Surabaya di Masa Kolonial Belanda

Soerabaia Schouwburg









Kota Surabaya sudah sejak abad ke-18 menjadi bagian dari penjajahan Belanda. Secara resmi Kota Surabaya menjadi bagian dari kekuasaan VOC setelah pada tahun 1705 Mataram mengadakan perjanjian dengan VOC yang salah satu isinya menyebutkan bahwa VOC diberi kebebasan untuk mendirikan benteng di seluruh wilayah Jawa.  Hal itu dilakukan setelah Mataram merasa berhutang budi kepada VOC yang telah membantunya memadamkan berbagai pemberontakan.[1] Tahun 1743 Belanda memindahkan kedudukan  Gezaghebber van den Oosthoek dari Kota Semarang ke Kota Surabaya, sehingga resmilah Kota Surabaya menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Belanda. Tahun 1817 kota ini menjadi tempat kedudukan Residen Surabaya, dengan demikian Surabaya merupakan ibukota karesidenan. Pada periode ini pengelolaan kota berada di bawah otoritas karesidenan dan secara teknis urusan kota diserahkan kepada Asisten Residen. Tahun 1903 lahir undang-undang desentralisasi (Decentralisatie Wet 1903), yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan kota secara otonom (gemeente) di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tahun setelah lahir undang-undang itu Kota Surabaya menjadi kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri.

Berdirinya Gemeente Surabaya, 1 April 1906
            Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903 atau Decentralisatie Wet 1903, maka pada tanggal 1 April 1906 disahkan pemerintahan Kota Surabaya yang otonom yang bernama Gemeente Surabaya. Berdirinya Gemeente Surabaya disahkan melalui Staatsblad No. 149 Tahun 1906. Dalam staatsblad tersebut dijelaskan bahwa dengan berdirinya Gemeente Surabaya maka Surabaya ditetapkan sebagai kota otonom atau kota mandiri yang berkewajiban mengelola dan mendanai sendiri kota tersebut. Lebih lanjut diterangkan bahwa pemerintah pusat akan menyisihkan dana sebesar F 284.300 sebagai modal awal yang akan digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan Gemeente Surabaya.
            Sebagai konsekuensi atas pembentukan pemerintahan yang otonom, maka beberapa kewajiban yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah pusat dalam rangka mengelola Kota Surabaya, selanjutnya akan diserahkan kepada Gemeente Surabaya. Beberapa kewajiban tersebut antara lain:
  • Perawatan, pembetulan, pembaharuan, dan pembuatan jalan umum, jalan raya, lapangan, pekarangan, taman dan tanaman-tanaman, parit, sumur, rambu-rambu jalan umum, papan nama, jembatan, dinding dam, penguatan dinding selokan dan got, pembandian umum, cuci dan kakus, pemotongan hewan, dan pasar.
  • Penyiraman jalan raya, pengambilan sampah di sepanjang jalan, pengambilan sampah di jalan-jalan kecil dan di lapangan.
  • Penerangan jalan
  • Pemadam kebakaran
  • Pembuatan makam
Selain dibebani kewajiban, Gemeente Surabaya juga diserahi beberapa perlengkapan yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat, antara lain semua alat pemadam kebakaran baik yang berbentuk manual maupun dalam bentuk mobil pemadam kebakaran. Persoalan lain yang menjadi perhatian dalam pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat adalah masalah makam. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Staatsblad No. 149 tahun 1906 disebutkan bahwa makam, baik makam Eropa maupun makam Bumiputra menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Gemeente Surabaya. Gemeente berkewajiban mengangkat dan memberhentikan anggota komisi yang bertugas mengurus makam, serta berwenang membuat aturan-aturan berkenaan dengan pengelolaan makam.[2]

