Letusan Gunung Galunggung dan Penerbangan Horor British Airways 1982


Setelah “tidur” kurang lebih 63 tahun, Gunung Galunggung di Tasikmalaya, Jawa Barat, meletus kembali pada 5 Mei 1982. Letusan berupa dentuman, pijaran api, dan kilatan halilintar. Bencana ini berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983.

Letusan Gunung Galunggung ini ternyata sempat membuat pesawat British Airways Penerbangan 9 nyaris celaka saat menempuh perjalanan dari London ke Auckland (Selandia Baru) pada 24 Juni 1982. Kala itu, pilot Eric Moody tengah membawa 263 penumpang. Namun pilot tidak mengetahui jika Gunung Galunggung baru saja meletus. Ketika pesawat berada di atas Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, pesawat mendadak menghadapi awan bermuatan abu vulkanik. Saat itu, pesawat tengah berada di ketinggian 36.000 kaki atau setara dengan 11.000 meter.

Tanpa berpikir panjang, Eric dan asistennya kemudian mengambil keputusan untuk segera melandaskan pesawat di bandara terdekat, yakni Jakarta. Anehnya, kru darat tidak mengetahui bahwa mesin pesawat tersebut mati. Selain itu, mereka tidak bisa melihat pemandangan di luar lewat kaca depan dan sebagian dari panel elektronik untuk membantu pendaratan darurat tidak jalan. Sebagai kapten penerbangan, Eric berusaha untuk tetap tenang dalam mengendalikan pesawat mati tersebut.

Eric Moody (tengah). Sumber: airlineratings.com
Untungnya, ketika pesawat dengan nomor registrasi G-BDXH tersebut menyentuh ketinggian 13.000 kaki, tiga dari empat mesin kembali menyala, sehingga pesawat tersebut bisa melakukan pendaratan darurat di Jakarta. Para penumpang penerbangan tersebut membentuk Galunggung Gliding Club, agar mereka bisa terus berkomunikasi satu sama lain.


Secara geografis, Indonesia dikenal sebagai lokasi yang dikelilingi oleh gunung berapi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ring of Fire. Ini tentu bukan kabar baik bagi dunia aviasi, bercermin pada kejadian yang menimpa British Airways pada tahun 1982 tersebut. Terkait hal ini, pada 9 November 2010 silam, Kementerian ESDM, Badan Geologi, Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menandatangani nota Kesepakatan Bersama Pelayanan Informasi Awan Abu Vulkanik (Volcanic Ash Cloud) untuk Kegiatan Penerbangan. Memorandum of Undestanding (MoU) ini merupakan upaya pemenuhan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, serta rekomendasi International Civil Aviation Organization (ICAO), Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP), serta implementasi dari Peraturan Menteri Nomor KM 52 Tahun 2010 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 174 tentang Pelayanan lnformasi Meteorologi Penerbangan yang telah ditandangani tanggal 14 September 2010.


Penerbangan Horor Lain Akibat Gangguan Abu Vulkanik
David Farrell, salah seorang penumpang pesawat KLM 867 rute Amsterdam-Tokyo, merasakan menit-menit paling menegangkan bersama 14 awak dan 230 penumpang lainnya  pada 15 Desember 1989 silam. Empat mesin pesawat Boeing 747 yang mereka tumpangi mati seketika saat berada di wilayah udara Alaska. "Saat itu gelap. Para penumpang berteriak, suasana penuh dengan kepanikan...Itu hal yang terburuk yang pernah saya alami.."

Pesawat malang ini meluncur tanpa tenaga selama kurang lebih 8 menit, pesawat turun dari ketinggian 25.000 kaki ke 12.000 kaki. Untungnya setelah itu sang pilot berhasil me-restart dua mesin sehingga musibah urung terjadi. Dalam laporan The New York Times, terungkap gangguan mesin itu disebabkan efek abu letusan Gunung Redoubt di Alaska.  Boeing 747 Singapore Airlines, Singapore-Melbourne, dengan 230 penumpang mengalami kejadian sama.

“Jenis abu vulkanik seperti pasir halus atau butiran amplas. Jika itu masuk ke dalam mesin pesawat dengan ukuran yang pas, ini bisa menyebabkan mesin mati (shut down),” kata Profesor Aeronautics dan Astronautics dari Massachusetts Institute of Technology John Hansman, seperti dikutip AccuWeather.

