ilustrasi @lemonde_pol |
Salafisme muncul sebagai bentuk reformasi keagamaan radikal, yang bertujuan untuk menggantikan warisan keilmuan Islam tradisional. Tetapi, sementara reformasi agama telah lama menjadi fitur dunia Islam Modern, rumus Salafis bagi reformasi adalah retrograde. Hal ini menempatkan dirinya melawan semua arus agama lain di dalam dan di luar Islam, melawan arus politik dan intelektual, bersaing dengan liberalisme dan sekularisme, bahkan berseberangan dengan fondasi epistemologi yang mendasari modernitas.
Diskusi dan perdebatan seputar Salafisme semakin intens terkait munculnya berbagai fenomena gerakan radikal. Paling tidak ada empat pertanyaan yang muncul sebagai bentuk kegelisahan akademik: (1) bagaimana dalil asasi ajaran (doktrin) gerakan ini dan bagaimana responsnya terhadap politik dan kekerasan? (2) bagaimana definisi gerakan Salafi ini, ambiguitas dan fragmentasinya? Meskipun jelas karakteristiknya dapat didefinisikan, namun Salafisme modern terkadang menjadi gerakan yang tercampur oleh tendensi-tendensi yang kontradiktif. (3) apakah gerakan Salafi ini a-politik? Jika ya, bagaimana ia bisa keluar dari ranah politik? (4) bagaimana gerakan ini membentuk kapasitas pribadi anak muda di dunia yang berbeda-beda?
Kajian tentang Salafisme global ini menjadi lebih menarik karena dalam realitas historis telah mengubah idealisme Islam yang rah}matan li al-âlamîn menjadi ancaman dunia. Quintan Wikrotowicz menjelaskan bahwa Salafi bisa dikategorikan menjadi dua kelompok: Salafi Jihadi yang merupakan ancaman global dan Salafi Moderat yang dianggap tidak menjadi ancaman.
Makalah tulisan Rofhani - Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya - ini akan membahas gerakan Salafi yang sudah menjadi fenomena global dengan memaparkan akar kemunculannya, doktrin yang dipakai, serta pemaknaan jihad bagi kaum Salafi, sehingga di beberapa wilayah memunculkan kekerasan tetapi di bagian yang lain justru menjadi gerakan yang bersifat lembut. Ketiga poin pembahasan ini diharapkan bisa menjawab kegelisahan-kegelisahan akademis di atas. Makalah ini banyak merujuk kepada buku Roel Meijer, Global Salafism; Islam’s New Religious Movement. Dalam buku ini Meijer menyuguhkan tulisan-tulisan para sarjana yang mempunyai kompetensi dan perhatian terhadap fenomena Salafisme global. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan penulis memaparkan juga referensi lain sebagai bahan perbandingan dan mencoba menganalisisnya sebagai konsekuensi dari gerakan Salafi yang mengglobal.
Akar Kemunculan Salafisme
Gerakan Salafisme merupakan bagian dari sejarah Islam fundamentalis. Mereka menyebut dirinya sebagai Salafi, yang secara etimologis memiliki arti “apa yang telah berlalu dan mendahului” atau “kelompok pendahulu”. Jadi, makna salaf adalah orang yang mendahului, baik itu dalam silsilah maupun kekerabatan, dari sisi umur ataupunperbuatan baik.4 Biasanya kata Salaf ini dikaitkan kata khalaf yang berarti “belakangan”. Dalam perkembangan semantik, kata salaf mengandung konotasi masa lampau yang mempunyai kewenangan atau otoritas. Dengan kata lain, ia adalah masa yang berdekatan dengan periode Nabi dan secara logis dapat dipahami bahwa orang-orang yang hidup pada masa itu mengetahui, mendengar, dan melihat dengan baik mengenai praktik-praktik keagamaan (terutama) yang dilakukan Nabi.
Meijer menjelaskan Salafi dengan merujuk pada tiga generasi orang-orang saleh (as-salaf ash-s}âlih}). Pertama, generasi sahabat yang hidup hingga tahun 690 M, yaitu generasi mulai pada masa Nabi hingga masa Khulafa’ ar-Rasyidin. Meijer menyebut masa ini sebagai periode emas. Kedua, generasi tâbi’în yang hidup hingga 750 M. Ketiga, generasi tâbi’ at-tâbi’în yang hidup hingga 810 M.6 Ketiga generasi tersebut dijadikan model yang abadi sekaligus ideal bagi semua Muslim (terutama mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai Sunni). Dalam keyakinan mereka, metodologi pemahaman teks-teks, metode ibadah, tingkah laku, kesalehan moralitas, dan perilaku mereka adalah sesuai dengan tuntutan Alquran dan Sunah. Bagi mereka, menjadi seorang Muslim yang baik harus berperilaku dan berpikir seperti pada as-Salaf as}-s}âlih}, sebab itulah sumber asli Islam yang benar.
