85 %
2003-3005 : 1.429 : 476/tahun : Banjir 34,1 % & Longsor 16%
2006-2008 : 840 : 420/tahun : Banjir dan Longsor 58%
---------------------------------------------------------------------------
Sumber data: Bakornas Penanggulangan Bencana; WALHI April 2008 dan RAN PRB 2006-2009 (diolah penulis)

Banyaknya peristiwa bencana banjir dan tanah longsor di Indonesia tersebut tentu menjadi sebuah ironi. Padahal, sejak dulu Indonesia disebut-sebut kaya dengan sumber daya alam hutan dan punya peran penting sebagai paru-paru dunia dalam menjaga keseimbangan ekosistem di planet bumi. Menurut peta vegetasi Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950, sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu masih tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan (ISAI-2004) Tidak hanya itu, kekayaan tumbuhan Indonesia juga termasuk dalam lima besar negara terkaya dengan lebih dari 38.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi (Sunarto; SINAR HARAPAN, 21 Januari 2004) .

Tapi kenapa di balik kekayaan alam itu Indonesia kini justru juga terkesan 'kaya' dengan bencana banjir dan tanah longsor? Salah satu faktor yang dituding sebagai penyebab timbulnya bencana banjir dan tanah longsor itu adalah akibat terjadinya degradasi lingkungan terkait tingginya kerusakan hutan di Indonesia. Lantas, ada apa dengan pengelolaan hutan di Indonesia?

● Kaya Dalam Ancaman Bencana dan Kemiskinan
Jika menyimak peta vegetasi yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950, luas hutan Indonesia terbilang masih sangat tinggi, yakni mencapai 84 persen luas daratan Indonesia atau mencapai seluas 162.290.000 hektar (ISAI-2004). Namun kekayaan hutan Indonesia itu cenderung makin menyusut tiap tahun.

Kebijakan pemerintah Orde Baru yang memberikan izin pengusahaan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) merupakan babak baru terjadinya sistim eksploitasi hutan. Hingga tahun 2000, jumlah HPH di Indonesia mencapai 600 unit dengan areal hutan produksi seluas 64 juta hektar. Semakin banyaknya jumlah unit HPH yang beroperasi di Indonesia, juga diikuti semakin meningkatnya jumlah kayu yang ditebang. Pada periode tahun 1960-1965 saja sebanyak 2,5 juta m3 log ditebang, tahun 1970 sebanyak 10 juta m3 log, dan tahun 1987 sebanyak 26 juta m3 log ditebang. Akibatnya, laju kerusakan hutan (deforestasi) pada tahun 1985 sudah mencapai antara 600.000 ha hingga 1,2 juta ha per tahun (Prof San Afri Awang; UGM-2007) .

Menurut hasil survei pemerintah dan Bank Dunia pada 1999, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar hingga kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya Pada periode 1997–2000 ditemukan fakta baru lagi bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun atau dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980(ISAI 2004). Sementara Togu Manurung – dari Forest Wacth Indonesia (FWI) -- menilai, laju kerusakan hutan di Indonesia antara tahun 2001 hingga 2003 sudah mengkhawatirkan, bahkan dianggap terparah di planet Bumi, karena tingkat kerusakannya mencapai 4,1 juta hektare/tahun (GATRA; 2003) .

Hasil penelitianCenter for International Forestry Research (CIFOR) 2008. menyebutkan, ada dua faktor pendorong yang menyebabkan deforestasi, yai tu faktor pendorong secara langsung dan faktor pendorong tidak langsung. Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan yang tidak dapat dikendalikan. Penyebab tidak langsung, dipengaruhi oleh persoalan sosial-ekonomi dan politik, antara lain adalah kegagalan pasar (misalnya penetapan harga kayu yang terlalu rendah), kegagalan kebijakan (misalnya pemberian ijin HPH selama 20 tahun yang tidak menjadi insentif untuk melakukan penanaman pengkayaan) .

Tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonsia itu tentunya tak bisa diremehkan bila dikaitkan adanya indikasi peningkatan bencana alam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini; baik itu berupa bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan (pemanasan global). Sebab, jika korelasi antara tingginya kerusakan hutan dan gejala peningkatan bencana di Indonesia ini tidak disikapi serius bisa berpotensi meningkatkan ancaman naiknya angka kemiskinan. Kenapa demikian? Dampak bencana bukan hanya menimbulkan korban jiwa atau material (akibat kerusakan infrastruktur dan harta benda penduduk), tapi juga bisa mendorong timbulnya krisis sosial ekonomi (akibat adanya kerusakan pertanian, banyaknya gangguan kesehatan, gangguan ketersediaan pangan maupun adanya penurunan pendapatan masyarakat) yang pada akhirnya bisa menyebabkan peningkatan kemiskinan. Potensi ancaman bencana terhadap kemiskin ini pernah dikaji secara khusus oleh United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia dalam buku berjudul “Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya” (UNDP – 2007).