AccuWeather mengungkapkan dalam 15 tahun terakhir setidaknya ada 7 pesawat komersial yang mengalami kondisi serupa. Abu vulkanik letusan gunung api bagi dunia penerbangan adalah ladang ranjau bagi pilot dan pesawatnya. Ia menjadi salah satu faktor risiko paling utama bagi pesawat terbang, meski pesawat terbang terbang bermil-mil dari erupsi gunung api.

Selain bisa membuat mesin pesawat mati, abu vulkanik juga menambah keausan mesin pesawat sehingga menambah biaya perawatan. Dalam kasus KLM 867 yang menghadapi letusan Gunung Redoubt di Alaska, maskapai harus merogoh US$80 juta untuk perbaikan pesawat dan pergantian empat mesin.

Akibat meletusnya gunung Eyjafjallajokull di Islandia 2010 lalu, tercatat total kerugian pendapatan maskapai penerbangan hingga US$1,7 miliar selama enam hari, menurut data International Air Transport Association (IATA). Krisis abu vulkanik ini berdampak pada 29 persen penerbangan global yang berimbas pada 1,2 juta penumpang/hari.

Gangguan penerbangan akibat letusan gunung api memang tak bisa dihindari dan terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Jangkauan sebaran abu vulkanik bisa membumbung hingga 20.000-35.000 kaki (6-10 km), mencapai ketinggian terbang sebuah pesawat komersial.

Aktivitas gunung api di Indonesia bergantian batuk-batuk hingga meletus hebat hampir setiap tahun, bahkan aktivitasnya ada yang menahun seperti Gunung Sinabung di Sumatera. Beberapa tahun lalu, erupsi Gunung Merapi dan Bromo sempat membuat berbagai bandara ditutup, sehingga berbagai penerbangan dibatalkan.

Belum lama ini, aktivitas Gunung Rinjani di Lombok dana Gamalama di Maluku, menjadi persoalan bagi penerbangan di wilayah timur khususnya Bali yang merupakan destinasi utama wisata Indonesia.

Terbang di Atas Cincin Api
Indonesia bersama Rusia dan Amerika Serikat (AS) tercatat sebagai rumah utama bagi gunung api dunia. Indonesia berada di ring of fire atau cincin api yang bisa menjadi dua mata pisau yang berbeda. Gunung api bermanfaat besar bagi kesuburan lahan pertanian hingga pariwisata, tapi di sisi lain rentan bencana sehingga berpotensi mengganggu sarana transportasi udara.

Sejak kasus Boeing 747 British Airways, dunia penerbangan mencoba lebih waspada terhadap risiko abu vulkanik. Beberapa pusat informasi abu vulkanik atau Volcanic Ash Advisory Centre dibentuk di berbagai negara, sebagai mata bagi dunia penerbangan. Hingga kini ada 9 zona pengawasan, dan wilayah gunung api Indonesia berada di bawah pusat informasi Darwin Volcanic Ash Advisory Centre (VAAC) di Australia yang bekerja 24 jam.

Mereka mengandalkan data satelit, laporan lapangan dari badan meteorologi setempat, dan perhitungan di atas kertas hingga perkiraan pergerakan abu vulkanik. VAAC yang bekerjasama dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Badan Meteorolgi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahan informasi. Dalam dunia penerbangan, informasi itu dikenal dengan istilah Notice to Airman (NOTAM) atau ASTHAM yang jadi pegangan bagi pengelola bandara hingga pilot.

“Setiap kali terjadi erupsi, regulator selalu terbitkan NOTAM dan secara berkala beri update perkembangan arah abu vulkanik. Sesuai standar internasional. Eropa juga lakukan itu,” kata pemerhati dunia penerbangan Alvin Lie kepada wartawan Tirto.

Teknologi industri pesawat juga terus berkembang. Semenjak 2011, dikembangkan sistem pendeteksi abu vulkanik langsung dari ruang kokpit. Sistem yang bernama Airborne Volcanic Object Imaging Detector (AVOID) dibangun oleh Nicarnica Aviation. Dengan sistem kamera inframerah, ia bisa mendeteksi abu vulkanik dalam jarak 62 mil, memungkinkan seorang pilot pesawat punya waktu 7-10 menit untuk menghindari gumpalan abu vulkanik.

Alam memang tak bisa dilawan, tapi manusia punya mata untuk membacanya.