Menyoal Sikap Kritis Anggota DPR terhadap Film "Kau adalah Aku yang Lain"

Peredaran film pendek berjudul "Kau adalah Aku yang Lain" mendadak mendapat protes dari Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani. Masalahnya, film yang meraih juara dalam ajang tahunan Police Movie Festival ke-4 tersebut dinilai tidak menggambarkan sikap Islam dan condong menyudutkan. Kenapa film itu harus diprotes? Sikap kritis Asrul Sani harus dihormati. Tapi bagaimana sikapnya terhadap politisasi agama-SARA dalam Pilkada yang disertai aksi penolakan menyalatkan jenazah pendukung Ahok? Apakah Asrul Sani termasuk orang yang kritis terhadap fiksi tapi bisu terhadap fakta? Mari kita lihat perkembangannya bersama-sama.



Seperti diberitakan CNNIndonesia.com, film pendek berdurasi delapan menit itu bercerita tentang toleransi dalam hal perbedaan keyakinan. Film garapan sineas asal Semarang, Anto Galon itu menampilkan adegan di mana sebuah kelompok Muslim tengah melaksanakan pengajian. Di saat bersamaan, ada seorang istri yang membawa suaminya yang sakit menggunakan ambulans dan ingin melintasi jalan yang tengah digunakan kelompok Muslim itu untuk menggelar pengajian.

Melihat ambulans bersiap untuk melewati jalanan yang digunakannya berpengajian, seorang kakek anggota pengajian tersebut tak mengizinkan ambulans itu melintas. Kakek itu mengotot bahwa pengajian tak bisa diganggu. Ada satu percakapan di mana kakek tersebut menyinggung tentang keyakinan keluarga yang berada di dalam ambulans, sehingga mereka tak berhak membuka jalan untuknya. "Kemanusiaan itu, kalau keyakinan kita sama, ya dipertimbangkan. Lah dia, beda," kata kakek kepada seorang polisi yang berupaya memediasi, dalam film itu.

Kritis Terhadap Fiksi, Tapi Bisu Terhadap Fakta?
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengecam beredarnya film pendek ini.Arsul menilai film tersebut tidak menggambarkan sikap Islam dan condong menyudutkan. Arsul Sani menyebut karya Anto Galon itu tidak mencerminkan mayoritas sikap Muslim jika dihadapkan dengan masalah seperti yang dimunculkan dalam adegan film itu. "Apa yang tergambar dalam video Police Film Festival tersebut adalah sesuatu yang tidak menggambarkan mayoritas sikap umat Islam dalam situasi yang sama (dalam film) ketika ada kejadian seperti itu," kata Arsul seperti dilansir CNNIndonesia.com.

Arsul menilai situasi yang digambarkan dalam film, yang sudah diunggah Divisi Humas Polri sejak 24 Juni lalu itu, kemungkinan hanya mewakili kelompok yang sangat kecil dalam lingkungan Islam di Indonesia. Arsul menyebut, Polri yang menjadi pihak penyelenggara acara festival film tahunan itu seakan tengah membuka peluang terjadinya kesalahpahaman di tengah masyarakat.


Sikap kritis Arsul Sani terhadap film "Kau adalah Aku yang Lain" patut dihargai. Tapi harus dipahami juga bahwa film hanyalah fiksi yang divisualkan dalam bentuk film. Artinya, film fiksi adalah bukan fakta. Sehingga sangat lain jika dibandingkan dengan fakta adanya politisasi agama-SARA dalam Pilkada DKI Jakarta lalu yang disertai pula dengan aksi penolakan menyalatkan jenazah pendukung Ahok.

Sebagai karya fiksi, film sah-sah saja jika memuat kritik sosial terhadap pejabat, lembaga tertentu maupun kelompok masyarakat. Demikian juga film "Kau adalah Aku yang Lain", boleh-boleh saja mengkritisi gejala-gejala yang dianggap ganjil di Indonesia. Sebaliknya, sebagai karya fiksi, film "Kau adalah Aku yang Lain", juga boleh-boleh saja mendapat kritikan dari penonton maupun pengamat film atau budayawan, termasuk kritik dari Arsul Sani. Tapi masalahnya, Arsul Sani tampaknya keberatan atas peredaran film "Kau adalah Aku yang Lain" karena dinilai tidak menggambarkan sikap Islam dan condong menyudutkan.Kalau sampai Arsul Sani ingin meminta Polri untuk menarik peredaran film "Kau adalah Aku yang Lain", bukankah itu termasuk "pembredelan" terhadap kebebasan berekspresi?

 Bagaimana dengan Politisasi Agama-SARA dalam Pilkada DKI Jakarta?
Lantas, bagaimana sikap Arsul Sani terhadap fakta-fakta adanya gejala intolerasi di Indonesia? Ambil satu contoh saja terkait fakta adanya politisasi agama-SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 yang disertai aksi penolakan menyalatkan jenazah pendukung Ahok? Apakah Arsul Sani bersikap kritis terhadap masalah ini? Kalau Arsul Sani hanya membisu terhadap fakta adanya politisasi agama-SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, maka Saya perlu memberikan saran; alangkah baiknya jika Arsul Sani bercermin lagi. Lebih baik, energi Arsul Sani digunakan untuk memberbaiki fakta-fakta ganjil yang telah terjadi di Indonesia. Soalnya, fakta-fakta gejala intolerasi di Indonesia jauh lebih berbahya ketimbang sebuah film. Sebab, fakta-fakta gejala intolerasi di Indonesia bisa mengancam keutuhan bangsa Indonesia.

Asrul Sani harusnya belajar terhadap aksi pendukung ISIS di Marawi, Filipina. Dalam aksi terornya di Filipina,beberapa perempuan di Marawi diculik para teroris kelompok Maute. Sebagian dari mereka juga dipaksa untuk menjarah, mengangkat senjata dan melayani para militan kelompok itu sebagai budak seks. Hal mengerikan yang terjadi di Filipina itu juga bisa muncul di Indonesia. Karena itu, Asrul Sani sebaiknya bersikap lebih dewasa. Anggap saja, film "Kau adalah Aku yang Lain"sebagai kritik demi perbaikan bangsa dan umat beragama.(@SutBudiharto)