Kenangan Bung Karno di Ende: Dari Pancasila hingga Suara Islam

Selama menjalani hukuman pengasingan di  Ende, Nusa Tengara Timur,  antara tahun1934-1938, Bung Karno pernah ditawari untuk kabur dari pulau pengasingannya. Namun Bung Karno menolak dengan alasan menjaga kehormatan. Jiwa kesatria macam inilah, rupanya mampu membuat Bung Karno banyak dihormati di mana saja, termasuk di berbagai negara.


Begini kata-kata bung Karno ketika menolak ajakan kabur dari Ende;
“Itu bukan cara Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang di atas.Dengan tetap tinggal di sini rakyat Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnya juga menderita untuk cita-cita.Saya telah memikirkan bujukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan buruk  baiknya.Tampaknya lebih baik bagi Bung Karno untuk tetap menjadi lambang dari pengorbanan menuju cita-cita.” (Lukas Batmomolin,dkk. Tim Nusa Indah, 2006:45).

Pada tanggal 17 Februari 1934, dengan pengawalan polisi, Soekarno dengan didampingi oleh Inggit arnasih, ibu Amsi mertua Soekarno dan puteri angkatnya Ratna Djuami yang ingin menemani Soekarno dalam pengasingan diangkut dari Bandung  ke Surabaya  dengan  kereta  api  yang  sama.  Di  Surabaya  Albreghs menyerahkan tahanannya  kepada  pejabat  polisi  J.  de  Vries.Di  dalam  penjara di  jalan  Werf, tempat   Soekarno  ditahan   untuk   sementara   waktu,  Soekarno diperbolehkan mengucapkan  selamat  tinggal  kepada  orang  tuanya yang  telah datang  dari  Blitar.

Dari  Surabaya menuju ke tempat pembuangan ke Ende Flores, Soekarno dan keluarga di bawah pengawal De Vries dinaikkan ke kapal KPM Jan van Riebeeck yang  dalam  perjalanan  delapan  hari  pelayaran  dan  dikawal  dua  orang  petugas pemerintah, tibalah Soekarno dan keluarganya di Ende Flores. Soekarno langsung dimasukkan  dalam  tahanan  rumah  milik  pemerintah  Hindia  Belanda  hingga akhirnya tinggal di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru bersama keluarganya.

Ketika menjejakkan kakinya di dermaga Pelabuhan Ende, Nusa Tengara Timur,   untuk menjalani hukuman pengasingan dari pemerintahan kolonial Belanda, kondisi Soekarno sedang rapuh. Keadaan Soekarno secara politik ibarat sedang mati. Namun di Ende, perlahan Soekarno  membangun kembali kekuatan dirinya tahap demi tahap dan mulai merumuskan konsep bernegara yaitu merancang Pancasila yang sekarang merupakan dasar Negara Indonesia.

Secara pribadi, Ende menjadi tempat perkembangan penting dalam diri Soekarno, yaitu perubahan dari manusia “singa podium” menjadi “ manusia perenung”. Soekarno di Jawa adalah Soekarno “pembakar massa”. Soekarno di Ende adalah Soekarno reflektif, pemikir, lebih banyak waktu dipakai untuk tenggelam dalam perpustakaan, bertukar pikiran dengan sekelompok padri, yang tidak ada hubungannya dengan gerakan kebangsaan sebagaimana para misionaris lain di Jawa. Kehidupan rakyat Ende, yang berasal dari berbagai suku bangsa dan agama tetapi hidup rukun dan damai, benar-benar memperkaya imajinasi Soekarno terhadap Indonesia merdeka kelak. Bahkan, itu menjadi bahan renungannya setiap hari di bawah sebuah pohon sukun. [22- Dhaniel Dhakidae, Soekarno : Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2013. Hlm. 196]

Soekarno adalah seorang negarawan yang memikirkan masa depan Bangsanya. Dari seorang aktivis politik menjadi seorang pemikir tentang dasar Negara yang akan Merdeka, dari hidupnya pada pusat kolonial di Jawa ke pengalaman tentang “Timur Jauh” dari Hindia Belanda, dan dari seorang yang sejak muda terobsesi dengan trilogi “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” ke Pancasila sebagai filsafat Negara yang lebih Universal, yang konon lahir di bawah naungan sebatang pohon sukun di Ende. Lima dasar negara hasil perenungan di Ende disampaikan Soekarno dalam pidato Sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran Pancasila. Indonesia Merdeka, Soekarno menjadi Presiden RI pertama. Urusan politik memang menjadi prioritas bagi Soekarno.

