Brexit dan Dampaknya Bagi Indonesia

0
Opini KOMPAS.COM, 25 Juni 2016
Oleh Dradjad H Wibowo ;   
Ekonom; Chairman Sustainable Development Indonesia
                                                                                                                                                     

Rakyat Inggris sudah mengambil keputusan. Perjudian David Cameron gagal, dan dia secara ksatria mundur per Oktober nanti. Referendum yang menjadi salah satu janji kampanye Cameron, membantunya memenangkan 330 dari 650 kursi Parlemen dalam Pemilu Mei 2015. Ini salah satu kemenangan terbesar Partai Konservatif. Tapi referendum juga yang mengakhiri kepemimpinan Cameron.

Saya tidak akan mengulas mengapa Inggris memilih Brexit. Meski demikian, saya bisa merasakan sentimen negatif rakyat kota-kota kecil dan pedesaan Inggris terhadap imigrasi. Sentimen ini ditambah persepsi bahwa Inggris terlalu banyak memberi kepada Uni Eropa, baik kedaulatan maupun uang. Sentimen ini saya rasakan mulai dari Yorkshire hingga Canterbury. Tidak aneh jika mereka memilih "biru" (keluar dari UE).

Tapi di kota besar dan beberapa kota pendidikan, yang dominan adalah sentimen sebagai "warga negara global". Karena itu, kota seperti London, Manchester, Liverpool, Cambridge, dan Oxford berwarna kuning (Tetap di EU). Leicester yang klub sepakbolanya dimiliki konglomerat Thailand dan menjadi juara Liga Primer, juga memilih kuning.

Inggris terbelah. Kota vs desa. Muda vs tua, karena mayoritas remaja dan anak muda adalah kuning. Globalisme vs nasionalisme. Tapi nasionalisme ini bisa menjadi bumerang bagi Inggris Raya. Skotlandia dan Irlandia Utara sangat kuning. Skotlandia bisa mengadakan referendum kemerdekaan lagi, Irlandia Utara referendum bergabung ke Republik Irlandia.

Saya tidak tahu apakah Wali Kota Sadiq Khan akan menuruti petisi "London Merdeka". Petisi ini sekarang hanya berupa luapan emosional dari anak-anak muda kubu kuning. Meski dari sisi ancaman, London lah yang paling dirugikan oleh Brexit. Statusnya sebagai pusat keuangan global dipertanyakan. Beberapa bank dan hedge funds besar sudah menyiapkan perubahan struktur korporasi mereka, termasuk memindahkan kantor pusat ke Frankfurt.

Per hari ini Khan bersikap "London harus berperan kunci dalam negosiasi keluar dari EU agar kepentingan London terjaga". Tapi jika remaja progresif London sudah punya hak pilih, dinamika politik bisa saja berubah.

Sekadar catatan, jika merdeka, dengan PDB sekitar 626 triliun dollar AS (2015), London akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-21 di dunia. Lebih besar dari anggota UE seperti Swedia, Polandia, Belgia, Austria, Denmark, Portugis, Yunani, dan negara kecil UE lainnya.

Secara ekonomi, London sangat mampu hidup sebagai negara-kota seperti Singapura. PDB-nya lebih dari dua kali lipat Singapura yang "hanya" 293 triliun dollar AS (2015). Penduduknya 8,5 juta, lebih tinggi dari Singapura yang 5,5 juta. Sumber daya manusianya berkualitas sangat tinggi. Universitasnya termasuk terbaik di dunia. Reputasi dan brand London juga dalam kelas terbaik di dunia. Tetap menjadi magnet bagi sektor jasa keuangan dan turisme dunia. London punya semuanya.

Itu secara ekonomi. Secara politik, London Merdeka masih berupa spekulasi emosional. Tapi pada 2015, Brexit juga hanya spekulasi emosional. Ancaman krisis imigrasi UE membuat Brexit menjadi kenyataan politik. Kita lihat saja apakah akan ada ancaman besar yang bisa menjadi pemicu London Merdeka.

Dampak bagi Indonesia

Yang sudah muncul sekarang, adalah ancaman keuangan global. Brexit ini salah satu pukulan terbesar bagi pasar keuangan dunia. Saham bank-bank besar UK seperti Barclays dan RBS rontok 2,8 persen, bahkan sempat 30 persen pada sesi awal. Pasar modal dunia berguguran.

Yang menjadi masalah, pelaku pasar tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan berapa besar magnitude-nya. Karena, belum pernah ada kejadian seperti Brexit. Negosiasi perceraian Inggris dari UE bisa memakan waktu minimal dua tahun. Banyak hal yang tidak jelas, seperti tentang rincian perjanjian bidang industri, perdagangan, keuangan, tenaga kerja, dan seterusnya. Mungkin akan ada ratusan, bahkan ribuan perjanjian yang harus dinegosiasikan. Terlalu banyak sumber risiko yang sekarang tidak bisa diukur dengan akurat. Ketidaktahuan ini yang membuat pasar global lebih nervous.

Apalagi dari sisi politik, terlalu banyak spekulasi buram yang muncul. Di Inggris Raya, ada isu Skotlandia, Irlandia Utara, dan yang paling kecil peluangnya adalah London Merdeka. Di UE, partai-partai kanan Perancis, Italia, dan Belanda mulai menyerukan referendum yang sama. Partai-partai ini semuanya anti-imigrasi.

Repotnya, pelaku pasar global sering terkecoh dalam menebak arah politik. Sekarang pasar masih memberi probabilitas yang kecil terhadap referendum di Perancis dan Italia.

Tapi mereka juga tidak mau salah lagi seperti dalam Brexit. Apalagi, ekonomi Perancis dan Italia adalah kedua dan ketiga terbesar di daratan Eropa (tidak memasukkan Inggris).

Secara singkat, terlalu banyak "the unknowns" akibat Brexit. Ini membuat volatilitas, ketidakpastian dan risiko global naik drastis.

Biasanya, jika sudah demikian, dana akan lari ke aset-aset yang dianggap aman (flight to safety). Mungkin lari ke emas. Mungkin lari ke properti dan pasar keuangan AS, sampai jelas siapa yang terpilih sebagai Presiden AS.

Dan biasanya, dalam kondisi seperti ini Indonesia menjadi korban. Karena, kita hanya pemain sangat kecil di pasar keuangan global. Perekonomian Indonesia memang terbesar ke-16 di dunia. Tapi di sektor keuangan, kita liliput.

Karena flight to safety di atas, harga utang pemerintah dan swasta makin mahal. Ekspor makin terpukul karena pasar Eropa terguncang, sementara China belum pulih.

Penerimaan pajak makin berat naiknya karena kinerja perusahaan melemah. Perbankan lebih sulit dalam menggalang dana dari luar negeri.

Memang saat ini masih terlalu awal untuk menganalisis dampak sepenuhnya dari Brexit dan efek dominonya. Namun, sebaiknya pejabat ekonomi pemerintah dan BI tidak bersikap "sok pede" dengan bahasa klasik: "fundamental kuat".

Lalu ditambahi, ekspor ke Inggris kecil. Memangnya hanya ekspor dan hanya ke Inggris yang kena?

Kita semua sama-sama berada dalam "ketidaktahuan" yang saya sebut di atas. Di sisi lain, pejabat ekonomi sudah terlalu sering keliru, terlalu optimistis membaca situasi.

Kinerja ekonomi kita jauh di bawah ekspektasi. Saya tidak tahu kenapa kok angka pengangguran dan kemiskinan tidak melejit tinggi.

Karena itu saran saya kepada pemerintah: kencangkan ikat pinggang melalui displin anggaran, dan bantu dunia usaha semaksimal mungkin untuk menjaga kinerja mereka.

Pemerintah dan dunia usaha harus bersatu menghadapi volatilitas, ketidakpastian dan risiko global yang melonjak. Tidak perlu panik, karena saya rasa pasar dunia nantinya "bisa menerima realitas". Tapi juga jangan anggap remeh, supaya tidak keliru lagi. ●



Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)