Padahal, jika melihat angka Human Development Index (HDI/diukur berdasar tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan), Indonesia kini masih tergolong tertinggal jika dibandingkan dengan para negara tetangga (Sri Mulyani Indrawati - 2005) . Di sisi lain, Indonesia juga termasuk dalam kelompok negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi (Transparancy International) . Sementara angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi (sekitar 40 juta jiwa) dan ada indikasi peningkatan dari 16,0 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006 (Pengumuman BPS September 2006). Karena itu, upaya penyelamatan hutan di Indonesia tentunya tidak boleh hanya dipandang dengan sebelah mata, jika tak ingin menimbulkan persoalan dilematis di kemudian hari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sampai sejauh manakah upaya penyelematan hutan di Indonesia?

● Upaya Penyelamatan Hutan dan Kendala
Selama masa reformasi (pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru 1998) kebijakan pemeritah dalam penyelamatan hutan memang sudah menerapkan konsep partisipatif dengan melibatkan masyarakat, sesuai dengan prinsip-prinsip Good Governance (“Tata Pemerintahan yang Baik; Dari kita untuk kita”; Partnership for Governance Reform in Indonesia). Paling tidak, hal itu bisa dilihat adanya upaya pengelolan hutan berbasis masyarakat. Selain itu, sejak 2001 pemerintah telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan; Pada tahun 2003 Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan). Ada juga upaya rehabilitasi hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang mulai digalakan sejak 2003 hingga sekarang.

Hanya saja, langkah penyelamatan hutan selama masa reformasi dinilai belum belum berjalan baik. Hasil penelitian CIFOR menyebutkan bahwa proyek rehabilitasi hutan selama tiga dasa warsa terkahir ini dinilai belum membuahkan hasil yang signifikan meski anggaran rehabilitasi hutan yang telah dialokasikan sejak 1970-an, sudah mencapai 85% dari total anggaran kehutanan. Target pemerintah untuk merehabilitasi 18,7 juta ha dari tahun 1970-an hingga tahun 2004 tidak tercapai, sehingga sisa hutan terdegradasi yang seharusnya 24,9 juta ha, justru menjadi dua kali lipat yaitu 43,6 juta ha.(CIFOR -2008). Sebaliknya, laju kerusakan hutan Indonesia selama masa reformasi justru meningkat karena tingkat kerusakan hutan antara tahun 2001 hingga 2003 mencapai 4,1 juta hektare/tahun -- seperti yang diungkap Togu Manurung (Forest Wacth Indonesia /FWI). Sedang kemampuan Pemerintah untuk merehabilitasi hanya sampai 700.000 ribu hektar per tahun (Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; KOMPAS, 11 September 2008).

Dengan kata lain, derasnya tuntutan reformasi politik di Indonesia yang bergulir sejak 1998 lalu ternyata belum memberikan api semangat yang bersungguh-sungguh dalam upaya penyelamatan hutan di Indonesia. Pendek kata, upaya penyelamatan hutan di Indonesia selama masa reformasi ini rupanya masih menghadapi kendala yang makin kompleks. Dari berbagai kajian dokumen berhasil diidentifikasi bahwa kendala yang dihadapi dalam penyelamatan hutan di Indonesia dapat dibagi dalam berbarapa faktor, yakni;

1. Kesadaran Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Masih Rendah. : Rendahnya kesadaran masyarakat ini setidaknya berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi yang masih dililit tingginya angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kualitas SDM, banyaknya angka pengangguran. Tekanan terhadap keseimbangan ekosistem memang bisa datang dari warga miskin sekitar hutan hanya demi keberlangsungan hidup mereka sehari-hari. Akan tetapi, tak jarang kerusakan ekosistem suatu kawasan lebih disebabkan ”serbuan” para pendatang dengan alasan ekonomi skala besar. Dalam konteks ini, para pengusaha pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) dan pemegang izin pembukaan perkebunan skala besar ikut memberi andil yang tidak kecil atas kerusakan hutan dan lahan di berbagai wilayah di Tanah Air (Bangsa yang Abai dan Pelupa; KOMPAS- 25 Januari 2008).

2. Pemerintah Kurang Tegas dan Inkonsisten:
Kebijakan penyelamatan hutan tidak dilaksanakan secara konsisten. Pada hakekatnya kebijakan rehabilitasi sudah dikonsepsikan dengan baik oleh pemerintah, namun pada prakteknya pelaksanaannya kurang baik, umumnya karena adanya peraturan yang saling bertentangan, serta tidak jelasnya instansi yang berwenang atau bertanggung jawab atas koordinasi di lapangan. Anehnya, di tengah tingginya kerusakan hutan dan banyaknya bencana ini pemerintah justru 'mengobral' hutan dengan harga murah melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008. Dengan PP No.2/2008 tersebut para pemodal diberi keleluasaan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain hanya dengan membayar pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 3 juta per hektar per tahun (atau antara Rp 120 hingga Rp 300 per meter). PP itu tentunya berpotensi menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat (“Mewaspadai PP No.2/2008”; BALI POST, 25 Pebruari 2008). PP 2/2008 juga sangat kontradiksi dengan pasal 3 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Padahal, berdasar aturan UU 26/2007 tersebut, penataan ruang seharusnya dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah Indonesia yang rentan terhadap bencana dan fungsi utama kawasan lindung serta kawasan budi daya (UU Nomor 26 Tahun 2007; Bakornas PB -2007).

3. Kuatnya Fenomena Budaya KKN dan Suap: Tingginya tingkat korupsi di Indonesia sering disorot lembaga internasional, seperti sering dilaporkan oleh Tranparancy International. Bahkan, Yongky Karman (Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta) mengkhawatirkan adanya gejala 'darurat moralitas publik' di Indonesia terkait fenomena korupsi dan penegakan hukum di Indonesia (Moralitas Publik; KOMPAS – 20 September 2008). Dalam konteks pengelolan hutan Indonesia, setidaknya juga tak lepas dari ancaman KKN dan suap. Berita-berita pers tentang kaburnya pengusaha pelaku Illegal Loging dan kasus suap anggota DPR terkait pengelolan hutan merupakan contoh kongkrit bahwa KKN dan suap juga bisa menjadi kendala yang tak bisa diremehkan dalam upaya penyelatan hutan di Indonesia.

4. Lemahnya Pengawasan (Monitoring): Lemahnya pengawasan penebangan hutan merupakan salah faktor yang mendorong tingginya kerusakan hutan di Indonesia. Penebangan hutan berlebihan, tapi pengawasan lapangan kurang. (Profesor Doktor Soekotjo (UGM); TEMPO Interaktif 2004). Kurangnya pengawasan ini juga terjadi pada proses rehabilitasi hutan. Dari berbagai berita media massa dan kajian CIFOR terungkap bahwa lemahnya pengawasan menyebabkan proses rehabilitasi hutan mengalami kurang berjalan optimal dan tidak tepat sasaran. Ironisnya, menurut berita berbagai media massa, anggota DPR yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan justru ada yang terlibat kasus dugaan suap dalam pengelolaan hutan.

● Solusi Penyelamatan Hutan
Masih banyaknya kendala yang dihadapi dalam upaya penyelamatan hutan itu semakin memperkuat asusmsi bahwa hutan Indonesia tetap dianggap sebagai emasnya perekonomian. Artinya, hutan tetap dijadikan sebagai ladang tempat mendulang uang, tapi dampak buruk atas kerusakannya masih kurang diperhatikan serius. Untuk itu, upaya penyelamatan hutan di Indonesia harus diperkuat dengan melibatkan berbagai pihak (multi pihak); baik itu pemerintah, akademisi, masyarakat, media massa dan kalangan pengusaha. Paling tidak, ada beberapa strategi yang perlu ditempuh untuk penyelamatan hutan, yakni;

1. Memperkuat sinergisitas program penyelamatan hutan: Pemerintah (eksekutif dan legislatif) perlu memperkuat kerja-kerja sinergis dengan lembaga di luar pemerintah (baik itu kalangan akademisi, masyarakat (termasuk LSM/Ornop), media massa dan kalangan pengusaha dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Governance (“Tata Pemerintahan yang Baik; Dari kita untuk kita”; Partnership for Governance Reform in Indonesia). Kerja-kerja sinergis ini sangat diperlukan guna mewujudkan program-program penyelamatan hutan yang dilakukan secara partisipatif, terencana, integratif, dan berkelanjutan. Sehingga upaya penyelamatan hutan tidak berjalan parsial (sepotong-potong), tumpang tindih, dan kurang tepat sasaran. Karena itu, langkah ini harus disertai penguatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan sumber data-informasi. Hal ini untuk memperkuat kompetensi aparatur pemerintah dan masyarakat serta mewujudkan validitas data base kehutanan (karena sebelumnya data pemerintah seringkali berbeda dengan data dari lembaga non-pemerintah).