Munculnya gerakan Salafisme ini tidak terlepas dari fenomena fundamentalisme Islam. Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah pendekatannya yang literal terhadap Alquran dan Sunah. Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional dan intelektual. Oliver Roy melakukan klasifikasi fundamentalisme Islam sebagai fundamentalisme tradisional dan fundamentalime modern.7 Dilihat dari pemunculannya, maka gerakan Salafisme ini termasuk kelompok fundamentalisme Islam modern. Fundamentalisme Islam tradisional bercirikan peran ulama yang sangat kuat dalam menafsirkan ajaran Islam, terutama teks. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas. Sedangkan pada fundamentalisme Islam modern atau neo-fundamentalisme dicirikan oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi ditafsirkan sebagai ideologi yang dihadapkan dengan ideologi modern, seperti kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekuler” yang secara terbuka mengklaim sebagai pemikir religius. Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat Ilahi dan religius. Jadi, ahli kimia, teknik, insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama. Sedangkan Fundamentalisme Islam merupakan respons terhadap tantangan dan akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi yang bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam terhadap dunia sekuler-modern Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktivitas mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program, strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain.
Gerakan Salafisme sebenarnya dimulai pada awal abad ke-18 M, dan selalu dikaitkan dengan gerakan Wahabi yang dimulai dari Arab Saudi. Pengaitan ini didasarkan pada ciri Wahabi yang bersifat revivalis,8 terutama setelah berubah menjadi gerakan yang politis. Salafisme menganjurkan dan mengharuskan gerakan kembali dan merujuk pada sumber-sumber dasar Islam, yaitu Alquran dan Sunah. Karenanya, segala bentuk taklid ditolak. Akibatnya, ijtihad dan interpretasi individu diterima tetapi dalam batas yang ketat. Dalam pandangan Salafisme, Alquran adalah perkataan langsung dari Tuhan, sedangkan kehidupan Nabi Muhammad dipandang sebagai teladan, contoh sempurna yang tidak keluar dari ajaran dan nilai-nilai Alquran. Meijer juga mengatakan bahwa Salafisme tidak hanya skripturalis tetapi juga literalis. Seorang muslim harus berperilaku persis seperti para pendahulunya yang saleh, dimana perbuatan dan pikirannya didasarkan pada sumber-sumber Islam.
Sejarah munculnya gerakan Wahabi tidak lepas dari tokoh sentralnya, Muh}ammad ibn ‘Abd al-Wahhâb (1703-1792).10 Dia mengambil posisi bekerja sama dengan Muh}ammad ibn as-Sa’ûd (w.1765), kepala suku wilayah Arab pada tahun 1744. Gerakan ini kemudian memperoleh dukungan dan jaminan penyebaran gerakan pemurnian agama ke seluruh wilayah Semenanjung Arab, sementara keluarga as-Sa’ûd memiliki kekuasaan negara. Kesepakatan itu melahirkan sebuah negara, Kerajaan Arab Saudi, dimana keluarga Ibn ‘Abd al-Wahhâb memegang kendali bidang agama, sementara keluarga as-Sa’ûd memegang kendali negara. Bersama keluarga as-Sa’ûd, ibn ‘Abd al-Wahhâb membuat gerakan dengan sebutan muwah}h}idûn (orang-orang yang menegakkan tawhîd). Semangat agama dan kekuatan militer disatukan menjadi gerakan religio-politik yang berjihad dengan komitmen tak kenal kompromi, yang menganggap semua Muslim yang menentangnya sebagai kafir. Suku-suku Arab ditaklukkan atas mana egalitarianisme Islam. Para prajurit dan pendakwa Wahabi menamakan dirinya sebagai al-ikhwân11 sekaligus menamakan dirinya Salafis. Bagi Ibn ‘Abd al-Wahhâb, zaman normatif Islam adalah masa nabi Muhammad dan komunitas kaum Salaf (awal). Setelah masa tersebut, perlu ada peninjauan dan penilaian ulang yang didasarkan pada sumber-sumber pokok Islam. Tujuan ijtihad bagi Ibn ‘Abd al-Wahhâb adalah kembali kepada Islam yang dimurnikan dengan cara membuang akidah dan praktik tidak Islami (bidah) yang masuk dalam hukum dan kehidupan umat Muslim.
Doktrin khas gerakan Wahabi adalah keyakinan monoteisme. Hal ini berkaitan dengan kalimat syahadat seorang Muslim. Oleh karena itu, satu-satunya cara bagi Ibn ‘Abd al-Wahhâb untuk mencapai keselamatan dan meraih kejayaan masa lalu adalah penegasan monoteisme, dengan cara kembali ke Alquran dan Sunah. Gerakan ini bersikeras bahwa “kembali” ke ajaran monoteisme adalah langkah pertama yang diperlukan dalam mereformasi Islam. Wahabisme menjadi terkenal karena sikap kepatuhannya yang kuat kepada Tauhid.
Keberhasilan Wahabisme juga tidak lepas dari reaksinya yang keras terhadap degradasi moral dan persamaan antar manusia, ditopang oleh penafsiran kembali warisan tradisi Islam dengan pembangunan kembali masyarakat Islam. Wahabisme tidaklah terbatas pada gerakan Wahabi aktual seperti yang dikenal sejarah, tetapi telah menjadi “istilah payung” yang meliputi semua fenomena yang analog di dunia Islam.
Commins menambahkan, yang paling khas dari ajaran Wahabi adalah misinya yang menyatakan bahwa pemahaman dan penegasan “Allah adalah satu” tidaklah cukup dinyatakan tetapi secara eksplisit harus ada penyangkalan penyembahan terhadap yang lain.14 Meijer menyebutkan gerakan Wahabi ini mengklaim golongannya sebagai golongan yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) dan golongan yang penuh kemenangan (at}-t}â’ifah al-manshûrah).15 Keyakinan ini menjadi dasar kaum Wahabi untuk melakukan jihad melawan mereka yang tidak mengikuti doktrin Wahabi dan menyebut mereka sebagai kâfir atau golongan murtaddûn (orang-orang murtad) yang harus dikucilkan.
Ide-ide Wahabisme ini pada perkembangannya mengisprirasi gerakan revivalis di negara-negara lain, yang kemudian digambarkan sebagai salah satu manifestasi islamisme, dengan wacana dan aktivisme bernuansa agama yang sangat kompleks. Dalam hal ini, islamisme tidak bisa hanya dipahami dengan membuka lembaran sejarah Islam pada masa awal atau dikonseptualisasikan sebagai impulse fanatisme keagamaan yang bercita-cita masuk surga. Dalam banyak hal, islamisme mempunyai titik persinggungan sekaligus rupture dalam rentang sejarah yang mengalami banyak perubahan sosial, politik dan ekonomi. Pada gilirannya hal, ini menimbulkan titik singgung dinamika sosial, politik ataupun ekonomi pada tataran global dengan konteks sosial politik di tingkat lokal.
Gerakan ini memperoleh tantangan bersamaan dengan berkembangnya modernitas di seluruh dunia. Persoalan-persoalan yang kompleks membutuhkan jawaban. Ditambah lagi munculnya berbagai pemikiran yang secara ideologis dan kultural dianut oleh berbagai kelompok dan lapisan sosial masyarakat. Gerakan Salafi harus menghadapi sekian banyak fakta bahwa ada berbagai kelompok yang memiliki pandangan, pemikiran, dan kepentingan berbeda dan saling menelikung, khususnya di bidang politik. Belum lagi munculnya kelompok-kelompok Jihadis yang memiliki jaringan kuat dan menginterpretasikan ajaran agamanya sesuai dengan situasi dan peta politik. Ironisnya, gerakan tersebut mengatasnamakan gerakan Salafi yang menyandarkan diri pada ajaran Ibn ‘Abd al-Wahhâb.
