Asvi Warman Adam (Ahli Peneliti Utama LIPI) pernah menjabarkan analisisnya tentang "Kudeta Merangkak" pasca tragedi 1965. Analisis Asvi Warman Adam itu dijabarkan dalan tulisan berjudul "Habis Manis Sepah Dibuang". Tulisan ini dapat dibaca dalam laman LIPI yang dipublikasikan pada tanggal 4 Februari 2008 silam. Seperti ini kutipan selangkapnya.
Habis Manis Sepah Dibuang
Apakah Soeharto terlibat dalam Gerakan 30
September Yang pasti, Soeharto adalah orang yang paling diuntungkan
dari kudeta tersebut (dan Presiden Sukarno yang sangat dirugikan).
Pertemuannya dengan Kolonel Latief pada malam 30 September 1965,
beberapa jam sebelum operasi militer itu dilaksanakan, menyebabkan
sebagian penulis menganggap Soeharto sudah tahu sebelum peristiwa itu
terjadi. Namanya tidak termasuk dalam daftar perwira tinggi yang
diculik. Kenyataan pula bahwa ia tidak melaporkan hal itu kepada
atasannya seperti Jenderal Yani.
Keterlibatan
Soeharto dalam kudeta yang terkesan disengaja untuk gagal
diperlihatkan Subandrio dengan mengkaji peran para mantan anak buah
Soeharto di Kodam Diponegoro. Ada trio untuk dikorbankan
(Soeharto-Untung-Latief) dan ada trio yang dipakai untuk masa
selanjutnya (Soeharto-Yoga Sugama, dan Ali Murtopo). Pandangan ini
merupakan analisis post-factum yang dikeluarkan setelah peristiwa itu
terjadi. Dengan melihat rangkaian kejadian itu, ditarik kesimpulan.
Jadi, bukanlah sesuatu yang direncanakan secara mendetail dari awal
sampai akhir.
Dari pengamatan ini terlihat
bahwa proses pengambilan kekuasaan itu dilakukan secara bertahap,
sehingga disebut creeping coup (kudeta merangkak). Yang merupakan
paradoksal, lazimnya kudeta merupakan perebutan kekuasaan secara cepat
dan tidak terduga. Namun, di sini ternyata itu dilakukan secara
berangsur-angsur atau bertahap.
Kudeta
merangkak adalah rangkaian kegiatan untuk mengambil kursi kepresidenan
secara bertahap sejak 1 Oktober 1965 sampai 1966 (keluarnya Supersemar)
atau 1967 (pejabat presiden) atau 1968 (menjadi presiden). Saskia
Wieringa menamakan peristiwa tahun 1965 sebagai kup pertama dan tahun
1966 sebagai kup kedua. Peter Dale-Scott melihatnya sebagai kudeta tiga
tahap: pertama, Gerakan 30 September yang merupakan kudeta gadungan ;
kedua, tindakan balasan yaitu pembunuhan terhadap anggota PKI secara
massal; dan ketiga, pengikisan sisa-sisa kekuatan Soekarno.
Menurut Subandrio, kudeta merangkak Soeharto terdiri dari empat tahap.
Tahap pertama, menyingkirkan pesaingnya di Angkatan Darat, seperti Yani
dll. Tahap kedua, membubarkan PKI, yang merupakan rival terberat tentara
sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno
dengan menangkap 15 menteri yang loyal terhadap Soekarno, termasuk
Subandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden
Soekarno (tahun 1967 sebagai pejabat presiden, dan tahun 1968 sebagai
presiden).
Beberapa peristiwa dapat ditambahkan
dalam tahapan yang disusun oleh Subandrio. Misalnya, pengembalian
pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa ke induk pasukan di daerah asal
masing-masing pada akhir Maret 1966 dapat dimasukkan ke dalam tahap
ketiga. Tjakrabirawa, yang terdiri dari 4 batalion dan satu detasemen
(jadi sekitar 4.000-5.000 anggota pasukan), merupakan kekuatan pendukung
Bung Karno.
Perlu dicatat bahwa upaya
pengambilan kekuasaan memang dilakukan Soeharto secara serius.
