Awalnya, Joshua Oppenheimer datang ke Serdang Bedagai,
Sumatra Utara, pada 2001 untuk membuat film dokumenter tentang buruh perkebunan.
Tapi pria kelahiran Texas, Amerika Serikat, tahun 1974 itu akhirnya memproduksi
film documenter tentang pembunuhan
massal 1965 berjudul “The Act of Killing” selama tujuh tahun sejak 2004. Dan sekarang, Anwar Congo, tokoh utama yang
menjadi pelaku “pembantaian manusia“ dalam “The Act of Killing” mendapat
serangan balik melalui gerakan petisi yang dipelopori Bramantyo Prijosusilo, warga Yogyakarta.
Film
Dokumenter Gratis untuk Indonesia
Agustus 2013 lalu, sutradara Joshua Oppenheimer dan pihak yang
terlibat dalam produksi film 'The Act of Killing' mengumumkan kepada public bahwa
film tersebut bisa diunduh gratis di internet khusus untuk Indonesia. Joshua
berharap agar masyarakat Indonesia mau kembali menengok sejarah yang terjadi
dalam kurun 1965-1966.
"Sejarah dari pembantaian 1965 adalah milik rakyat Indonesia.
Dan untuk alasan itu, selalu menjadi niatan kami untuk memberikan film tersebut
kepada semua warga Indonesia," ujar Joshua ketika menyampaikan keterangan
pers, Agustus 2013.
Mau tahu isi film documenter tentang pembantai sadis 1965
tersebut? Silakan download melalui www.actofkilling.com. Tapi kalau kesulitan dapat donwload melalui torrents di
sini.
Petisi Hukum dan Pembelajaran Generasi Baru
Setelah 'The Act of Killing' dapat download
gratis di Indonesia sejak Agustus 2013, akhirnya kini muncul petisi tuntutan hukum
terhadap pelaku pembantaian masyatakat terduga PKI yang terjadi 1965-1966
tersebut. Adalah Bramantyo Prijosusilo, warga Yogyakarta, yang menjadi penggagas
petisi. “Tangkap Anwar Congo Dkk Atas Pengakuan
Menyiksa dan Membantai dalam Film Dokumenter Jagal Karya Joshua Oppenheimer !”
tegas Bramantyo Prijosusilo dalam petisi yang dikirimkan kepada Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
"Ini adalah usaha meretas belenggu impunitas
pembantai yang selalu menjerat kaki kita sebagai bangsa saat hendak melangkah
menuju kemanusiaan yang adil dan beradab," kata Bramantyo Prijosusilo
dalam penggalangan petisi melalui change.org.
Apa reaksi Kapolri Jenderal Pol Sutarman terhadap
petisi tentang tuntutan hukum terhadap Anwar Congo ini? Menurut Kapolri, semua
kasus hukum yang sudah terlalu lama sudah tak bisa lagi dilakukan pengusutan
secara hukum lantaran sudah habis masa waktunya. "Itu kejadiannya kapan?
Ya kalau peristiwanya tahun 1965 tidak bisa diproses hukum sekarang," kata
Sutarman kepada merdeka.com, Jumat (7/3).
Bagiamana hasil akhir dari petisi yang dipelopori Bramantyo
Prijosusilo tersebut? Masyarakat Indonesia mungkin sudah dapat menebak sendiri tentang
ending dari petisi tuntutan hukum terhadap Anwar Congo. Secara hukum, mungkin
saja Bramantyo Prijosusilo akan “kalah”. Tapi secara moril, mereka yang ikut
menanda tangani petisi setidaknya punya andil besar dalam memberikan edukasi positif
kepada para generasi muda. Minimal, benang kusut pegolakan politik di masa
lalu, jangan sampai terulang lagi di Indonesia dengan memita banyak korban
seperti yang terjadi pada masa 1965-1966
silam..
Sebelum Bramantyo Prijosusilo menggagas petisi,
sudah ada petisi lain terkait tragedy pembantaian 19965/1966 seperti yang
digagas Carmel Budiardjo dalam change.org berjudul “Say Sorry for '65”. Saya sepakat dengan petisi itu. Kenapa demikian? "Kesalahan yang dibiarkan akan memberikan EDUKASI BURUK bagi generasi muda. Kalau hukum tak mampu memberikan keadilan, paling tidak perlu ada permintaan maaf dari pelaku kepada korban, keluarga dan masyarakat yang dirugikan."
[SUTRISNO BUDIHARTO]