Kelengkapan Gemeente Surabaya
            Gemeente Surabaya masih belum memiliki kelengkapan organisasi yang memadai pada saat lembaga tersebut didirikan. Gemeente mestinya dipimpin oleh seorang burgemeester atau walikota, namun sampai tahun 1916 atau sekitar sepuluh tahun sejak Gemeente Surabaya berdiri, pemerintah belum mengangkat burgemeester Surabaya. Jabatan tersebut untuk sementara waktu masih dipegang oleh Asisten Residen Surabaya. Salah satu ciri yang menonjol dari gemeente adalah dilibatkannya warga kota untuk menangani berbagai urusan tentang kota. Partisipasi warga kota dalam mengelola kota adalah melalui lembaga perwakilan yang disebut gemeenteraad. Lembaga tersebut mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat Kota, namun dipimpin oleh burgemeester. Menurut Staatsblad No. 149 Tahun 1906, Gemeenteraad Surabaya beranggotakan 23 orang perwakilan masyarakat berdasarkan etnis, yaitu 15 orang anggota dari golongan Eropa, 5 orang anggota dari golongan Bumiputra, dan 3 orang anggota dari golongan Timur Asing. Gemeenteraad berkewajiban memberikan masukan-masukan dan pertimbangan kepada gemeente terutama berkaitan dengan pembangunan kota. Selama burgemeester belum diangkat, maka yang ditunjuk menjadi ketua Gemeenteraad Surabaya adalah Asisten Residen Surabaya, yaitu W.F. Lutter.[3] Pada tahun 1907, W.F. Lutter diganti oleh J.H. Waleson, karena yang bersangkutan dipindah di tempat lain. Pada periode ini mulai dibeli beberapa tanah yang diperuntukan untuk pengembangan kota, perluasan pemukiman Eropa, dan tanah untuk makam.
            Pada periode yang pertama, keanggotaan Gemeenteraad Surabaya masih ditunjuk. Tahun 1909 penyusunan keanggotaan gemeenteraad mulai dilakukan dengan cara pemilihan, terutama untuk keanggotaan dari bangsa Eropa. Pada pemilihan tahun 1909 jumlah masyarakat Eropa yang terdaftar sebagai pemuilih hanya berjumlah sekitar 1.398 orang, dan dari jumlah tersebut ternyata yang memilih hanya sekitar 25 persen. Pada tanggal 5 Maret 1912 secara tak terduga J.H. Waleson meninggal secara mendadak, sehingga kedudukan beliau sebagai ketua gemeenteraad Surabaya digantikan oleh G.Th. Stibbe. G.Th. Stibbe ternyata menjabat sebagai ketua gemeenteraad tidak terlalu lama, karena pada bulan Agustus pada tahun yang sama ia diberhentikan dan diganti oleh L.J. Schippers. L.J. Schippers menjabat sebagai ketua gemeenteraad sampai terpilih burgemeester definitif pada tahun 1916. Dalam pemerintah gemeente, burgemeester sekaligus merangkap sebagai ketua gemeenteraad.
Operasional Gemeente Surabaya pada awal berdiri masih berada di gedung Keresidenan Surabaya yang berada di kawasan Willemsplein atau sekitar Jembatan Merah, karena baru tahun 1923 Gemeente Surabaya memiliki gedung balaikota atau stadshuis. Kelengkapan organisasi lainnya sebelum diangkat burgemeester definitif belum ada, karena semua operasional gemeente masih mengikuti operasional kantor Keresidenan Surabaya.

Pembagian Wilayah Administrasi
            Secara administratif, Gemeente Surabaya terbagi ke dalam pemerintahan di bawahnya yang disebut dengan istilah wijk atau Lingkungan. Wijk merupakan struktur pemerintahan paling bawah yang dipimpin oleh Wijkhoofd atau Wijkmeester. Pada awalnya wijk merupakan pemerintahan paling bawah yang menghimpun  warganegara Eropa dan Timur Asing, sedangkan warga Bumiputra tidak termasuk dalam pengelolaan wijk. Pembagian Kota Surabaya ke dalam wijk sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum berdirinya Gemeente Surabaya karena wijk didirikan dalam rangka mengontrol dan mengelola warga Eropa dan Timur Asing. Nama wijk ditandai dengan abjad, dan pada saat Gemeente Surabaya baru berdiri terdapat 25 wijk, tetapi pada tahun 1914 bertambah menjadi 26 wijk berdasarkan Keputusan Residen Surabaya No. 2/24 tanggal 24 April 1914.





Pembagian Wijk di Kota Surabaya pada Masa Kolonial

No. Nama Wijk Nama Wilayah
1 A Kebalen
2 B Pesapen
3 C Krembangan
4 D Boomstraat
5 E Bergwars Straat
6 F Pangong
7 G Pangong
8 H Pangong
9 I Kapasari
10 J Kampong Baroe
11 K Ampel
12 L Marine Etablissement
13 M Marine Etablissement
14 N Tjantian
15 O Tjantian
16 P Kalie Anjar
17 Q Gemblongan
18 R Plampitan
19 S Krambangan
20 T Bandar Genteng
21 U Ketabang
22 V Groedo
23 W Embong Malang
24 X Peneleh
25 Y Tambaksari
26 Z Bubutan


Sumber: Adres-boek van Soerabaya voor 1872, (Surabaya: Chs. Kocken & Co., 1873), hlm. 24; Sjamsu Koesmen dan Pangestu BW, Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja, (Surabaya: Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja, 1957), hlm. 114


            Walaupun sudah terdapat kejelasan wilayah yang menjadi tanggung jawab Gemeente Surabaya, yaitu wilayah yang terbagi dalam wijk, namun batas-batas wilayah kota secara keseluruhan belum terlalu jelas. Batas dengan kabupaten-kabupaten di sekeliling Kota Surabaya pada awal berdiri Gemeente Surabaya belum ditentukan secara yuridis.
Lambang Gemeente Surabaya
            Pada saat Kota Surabaya ditetapkan sebagai gemeente pada tahun 1906, ditetapkan pula lambang kota sebagaimana gambar di bawah. Lambang kota tersebut berupa dua ekor singa (Nederlande Leeuwen) berwarna emas yang berlidah dan berkuku merah. Kedua singa tersebut memegang perisai yang terdapat gambar ikan hiu (sura) dan buaya (baya), yang menggambarkan makna Kota Surabaya. Kedua kaki bawah mencengkeram pita yang bertuliskan SOERA-ING-BAIA.  Di atas perisai yang dipegang oleh dua ekor singa terdapat gambar benteng yang  memiliki arti bahwa kota Surabaya adalah kota yang dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.



Gemeente Surabaya pada Masa Burgemeester Mr. A. Meyroos (1916-1921)
            Setelah Gemeente Surabaya berdiri selama sepuluh tahun lebih, barulah tahun 1916 diangkat seorang burgemeester (walikota) secara definitif. Burgemeester yang pertama kali diangkat adalah Mr. A. Meyroos, yang menjabat mulai tanggal 21 Agustus 1916. Dengan diangkatnya burgemeester secara definitif maka roda pemerintahan Gemeente Surabaya mulai berjalan dengan baik.


Mr. A. Meyroos

Penataan Organisasi
            Pada periode ini mulai dilakukan penataan organisasi gemeente, dengan melengkapi lembaga tersebut dengan beberapa dinas yang bersifat operasional. Pada periode ini Gemeente Surabaya dilengkapi dengan empat dinas, yaitu:
  1. Bagian Urusan Umum (Gemeente Secretarie)
  2. Bagian Pekerjaan Umum (Gemeente Werken), yang meliputi pula Dinas Pemadam Kebakaran (Brandweer)
  3. Bagian Perusahaan-perusahaan (Gemeente Bedrijven), antara lain: perusahaan air minum, pemotongan hewan (abattoir), dan pasar.
  4. Bagian Urusan Kesehatan Umum.
Pada periode ini hampir semua urusan yang semula ditangani oleh pemerintah pusat dengan anggaran yang ditanggung oleh pemerintah pusat pula, sudah dialihkan kepada Gemeente Surabaya. Dengan demikian maka gemeente memiliki kewajiban untuk mengelola sendiri anggaran pendapatan dan belanja gemeente. Berkaitan dengan hal tersebut maka Gedmeente Surabaya memaksimalkan peran perusahaan-perusahaan yang dikelolanya, antara lain perusahaan pemotongan hewan (abattoir), perusahaan air minum, dan pasar. Gemeente juga mulai menarik pajak kepada warga kota untuk menambah kas.
Secara umum gemeente sebenarnya dibentuk untuk menyelenggarakan pemerintahan kota dalam rangka untuk kelayani kepentingan warga Eropa di kota Surabaya. Dengan demikian maka penduduk Bumiputra yang tinggal di kampung-kampung tidak berada dalam pengelolaan gemeente, atau pemerintahan yang berada di bawahnya yaitu wijk. Kampung yang ditinggali oleh penduduk Bumiputra merupakan kawasan yang bersifat otonom yang berada dalam kendali sistem pemerintahan tradisional, yaitu desa. Desa tidak bertanggung jawab kepada gemeente melainkan bertanggung jawab kepada pemerintahan tradisional di atasnya, yaitu kabupaten. Dalam kategori yang dibuat oleh pemerintah kolonial, desa-desa otonom di perkotaan disebut inlands gemeenten. Desa memiliki dessa-bestuur yang dipimpin oleh seorang lurah yang bertanggung jawab kepada bupati. Dengan adanya desa yang berada di kota, maka di wilayah Gemeente Surabaya terdapat dualisme pemerintahan yaitu daerah otonom gemeente yang diselenggarakan dengan hukum Barat, dan daerah otonom desa (inlands gemeenten) yang diselenggarakan dengan hukum tradisional. Dualisme pemerintahan tersebut baru berakhir pada tanggal 1 Januari 1931 dengan digabungkannya pemerintahan desa kepada Gemeente Surabaya.

Kantor Gemeente
            Kantor Gemeente Surabaya pada awalnya masih menjadi satu dengan Kantor Residen Surabaya di kawasan Willemsplein atau kawasan Jembatan Merah. Wajar saja, karena sebelum diangkat burgemeester secara definitif penyelenggaraan pemerintah gemeente masih di bawah pimpinan Asisten Residen Surabaya sebagaimana telah diuraikan di bagian sebelumnya.


Kantor Residen Surabaya di kawasan Willemsplein (Jembatan Merah), tempat penyelenggaraan pemerintahan Gemeente Surabaya pada periode awal. Sumber: www.kitlv.nl


            Pada tahun 1920 Kantor Residen Surabaya dibongkar dengan alasan kantor tersebut menghalangi jalan dari arah Handelstraat (Kembang Jepun) menuju Hereenstraat (Jalan Rajawali saat ini). Sejak saat itu Gemeente Surabaya tidak memiliki kantor tetap. Untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, Gemeente Surabaya menyewa sebuah rumah di Jalan Gemblongan No. 6 dengan sewa F 400 tiap bulan. Pada perkembangan selanjutnya, kantor tersebut ternyata dianggap kurang representatif karena urusan pemerintahan bertambah banyak sehingga volume pekerjaan juga bertambah. Untuk mengantisipasi pekerjaan yang semakin banyak tersebut maka jumlah staf di sekretariat gemeente juga diperbanyak. Akibatnya, ruangan di kantor tersebut mengalami kekurangan. Jalan satu-satunya kantor harus dipindah karena tidak mungkin memperluas kantor tersebut. Akhirnya gemeente menyewa sebuah gedung yang lebih besar yang terletak di Jalan Kedungdoro.[4] Gemeente menempati gedung sewaan tersebut sampai tahun 1923 karena pada tahun itu Gemeente Surabaya sudah memiliki gedung sendiri yang terletak di Ketabang.

Gemeente Surabaya pada Masa Burgemeester Ir. G.J. Dijkerman  (1921-1929)
            Ir. G.J. Dijkerman adalah insinyur sipil dan bangunan air lulusan dari Technische Hoogeschool te Delft. Karirnya dimulai pada tahun 1914 di Burgerlijk Openabaare Werken/BOW (Dinas Pekerjaan Umum), sebagai Kepala Pengairan Brantas di Kediri. Pada tahun 1918 diangkat sebagai Kepala Pelabuhan Surabaya, sampai akhirnya diangkat sebagai Burgemeester Surabaya pada tahun 1921. Pada saat Ir. G.J Dijekrman menjabat sebagai burgemeester, terjadi perubahan yang sangat signifikan di Kota Surabaya. Perubahan yang sangat mendasar pada sistem pemerintahan adalah ditingkatkannya status Pemerintah Kota Surabaya dari gemeente menjadi stadsgemeente pada tahun 1926. Perubahan tersebut merupakan implikasi dengan dikeluarkannya Stadsgemeente Ordonnantie pada tanggal 10 Oktober 1926, yang dimuat dalam Staatsblad No. 365 tahun 1926. Ordonnantie tersebut merupakan ketentuan mengenai peningkatan status gemeente (otonomi terbatas) menjadi stadsgemeente (otonomi penuh), sehingga stadsgemeente disebut zelfstandige recht-gemeenschappen, yaitu wewenang sepenuhnya untuk mengelola kota (otonomi penuh), dan diberi hak untuk membuat berbagai peraturan (perangkat hukum untuk mengatur kota). Oleh karena itu di dalam stadsgemeente diberi perangkat tambahan yang bernama College van Burgemeester en Wethouders, sedangkan gemeenteraad berubah menjadi stadsgemeenteraad yang dipimpin oleh burgemeester. Dengan perubahan tersebut maka Pemerintah Kota Surabaya mendapatkan otonomi penuh dalam rangka mengelola kota dengan kelengkapan pemerintah antara lain: Gemeenteraad, College van Burgemeester en Wethouders, dan Burgemeester.
            Pada periode ini jumlah anggota gemeenteraad bertambah menjadi 27 orang, yang sebelumnya hanya berjumlah 23 orang. Anggota gemeenteraad tersebut dengan rincian: 15 orang mewakili golongan Eropa, 8 orang mewakili golongan Bumiputra, dan 4 orang mewakili golongan Timur Asing. Bagian terbesar anggota gemeenteraad mewakili golongan Eropa, yang sebenarnya secara riil jumlah masyarakat Eropa di Kota Surabaya tidak terlalu banyak. Dengan demikian keanggotaan di gemeenteraad sebenarnya tidak merepresentasikan golongan etnis, melainkan merupakan alat kelengkapan pemerintahan orang-orang Belanda di negara jajahan mereka.

Ir. G.J. Dijkerman

Pembangunan Kantor Gemeente
            Sebagaimana telah diuraikan di bagian sebelumnya, setelah kantor Keresidenan Surabaya yang terletak di kawasan Jembatan Merah dibongkar pada tahun 1920, Gemeente Surabaya kemudian tidak memiliki kantor definitif. Untuk operasional administrasi sehari-hari gemeente terpaksa harus menyewa gedung kepada pihak lain. Kondisi tersebut tentu saja kurang nyaman karena gedung yang disewa adalah gedung yang tidak terlalu besar sehingga tidak mampu menampung keseluruhan pegawai gemeente yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Sebenarnya pada tahun 1915 Gemeente Surabaya sudah memesan desain kantor gemeente atau balaikota (stadshuis) kepada arsitek G.C. Citroen. Rencana semula balaikota akan didirikan di kawasan taman kota (stadstuin), satu kompleks dengan kantor Raad van Justitie. Namun rencana awal tersebut gagal direalisasikan karena Gemeente Surabaya tidak memiliki banyak dana. Barulah pada tahun 1920 G.C. Citroen kembali mendapat tugas dari pihak gemeente untuk membuat desain balaikota kembali. Namun lokasi yang semula di kawasan taman kota dipindah ke Ketabang, karena pada waktu itu kawasan Ketabang belum terlalu ramai dan terdapat tanah yang masih luas. Balaikota yang dirancang oleh Citroen sangat megah dengan panjang sekitar 102 meter, menghadap ke arah selatan ke arah halaman yang berupa lapangan rumput yang juga sangat luas.