Supersemar bukan keluar secara mendadak atau bukan pula inisiatif
spontan Jenderal Jusuf, Basuki Rahmad, dan Amir Machmud. Tanggal 9 Maret
1966, Soeharto melalui Jenderal Alamsyah telah mengutus dua penguasa
yang dekat Bung Karno (Dasaat dan Hasyim Ning) ke Istana Bogor untuk
membujuk beliau menyerahkan pemerintahan. Tidak dapat dibujuk, maka
dilakukan penekanan terhadap Bung Karno, antara lain dengan demonstrasi
besar-besaran mahasiswa tanggal 11 Maret 1966.
Ternyata kudeta merangkak itu bukan saja dilakukan oleh Soeharto dan
kelompoknya, tetapi dilaksanakan berbarengan dengan apa yang saya sebut
kudeta merangkak MPRS. MPRS berperan sangat besar secara yuridis untuk
mengalihkan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Walaupun
ironisnya, setelah kekuasaan itu diperoleh, MPRS pun dimatikan secara
perlahan-lahan.
Uraian tentang kudeta merangkak
ini tidak disebut dengan istilah demikian, namun diberikan secara
gamblang oleh Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo (alm) dalam disertasinya di
Universitas Airlangga Surabaya tahun 1990 mengenai Peralihan Kekuasaan:
Kajian Teoretis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara. Tahap-tahap
kudeta merangkak MPRS dilaksanakan secara berikut:
Pertama, Supersemar, yang dikeluarkan 11 Maret 1996, dikukuhkan menjadi
Tap IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Menjadi pertanyaan, kenapa harus
dikukuhkan dengan ketetapan MPRS Kalau demikian, apakah segala
tindakan yang diambil dengan menggunakan Supersemar itu termasuk
pembubaran PKI tanggal 12 Maret 1966 tidak sah Bukankah Presiden
Soekarno sendiri sebetulnya menolak dan memarahi Soeharto mengenai
kebijakan tersebut
Kedua, tanggal 5 Juli 1966
dikeluarkan Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966, yang berisi antara lain: a)
Penetapan tidak perlunya jabatan wakil presiden, b) Apabila presiden
berhalangan, pemegang SP 11 Maret 1966 memegang jabatan presiden. Ketetapan MPRS ini jelas melanggar UUD 1945 karena di dalam UUD 1945
ditetapkan jabatan wakil presiden. UUD 1945 ini belum diamandemen. Jadi,
ketetapan tersebut bersifat inkonstitusional. Kedua, apabila presiden
berhalangan, maka wakil presiden yang menggantikannya, bukan pemegang SP
11 Maret. Lagi-lagi pasal ini melanggar UUD 1945.
Ketiga, tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pidato
Pelengkap Nawaksara kepada Pimpinan MPRS. Pimpinan MPRS mengeluarkan
Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967 tentang Penolakan Pidato
Nawaksara. Keputusan MPRS berbeda dengan ketetapan MPRS karena keputusan
MPRS itu hanya bersifat internal MPRS. Jadi, penolakan terhadap pidato
Nawaksara itu hanya dilakukan oleh beberapa pimpinan MPRS, bukan hasil
sidang paripurna lembaga itu.
Keempat, tanggal
20 Februari 1967, Presiden Soekarno/Mandataris MPRS mengeluarkan
Pengumuman tentang Penyerahan Kekuasaan kepada Pengemban Tap MPRS No.
IX/MPRS/1966 . Penyerahan kekuasaan semacam ini tidak ada dasarnya dalam
UUD 1945.
Penyerahan kekuasaan berarti
mengalihkan kekuasaan dan tanggung jawab, yang secara teoretis harus
dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi kekuasaan.
Penyerahan kekuasaan itu berbeda dengan pengembalian mandat.
Pengembalian mandat tidak membutuhkan persetujuan pemberi kuasa,
sedangkan proses peralihan kekuasaan harus memperoleh persetujuan
terlebih dulu dari pemberi kekuasaan.
Pemberi
kekuasaan kepada presiden adalah MPRS. Jadi, kalau presiden, selaku
mandataris MPRS, mengembalikan mandatnya kepada MPRS, ia tidak perlu
meminta persetujuan dari MPRS. Tetapi, kalau presiden akan menyerahkan
kekuasaannya kepada orang lain, ia harus meminta persetujuan MPRS.
Ini yang tampaknya dicoba dikoreksi dengan Tap No. XXXIII/1967, yang
dikeluarkan 20 hari kemudian. Waktu 20 hari itu sebetulnya dapat
dikategorikan sebagai apa: kevakuman pemerintahan, atau ada pemerintahan
tetapi tidak sah menurut konstitusi
Kelima,
tanggal 12 Maret 1967 MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967
tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.