Pada awal abad ke-20 mulai tampak letupan islamisme: format bangsa dan negara modern menggantikan sistem kekhalifahan, keamiran dan bentuk negara feodal yang berbasis kekeluargaan atau kesukuan. Penerapan sistem modern ini dirasa menggeser dominasi mereka sebagai kaum status-quo. Berdirinya Ikhwân al-Muslimûn di Mesir oleh H{asan al-Bannâ (1906-1949) tahun 1930 diikuti dengan berdirinya partai Jamâ’ah Islâmiyah oleh Abû A’lâ al-Mawdudî (1903-1978). Melalui partai dan gerakan ini, al-Mawdûdî ataupun H{asan al-Bannâ memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefinisikan Islam sebagai ideologi politik berhadapan dengan ideologi politik besar lainnya. Gagasan mereka berkembang dan menggelinding jauh ke negara-negara lain, meski seiring perubahan waktu dan konteks terdapat penyesuaian serta modifikasi.
Tampaknya, dua ideolog ini melegitimasi visi baru mereka dengan merujuk pada seruan Salafisme, suatu bentuk purifikasi yang telah dijalankan oleh Wahabi dan modernisme yang digagas oleh Jamâluddîn al-Afghânî (1838-1898), Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905), dan Muh}ammad Rasyîd Rid}â (1865-1935). Al-Afghânî fokus pada tema kembali kepada teks-teks Alquran dan hadis, sedangkan Abduh menyatakan bahwa rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat adalah bagian dari Islam yang murni. Gagasan para pembaharu ini berembus kuat di tengah tekanan gelombang kolonialisasi, yang kemudian melahirkan sentimen anti-(dominasi)Barat.
Ikhwân al-Muslimîn dan Jamâ’ah Islâmiyyah menyatakan bahwa kemunduran umat Islam hanya disebabkan melemahnya solidaritas dan persaudaraan, dibarengi hilangnya kesadaran akan nilai-nilai moral dan keagamaan. Bagi mereka, mengambil dan merebut kontrol negara akan melapangkan jalan bagi penyebaran Islam.16 Dari sinilah muncul gerakan radikalisme di dunia Islam yang sarat nuansa power sruggle, yang dalam banyak hal merupakan protes politik yang dikemas dengan simbol-simbol dan wacana keagamaan.
Embrio gerakan Salafi muncul pada pertengahan 1970-an di Madînah dengan nama al-Jamâ’ah as-Salafiyyah al-Muh}tasibah (JSM) yang terinspirasi oleh pandangan Nas}îruddîn al-Albânî (1914-1999).17 Albânî menolak semua mazhab hukum Islam (fiqh) yang bersandar pada penilaian perorangan. Ia memandang hadis sebagai dasar tunggal untuk keputusan agama. Salafi yang dimaksud oleh Albânî ini adalah gerakan untuk memurnikan kembali ajaran Islam dengan cara memberantas segala bentuk bidah. Bagi Albânî, istilah Wahabisme dianggap kurang tepat karena terkesan ada pemujaan terhadap tokoh, dan ini adalah bagian dari bidah.18 Perbedaannya, Salafi menegasikan atau menolak semua pemikiran mazhab, sedangkan Wahabi Arab Saudi lebih cenderung pada model pemikiran mazhab Hanbali.
Meskipun sama-sama ingin menghidupkan kembali wajah Islam seperti masa Salaf ash-shâlih (the golden period), tetapi bagi Albânî kategori bidah mencakup juga fenomena kemodernan. Karena semangat tekstualisme yang sangat kuat di dalamnya, boleh dikatakan bahwa gerakan Salafi sekarang adalah bentuk lain dari Wahabisme dengan pendekatan yang lebih radikal. Radikalisme ini bersumber dari prinsip ketaatannya yang ketat pada teks Alquran dan hadis serta praktik Islam murni para Salaf ash-shâlih. Oleh Karena itu, ketika terjadi fenomena yang berlawanan dengan teks dan tidak ada dalam praktik masa Salaf ash-shâlih, mereka menentang dan tidak berkompromi.
Kaum Salafi melawan paham-paham modern, seperti demokrasi dan partai politik. Semua itu dianggap bidah karena tidak terdapat pada masa tiga generasi awal Islam. Ketaatan pada model klasik (al-salaf as}-s}âlih}) juga menyebabkan gerakan ini tidak mengenal organisasi resmi.(BERSAMBUNG)
Melacak Gerakan Radikal Islam dari Wahabisme ke Global Salafisme
Bagian (1): Akar Kemunculan Salafisme
Bagian (2): Doktrin dan Identitas Diri
Bagian (3): Doktrin Salafi dan Politik
Bagian (4): Jihad Salafisme