2. Penataan regulasi dan mempertegas hukum: Segala aturan hukum dan kebijakan pemerintah yang kontradiksi dengan upaya penyelamatan lingkungan perlu dievaluasi dan direvisi. Contohnya, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 setidaknya perlu direvisi agar tidak kontradiksi dengan upaya rehabilitasi hutan dan kawasan lindung. Sedang pelaku illegal loging maupun pengrusak lingkungan harus ditindak tegas dan mendapat hukuman berat untuk memberikan efek jera. Setidaknya proses penegakan hukum di Indonesia mestinya tidak memakai konsep hukum negara otoriter yang cenderung menggunakan hukum hanya sebagai alat untuk menindak rakyat pelaku kriminal ketimbang pejabat (Dennis F Thompson; Political Ethics and Public Office).

3. Memperkuat monitoring pengelolaan hutan: Salah satu faktor yang mendorong tingginya kerusakan hutan di Indonesia adalah lemahnya pengawasan dalam pengelolaan hutan maupun proses rehabilitasi. Sedang monitoring yang dilakukan lembaga pemerintah seringkali dinilai hanya berjalan untuk memenuhi standar formalitas sehingga sangat rawan KKN dan suap. Karena itu, pengawasan dalam pengelolaan hutan harus diperkuat dengan menerapkan pengawasan silang yang melibatkan kalangan akademisi, masyarakat (termasuk LSM/Ornop), media massa dan kalangan pengusaha. Pengawasan yang melibatkan multi pihak ini setidaknya bisa mendorong terwujudnya Clean Governance dan mengikis budaya KKN atau suap dalam pengelolaan hutan..

4. Memperkuat budaya cinta lingkungan: Dari berbagai penelitian ada asusmsi bahwa tingginya permintaan kayu dan masih lemahnya kondisi sosial ekonomi Indonesia cenderung mendorong berbagai pihak untuk menjadikan kawasan hutan sebagai ladang eksploitasi tempat mendulang uang, tapi dampak buruk atas kerusakannya masih kurang diperhatikan serius. Selama ini pemerintah memang pernah melakukan gerakan penanaman sejuta pohon. Tapi gerakan penanaman sejuta pohon itu masih terkesan simbolik, hanya ramai dalam tingkat acara seremonial pejabat saja, tapi masih sulit dilihat hasil positifnya. Untuk itu, penguatan gerakan budaya cinta lingkungan merupakan sebuah langkah yang perlu ditempuh sebagai upaya penyelamatan hutan. Mengingat komplesknya persoalan pengelolaan hutan, maka gerakan budaya cinta lingkungan ini perlu diperluas sasarannya kepada semua unsur, baik itu aparatur pemerintah, kalangan pengusaha hingga ke tingkat kelompok masyarakat adat maupun kelompok agama. Banyak strategi yang bisa ditempuh untuk memperkuat budaya cinta lingkungan ini, antara lain adalah melalui pendekatan pendidikan sekolah (wajib tanam pohon di sekolah dan pengembangan kurikulum cinta lingkungan), pendidikan kelompok agama/spiritual adat dengan menggali nilai-nilai hak azazi alam melalui ekoteologi (ajaran agama) maupun ekosofi (filsafat).

Beberapa tawaran solusi di atas, hanya sebuah jalan alternatif untuk mengantisipasi dampak buruk atas kerusakan hutan di Indonesia. Pendekatan strategis melalui aspek regulasi dan hukum memang perlu didukung dengan pendekatan spiritual/moralitas. Celakanya, dalam perkembangan budaya modern ini, kepentingan ekonomi praktis seringkali menenggelamkan nilai-nilai moralitas dan spiritual (agama/filsafat). Tapi haruskah moralitas dan spiritual kita juga tenggelam bersama lautan bencana dan hancurnya kekayaan hutan? Pertanyaan ini memang masih sulit dijawab. Yang jelas, penyair Taufiq Ismail sudah memberikan peringatan: "... Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang sambil main pingpong di atas Pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan..." (Taufiq Ismail, ”Kembalikan Indonesia Padaku", 1971). Semoga saja, moralitas kita tidak sampai tenggelam akibat kerusakan hutan dan badai bencana. (***)