Ketetapan ini mempunyai beberapa masalah. Pertama, mendiskreditkan
Presiden Soekarno dengan mengaitkannya dengan percobaan kudeta Gerakan
30 September. Kedua, ayat-ayat dalam ketetapan ini bertentangan. Pasal 6
tap ini menyatakan penyelesaian persoalan hukum menyangkut Dr Ir
Soekarno akan dilakukan dengan ketentuan hukum, dan keadilan dan
pelaksanaannya diserahkan kepada pejabat presiden . Kalau mau
diselesaikan secara hukum, tentu Soekarno harus diadili (niscaya beliau
akan bebas karena tidak akan terbukti bersalah), jadi diproses melalui
sidang pengadilan. Tetapi pelaksanaannya diserahkan pejabat presiden:
ini yang kontradiktif dengan ketentuan yang pertama. (Kenyataan, sampai
Bung Karno wafat tahun 1970, Presiden Soeharto membuat kasus ini
mengambang tanpa keputusan hukum.)
Keenam,
bersamaan dengan pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno, Jenderal
Soeharto selaku pemegang Supersemar diangkat sebagai pejabat presiden .
Lembaga pejabat presiden adalah lembaga ekstra-konstitusional karena
tidak dikenal dalam UUD 1945.
Ketujuh, tanggal
28 Februari 1968 muncul Pernyataan Pendapat DPRGR No.
12/DPRGR/III/1966-1967, yang isinya mendesak Pengemban Tap MPRS No.
IX/MPRS/1966 untuk melakukan penyegaran keanggotaan MPRS dan mendesak
agar Jenderal Soeharto diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Anggota MPRS yang loyal kepada Soekarno dikeluarkan dan diganti dengan
pendukung Soeharto.
Kedelapan, tanggal 27 Maret 1968 Soeharto diangkat sebagai presiden sampai terpilihnya presiden hasil pemilihan umum. Dalam sidang MPRS tahun 1966 ditetapkan sebetulnya pemilihan umum akan
dilaksanakan pertengahan tahun 1968. Soeharto setelah terpilih jadi
presiden langsung mengundurnya sampai tahun 1971.
Setelah Soeharto menjadi presiden, yang pertama dilakukannya adalah
pergi ke Jepang untuk merundingkan utang luar negeri. Setelah itu, MPRS,
yang telah berjasa menjadikannya sebagai presiden, mulai dimatikan
secara perlahan-lahan. Lembaga ini dijadikan sebagai lembaga yang hanya
bersidang sekali lima tahun. Kegiatan Badan Pekerja MPRS diboikot oleh
Fraksi Golkar dan ABRI dengan tidak menghadiri sidang-sidangnya.
Jenderal Nasution dan juga Subchan ZE, yang sering berpidato di
mana-mana dengan mengeluarkan pendapat atas nama pimpinan MPRS, dikritik
pihak keamanan Orde Baru bahwa pernyataan itu tidak sah, karena suara
MPRS haruslah dikeluarkan melalui sidang pleno. Setelah itu, memang MPRS
tidak berfungsi lagi sampai terbentuknya MPR hasil pemilu.
Menjelang akhir tugasnya, Nasution dkk masih sempat menulis Laporan
Pimpinan MPRS Tahun 1966-1972. Buku itu memuat kritik tajam terhadap
berbagai kekurangan pada awal Orde Baru dan hal-hal yang seharusnya
dilaksanakan (misalnya otonomi daerah). Namun, laporan itu tidak boleh
beredar dan konon kabarnya ribuan eksemplar dibakar oleh aparat
keamanan. Untunglah ada beberapa eksemplar yang dapat diselamatkan, dan
itulah yang diulas secara khusus oleh majalah Tempo edisi 22-28 Juli
2002.
Nasution telah berjasa mengantarkan
Soeharto ke kursi kepresidenan, namun setelah itu ia disingkirkan. Habis
manis, sepah dibuang. Tujuan menghalalkan segala cara. Kudeta
merangkak MPRS adalah kisah tragis dan ironis tentang ketatanegaraan di
Indonesia. Hukum dimanfaatkan untuk melegitimasi kekuasaan, sedangkan
kekuasaan itu sendiri berada di atas hukum.
Sumber : Tempo (50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008)
Untuk memperkaya referensi bisa menyimak video dokumenter tragedi 1965