Mengenal Makna Relief Candi Borobudur

Arsitektur Candi Borobudur diyakini memiliki makna penting tentang pemahaman manusia terhadap kehidupan dunia dan keyakinan religi manusia pada masa pembangunannya. Selain sebagai lambang alam semesta dengan pembagian vertikal (Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu), Candi Borobudur juga mengandung maksud tertentu yang dilukiskan melalui relief-relief ceritanya.
wikipedia.org

Menurut catatan Balai Konservasi Borobudur, dalam bangunan Candi Borobudur terdapat 1.460 panil relief cerita (tersusun 11 deretan mengitari bangunan candi)  dan relief dekoratif (berupa relief hias) sebanyak 1.212 panil.


Relief cerita pada tingkat Kamadhatu (kaki candi) mewakili dunia manusia menggambarkan perilaku manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi. Hal ini terlihat pada dinding kaki candi yang asli terpahatkan 160 panil relief  Karmawibhangga yang menggambarkan hukum sebab akibat. Tingkat Rupadhatu (badan candi) mewakili dunia antara, menggambarkan perilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, akan tetapi masih terikat oleh suatu pengertian dunia nyata. Pada tingkatan ini dipahatkan 1.300 panil yang terdiri dari relief Lalitavistara, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha. Sedang pada tingkat Arupadhatu tidak ada relief, melainkan terdapat patung-patung

Berikut uraian singkat dari relief tersebut:

 Tingkat I

Dinding atas relief Lalitavistara (120 panil). 
Bas-reliëfs van de verborgen voet van de Borobudur (1890-1891) 
[foto Kassian Cephas -repro koleksi Museum van Volkenkunde]


Relief Lalitavistara menggambarkan riwayat hidup Sang Buddha Gautama dimulai pada saat para dewa di surga Tushita mengabulkan permohonan Bodhisattva untuk turun ke dunia menjelma menjadi manusia bernama Buddha Gautama. Ratu Maya sebelum hamil bermimpi menerima kehadiran gajah putih dirahimnya. Di Taman Lumbini Ratu Maya melahirkan puteranya dan diberi nama pangeran Sidharta. Pada waktu lahir Sidharta sudah dapat berjalan, dan pada tujuh langkah pertamanya tumbuh bunga teratai. Setelah melahirkan Ratu Maya meninggal, dan Sidharta diasuh oleh bibinya Gautami. Setelah dewasa Sidharta kawin dengan Yasodhara yang disebut dengan dewi Gopa.


Dalam suatu perjalanan Sidharta mengalami empat perjumpaan yaitu bertemu dengan pengemis tua yang buta, orang sakit, orang mati membuat Sidharta menjadi gelisah, karena orang dapat menjadi tua, menderita, sakit dan mati. Akhirnya Sidharta bertemu dengan seorang pendeta, wajah pendeta itu damai, umur tua, sakit, dan mati tidak menjadi ancaman bagi seorang pendeta. Oleh karena menurut ramalan Sidharta akan menjadi pendeta, maka ayahnya mendirikan istana yang megah untuk Sidaharta. Setelah mengalami empat perjumpaan tersebut Sidharta tidak tenteram tinggal di istana, akhirnya diam-diam meninggalkan istana. Sidharta memutuskan enjadi pendeta dengan memotong rambutnya. Pakaian istana ditinggalkan dan memakai pakaian budak yang sudah meninggal, dan bersatu dengan orang-orang miskin. Sebelum melakukan samadi Sidharta mensucikan diri di sungai Nairanjana. Sidharta senang ketika seorang tukang rumput mempersembahkan tempat duduk dari rumput usang. Di bawah pohon Bodhi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak, Sidharta menerima pencerahan sejati, sejak itu Sidharta menjadi Buddha di kota Benares.


Dinding bawah relief  Manohara dan Avadana (120 panil)
Borobudur; uit Borobudur Series no. 13-14: 
reliëf 1e gaanderij no. 11 Boven: De Boddhisattwa''s huldigen den Boddhisatwa Beneden: geschiedenis van Prins Sudhana. Manohara''s vlucht 
 [ Foto Kinsbergen 1873 - repro koleksi Museum van Volkenkunde]


Cerita Manohara menggambarkan cerita udanakumaravada yaitu kisah perkawinan pangeran Sudana dengan bidadari Manohara. Karena berjasa menyelamatkan seekor naga, seorang pemburu bernama Halaka mendapat hadiah laso dari orang tua naga. Pada suatu hari Halaka melihat bidadari mandi di kolam, dengan lasonya berhasil menjerat salah seorang bidadari tercantik bernama Manohara. Oleh karena Halaka tidak sepadan dengan Manohara, maka Manohara dipersembahkan kepada pangeran Sudana, meskipun ayah Sudana tidak setuju. Banyaknya rintangan tidak dapat menghalangi pernikahan pangeran Sudana dengan Manohara. Cerita Awadana mengisahkan penjelmaan kembali orang-orang suci, diantaranya kisah kesetiaan raja Sipi terhadap makhluk yang lemah. Seekor burung kecil minta tolong raja Sipi agar tidak dimangsa burung elang. Sebaliknya burung elang minta raja Sipi menukar burung kecil dengan daging raja Sipi. Setelah ditimbang ternyata berat burung kecil dengan raja Sipi sama beratnya, maka raja Sipi bersedia mengorbankan diri dimangsa burung elang. Seorang pemimpin harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat kecil dan semua makhluk hidup.


Langkan bawah (kisah binatang) relief Jatakamala (372 panil) 
dan Langkan atas (kisah binatang) relief Jataka (128 panil)


Relief ini mempunyai arti untaian cerita jataka yang mengisahkan reinkarnasi sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai seorang manusia bernama pangeran Sidharta Gautama. Kisah ini cenderung pada penjelmaan sang Buddha sebagai binatang yang berbudi luhur dengan pengorbanannya. Cerita jataka diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng, namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera, namun banteng menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan mengganggu kedamaian binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud kepada banteng karena sikap banteng didalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan. Kisah jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan.


Tingkat II
Dinding relief Gandawyuha (128 panil)
dan Langkan relief Jataka/Avadana (100 panil)
Siddhartha Gautama mencukur rambutnya
 

Relief ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha di masa lalu. Beberapa adegan dikenal kembali antara lain terdapat pada sudut barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma sebagai burung merak dan tertangkap, akhirnya memberikan ajarannya.



Tingkat III:

Dinding relief Gandawyuha (88 panil)
Borobudur; uit Borobudur Series no. 25-26
reliëf 1e gaanderij 30 Boven: Gautami neemt de verzorging van den Boddhisattwa op zich Beneden: Geschiedenis van Sudhana. Ontvangst aan het hof.
 [ Foto Kinsbergen 1873 - repro koleksi Museum van Volkenkunde]

Relief pada tingkatan ini menggambarkan riwayat Bodhisattva Maitreya sebagai calon Budha yang akan datang, merupakan kelanjutan dari cerita di tingkat II.


 Het hoofdthema van de reliëfs draait om beloning en vergelding. Tegelijkertijd geven ze een beeld van het dagelijkse leven op Java in de achtste en negende eeuw. Naast conventionele afbeeldingen van hemel en hel zijn scènes uit het dagelijkse leven te zien van aardse ideologieën en verlangens, wereldse successen en drama's, van goede en slechte zaken die het gevolg zijn van daden uit het verleden en bepalen of de mens in de toekomst beloning of vergelding te wachten staat. — Vier mannen zitten in meditatie in een grot, omringd door bloeiend landschap met planten en wilde dieren. Een zinspeling op het streven naar de spirituele verlossing die het doel moet blijven.
 [foto Kassian Cephas - repro koleksi Museum van Volkenkunde]


Tingkatan paling atas Candi Borobudur dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud).  Pada tingkatan ini, manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai nirwana. Pada Arupadhatu yang terlihat adalah stupa-stupa terawang yang di dalamnya terdapat patung Buddha. Di tingkatan tertinggi dari Candi Borobudur yang memiliki total 10 tingkatan atau pelataran ini terdapat sebuah stupa yang terbesar dan tertinggi. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Unfinished Buddha yang kini di simpan di Museum Karmawibhangga.

 Stupa Borobudur [ foto Vav Kinsbergen - 1873  repro koleksi Museum van Volkenkunde]

Sumber narasi: Balai Konservasi Borobudur/Indonesia Travel
Sumber foto: repro koleksi Museum van Volkenkunde