Suara Islam dari Ende
Selama di Ende, Bung Karno tidak hanya mendapatkan gagasan dasar tentang Pancasila, namun juga melakukan aktivitas religi keislaman. Hal ini dapat dilihat dalam suara-suara Islam-nya dari Ende.

Dalam surat-surat Islam dari Ende, Soekarno tersebut meminta buku-buku tentang keIslaman. Seperti halnya yang tertulis dalam surat No.1.Ende, 1 Desember tahun 1934, dikatakan bahwa Soekarno meminta kepada Ahmad Hassan untuk memberikan sebuah hadiah buku-buku mengenai pengajaran Shalat, tentang aliran Wahabi, Al-Muchtar, Debat Talqin, kitab al-Burhan yang lengkap dan Al Jawahir. [ Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi,JilidI(Jakarta: Panitya Penerbit, 1964), 325 ]

Kemudian, setelah itu dalam surat No. 2. Ende 26 Maret tahun 1935,Soekarno juga menginkan untuk membaca buku-buku hadist seperti halnya karya Imam Bukhori dan Muslim dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. [ Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi,JilidI(Jakarta: Panitya Penerbit, 1964), 326]. Hal ini dikarena menurut keterangan yang diperoleh Soekarno sendiri dari seseorang yang telah mengenal Islam dari Inggris, pernah mengatakan bahwa kitab Imam Bukhori dan Muslim masih terdapat hadist-hadist yang lemah. Oleh karena itu, menurut Soekarno hadis-hadist yang lemah tersebut sering laku daripada alquran.Ini membuat Islam menjadi mundur, kuno Islam, kekolotan dalam Islam, serta ketahayulan orang Islam.

Selanjutnya, dalam Surat No. 4 Ende, 17 Juli 1935 Soekarno menuliskan bahwa di Ende dia merasa kebingungan dan tidak ada yang bisa ditanyai tentang Islam. [ Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi,JilidI(Jakarta: Panitya Penerbit, 1964), 328].  Karena di Ende semuanya bertaqlid dan minim pengetahuan. Ketika ada seorang sayyid  yang sedikit terpelajar ditanyai Soekarno tentang Islam, masih belum memuaskan Soekarno. Hal ini terjadi karena pengetahuan seorang sayyid tersebut sedikitpun tidak pernah keluar dari kitab fikih. Kitab fikih disini sebagai pedoman hidup yang utama serta mati hidupnya hanya berputar pada kitab fikih. Disini, alquran dan api Islam seakan-seakan mati.

Kemudian menurut Soekarno masyarakat Islam ketika itu tidak mengerti dengan sejarah sama sekali terutama sejarah Islam. Seperti yang di ungkapkan oleh Seokarno dalam Surat-surat Islam dari Ende No. 7 tanggal 14 Desember 1036, bahwa pada umumnya para ulama dan kiai tidak sedikitpun mengerti tentang sejarah. [ Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi,JilidI(Jakarta: Panitya Penerbit, 1964), 488].  Meski mereka tahu mengenai sejarah hanya sedikit saja yang mereka tahu, itupun sejarah tentang fikih.

Karna inilah bisa dikatakan jika suatu bangsa mengerti akan sejarah, niscaya bangsa tersebut akan maju dan sebaliknya jika suatu bangsa tersebut tidak mengerti sejarah maka negara tersebut akan mengalami kemunduran. Setelah itu, dalam surat No. 8 Ende, 22 Pebruari 1936, Soekarno mengatakan bahwa Islam is progres atau Islam itu kemajuan. Hal ini dituliskan karena umat Islam ketika itu masih mengagung-agungkan kejayaan atau kebesaran Islam masalalu dan melupakan perjuangan untuk memajukan Islam di masa depan. Semua disebut sebagai sebuah kekolotan. Adapun ketika umat Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan, maka barulah bisa dikatakan maju secepat kilat mengejar zaman seribu tahun jaraknya dengan bumi ini.

Lebih lanjut lagi dalam surat Islam dari Ende 25 Nopember 1936, Soekarno mendapatkan surat dari kawannya di Bandung yang mengatakan dalam majalah Pemandangan dituliskan oleh Soekarno bahwa ia telah mendirikan cabang dari aliran Ahmadiyah dan menjadikan sebagai alat propaganda. [ Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi,JilidI(Jakarta: Panitya Penerbit, 1964), 345]. Sebenarnya, Soekarno sendiri sangat mengagumi berbagai macam buku tentang ajaran Ahmadiyah. Akan tetapi, ada satu ajaran yang yang jelas-jelas ditolak oleh Soekarno yakni anggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

Tags: