Dalam perspektif sejarah, kesetaraan jender antara kaum perempuan dan
kaum laki-laki sesungguhnya bukan hal baru. Perempuan Indonesia pada
masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit sudah memperoleh kedudukan dan
peranan setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.
Pada masa Jawa Kuno, begitu Titi Surti Nastiti dalam disertasinya, ”Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuno Abad 8-15 Masehi”
menyimpulkan, kaum perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan sama
walaupun dari segi kuantitas tidak sebanyak kaum laki-laki. Menurut
peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional itu,
kesetaraan dicapai dalam meraih jabatan publik, kegiatan sosial,
ekonomi, dunia kesenian, dan lainnya.
Di bidang pemerintahan,
istri bisa mempunyai kekuasaan lebih tinggi daripada suaminya.
Contohnya, Wikramawarddhana ketika mengeluarkan prasasti Patapan II
(1385 M) dan prasasti Tirah atau Karang Bogem (1387 M) yang menggunakan
lambang daerah Lasem, daerah kekuasaan Kusumawarddhani, istrinya. Pada
saat itu, Wikramawarddhana belum menjadi raja. Penggunaan lambang
tersebut mencerminkan kekuasaan Kusumawarddhani lebih besar daripada
Wikramawarddhana.
Hal sama terjadi pada Bhre Wirabhumi yang
mendapat gelar dari istrinya, Nagarawarddhani. Sebelum menjabat sebagai
penguasa Lasem, Nagarawarddhani menjabat penguasa daerah Wirabhumi.
Nastiti
melakukan kajian berdasarkan data tekstual dan artefaktual. Data
tekstual berupa prasasti dari masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit
dalam bentuk teks sastra dan kumpulan teks, tertua seperti Ramayana dari
masa Rakai Watukura Dyah Balitung sampai teks sastra/hukum dari masa
Majapahit. Data artefaktual yang sezaman menggunakan arca, figurin, dan
relief.
Kesetaraan kedudukan dan peranan sejak masa Mataram Kuno
sampai masa Majapahit berakar pada budaya yang tidak membedakan hak
waris di semua kalangan. Hanya ada aturan tertentu yang harus diikuti.
Misalnya, untuk menduduki posisi putra/putri mahkota harus anak pertama
dari permaisuri.
Contohnya, Sri Rajasawarddhani yang dalam
prasasti Kancana/Bunur B menyebutkan, ia anak bungsu Hayam Wuruk. Dari
kakawin Nagarakrtagama diketahui yang disebut sebagai Kusumawarddhani
adalah putri mahkota. Putra pertama Hayam Wuruk seperti disebutkan teks
Pararaton adalah Bhre Wirabhumi. Karena bukan putra dari permaisuri, ia
tidak dapat menjadi putra mahkota.
Hak waris
Tidak
adanya perbedaan hak waris tersebut memengaruhi konsep domestik dan
publik sehingga laki-laki maupun perempuan dapat menjabat jabatan publik
asalkan mengikuti ketentuan.
Dalam data prasasti, baik
laki-laki maupun perempuan banyak menduduki jabatan pemerintahan
sebagaimana dijumpai pada prasasti Juruhan (876 M) dan prasasti Waringin
Pitu (1477 M).
Perempuan pada masa itu juga sudah melibatkan
diri dalam kegiatan sosial sebagai pendamping suami maupun sebagai diri
sendiri. Dalam prasasti Wulig (935 M), Rakai Mangibil, selir Mpu Sindok,
meresmikan tiga bendungan. Sedangkan pada relief candi sering
ditampilkan raja atau bangsawan ditemani perempuan.
Di bidang
ekonomi, terutama kaum perempuan dari kalangan rakyat biasa, kiprah
membantu perekonomian keluarga sudah berlangsung lama. Misalnya,
menggarap sawah atau ladang dan berniaga sehingga menjadi saudagar (banigrami).
Mereka tetap sebagai ibu rumah tangga. Di sela-sela kegiatannya, mereka
juga membuat kerajinan untuk digunakan sendiri atau dijual.
Perempuan
bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi juga menjadi sumber
penghasilan keluarga dan ada perempuan profesional dalam bidang seni
pertunjukan.
Namun, walaupun kaum perempuan pada masa itu sudah
menikmati kesetaraan hampir di semua aspek kehidupan, dalam hal
tertentu, terutama di bidang keagamaan, perannya masih lebih rendah dari
kaum laki-laki dalam bela dan sati tukon.
Perempuan
tidak dapat menjabat sebagai pejabat tertinggi keagamaan atau menjadi
kawi. Jika ditelusuri asal muasalnya, adat ini berasal dari kebudayaan
India.
Nastiti mengakui, selama meneliti, ia sering kali
mengalami kesulitan dalam membedakan jenis kelamin obyek yang diteliti.
Apalagi untuk data artefaktual.
Menurut dia, jika pengamatan
terhadap raut muka yang dilakukan tidak saksama, bisa menimbulkan
kesalahan penafsiran jenis kelaminnya, mengingat raut muka orang
tersebut berasal dari raut muka asing, seperti bangsa China dan India.
Untuk
membedakan jenis kelamin, ibu dua anak buah perkawinannya dengan
Djainuddin Djafar, PhD ini berpegang pada tiga hal. Pertama, jika
namanya berakhiran vokal panjang. Kedua, berdasarkan kekerabatan seperti
rai/ibu atau nini (nenek), dan, ketiga, berdasarkan kata anakwi dan wadwan. Kedua kata itu digunakan untuk menyebut nama pejabat perempuan atau istri seorang pejabat.
[Penulis: Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat ]
Sumber: http://cetak.kompas.com/