Amir Effendi Siregar ;
Anggota
Dewan Pers (2003-2006); Ketua Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers
|
KOMPAS,
14 Februari 2015
Dalam silaturahim tokoh pers nasional beberapa waktu lalu,
persoalan obyektivitas, independensi, dan netralitas kembali dibicarakan. Kini
pun pers dianggap masih terbelah. Sebelumnya, beberapa waktu lalu, Pemimpin
Redaksi Jakarta Post ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian akibat
karikatur yang dianggap menista agama. Kalangan pers protes. Kasus ini telah
diselesaikan Dewan Pers dengan mekanisme UU Pers.
Saya setuju sengketa akibat pemberitaan dan isi pers
diselesaikan dengan hak koreksi dan hak jawab sesuai UU Pers. Ini memang
privilese pers Indonesia yang bertugas atas perintah UU.
Meski demikian, UU Pers juga secara jelas menyatakan , wartawan memiliki dan menaati
kode etik jurnalistik (KEJ). Dengan
demikian, KEJ yang dibuat kalangan pers sendiri harus jadi pedoman dalam
pekerjaan sehari-hari. Dewan Pers yang
mengesahkan kode etik itu berhak mengontrol dan melakukan pengawasan.
Kesalahan dalam media cetak dapat dikenai sanksi etik dan sosial. Sanksi
hukum dapat diberikan kepada media elektronik yang mempergunakan frekuensi
milik publik.
Salah satu tugas pers dan jurnalis yang penting adalah
menyajikan berita secara obyektif. KEJ yang dibuat dengan sangat baik oleh
organisasi wartawan dan disahkan oleh Dewan Pers antara lain merumuskan
dengan sangat bagus: ”Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang,
dan tidak beriktikad buruk”.
Sementara UU Penyiaran menyatakan dengan tegas, isi siaran wajib
dijaga netralitasnya dan tidak mengutamakan kepentingan golongan tertentu
(Pasal 36 Ayat 4). Selanjutnya, sebagai turunan Pedoman Perilaku Penyiaran
(P3) dan Standar Program Siaran (SPS): ”Lembaga penyiaran wajib menjaga
independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran” (Pasal 11
Ayat 2 P3).
Ideologi jurnalisme
Prinsip di atas sebenarnya adalah konfirmasi bahwa pers dan
jurnalisme Indonesia menganut prinsip jurnalisme universal berdasarkan
perspektif demokrasi, bukan jurnalisme propaganda. Ada ideologi, yaitu usaha
memberikan informasi untuk pemberdayaan masyarakat.
Dalam jurnalisme antara lain terdapat prinsip independensi dan
netralitas yang harus dipegang teguh. Jika ingin jadi media yang baik, kedua
prinsip itu harus dijalankan. Dalam hubungan ini, Westertahl, sebagaimana
dikutip oleh McQuail (1992), mengatakan, kegiatan penting jurnalisme antara
lain mengungkapkan peristiwa secara obyektif. Obyektivitas terdiri atas dua
dimensi: faktualitas dan imparsialitas.
Faktualitas terdiri atas usaha mencari kebenaran, antara lain
kelengkapan dalam pemberitaan, akurat, cermat, dan punya nilai berita.
Sementara imparsialitas mengacu pada praktik jurnalistik yang mengedepankan
balance/ non-partisanship dan neutral presentation. Balance berarti ada unsur
keadilan dan keseimbangan dalam pemberitaan. Adapun netralitas berarti tidak
berpihak dan tak membangun opini untuk kepentingan pihak tertentu.
Selanjutnya, Rahayu dan kawan-kawan (Tim Peneliti Dewan Pers)
dalam buku Menyingkap Profesionalisme Kinerja Suratkabar di Indonesia (2006),
mengutip dan merangkum buku Media
Performance (1992), mengukur kinerja media melalui unsur-unsur: (1) factualness, (2) akurasi dilihat dari
verifikasi terhadap fakta, (3) completeness,
(4) relevance melihat ada tidaknya
nilai berita, (5) balance sebagai
keseimbangan dalam pemberitaan atau tidak berpihak [McQuail membedakan
balance dengan netralitas. Balance
berhubungan dengan seleksi dan substansi berita, sedangkan netralitas
berhubungan dengan presentasi berita tersebut], dan (6) neutrality sering disamakan dengan balance dalam arti tidak
berpihak, tetapi bedanya netralitas berkaitan dengan aspek presentasi.
Terdapat beberapa pihak yang mengatakan, media tidak bisa
independen. Pendapat ini tentu sah berdasarkan perspektif tertentu, misalnya
perspektif propaganda. Atau, menganggap berita adalah hasil konstruksi
sosial, jadi tak mungkin obyektif. Ada juga yang mengatakan, media bisa
independen, tetapi bisa saja tidak netral, boleh menentukan pilihan yang
dianggap benar. Ini pernyataan yang tidak konsisten karena netralitas adalah
turunan dari obyektivitas dan independensi.
Obyektivitas dalam jurnalisme memang tak mungkin mencapai
tingkat sempurna. Namun, makin tinggi derajat obyektivitasnya, semakin tinggi
kredibilitasnya. Itu sebabnya, kompetensi dan profesionalitas wartawan harus
terus ditingkatkan.
Jika pers berjalan liar, mengabaikan profesionalisme, etika, dan
regulasi, saya teringat akan sajak Chairil Anwar berjudul Aku (dengan keangkuhannya): ”Tak perlu sedu sedan itu” (tak perlu
keistimewaan pers?), ”Aku ini binatang
jalang dari kumpulannya terbuang” (pers tak perlu etika, apalagi
regulasi?). Jangan sampai ini
terjadi! Sebab, pers itu bekerja untuk
publik! ●
|