Kantor Gemeente Surabaya (balaikota) yang sangat megah, hasil rancangan arsitek ternama G.C. Citroen. Sumber: www.kitlv.nl


Pembangunan Fasilitas Umum Lainnya
            Sejak Kota Surabaya ditetapkan sebagai kota otonomi penuh, pembangunan berbagai fasilitas umum terus dilakukan. Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah pembangunan dan peningkatan jalan raya. Anggaran untuk perawatan,  perbaikan, dan peningkatan jalan raya setiap tahun rata-rata sekitar F 250.000. Dengan anggaran sebanyak itu Gemeente Surabaya mampu mengaspal jalan raya sekitar 43.000 meter persegi dalam setiap tahun. Beberapa jembatan penting juga dibangun selama periode pemerintahan Burgemeester Dijkerman. Pada tahun 1924 dibangun jembatan Gubeng yang menelan anggaran sebesar F 266.338. Setahun kemudian dibangun pula jembatan Wonokromo yang menelan anggaran sebesar F 200.000.
            Proyek lain yang dikerjakan pada periode ini adalah perbaikan drainase atau saluran pematusan. Masalah drainase merupakan masalah krusial di Kota Surabaya, karena Surabaya yang merupakan kota pantai sering terkena rendaman air dalam jangka yang cukup lama. Proyek perbaikan drainase sebenarnya sudah dimulai tahun 1915 atas kerja sama dengan pemerintah pusat, namun tidak terlalu lancar. Proyek ini mulai dikerjakan secara lebih serius pada tahun 1927. Proyek drainase pertama yang dikerjakan adalah pembangunan saluran bawah tanah (riool) di Jalan Embong Malang yang menelan biaya sebesar F 154.000 serta pengerukan saluran air di Krembangan yang menelan biaya sebesar F 200.000. Kedua pekerjaan tersebut selesai pada tahun 1928.

Gemeente Surabaya pada Masa Burgemeester H.I. Bussemaker dan G.J. ter Poorten (1929-1932)

            Pada tanggal 28 Januari 1929, G.J. Dijkerman secara mendadak meninggal dunia. Hal tersebut tentu saja mengagetkan seluruh warga Kota Surabaya karena pada waktu itu Dijkerman sedang giat-giatnya menjalankan berbagai program pembangunan. Sebagai penggantinya, ditunjuk H.J. Bussemaker yang pada waktu itu sedang menjabat sebagai Burgemeester Malang. Pada bulan Februari 1930, Bussemaker mengajukan cuti kepada pemerintah untuk mengadakan perjalanan ke Negeri Belanda selama delapan bulan. Selama Bussemaker cuti, jabatan burgemeester dipegang oleh G.J. ter Poorten. Pada tanggal 1 Nopember 1930 Bussemaker aktif kembali menjabat Burgemeester Surabaya setelah aktif kembali dari cutinya. Sementara itu G.J. ter Poorten mendapat promosi baru sebagai Residen Priangan Timur yang berkedudukan di Tasikmalaya.


H.I. Bussemaker

Pada periode ini College van Burgemeester en Wethouders terdiri dari lima orang, yaitu H.I. Bussemaker dengan kedudukan sebagai burgemeester dan empat orang yang berkedudukan sebagai wethouders, yaitu Mr. A. Van Gennep, D.L. Rosenquist, Lie Ping An, dan M. Ng. Askaboel Djojopranoto.[5] Pada tanggal 31 Desember 1930 D.L. Rosenquist digantikan oleh H. Bach Kolling. Dengan adanya wethouders, maka pekerjaan-pekerjaan dalam lingkup Gemeente Surabaya ditangani oleh dua lembaga, yaitu burgemeester dan wethouders dengan pembagian pekerjaan yang cukup jelas. Hal-hal yang ditangani oleh burgemeester antara lain:
  • Peraturan umum mengenai kepolisian
  • Peraturan mengenai kesusilaan/budi pekerti
  • Peraturan mengenai kepemilikan senjata
  • Peraturan mengenai pencatatan penduduk
  • Statistik Kota
  • Personil dinas-dinas di bawah gemeente
Sedangkan hal-hal yang ditangani oleh wethouder adalah:
  • Dinas Pekerjaan Umum
  • Pemadam kebakaran
  • Peraturan mengenai bangunan dan selokan
  • Peraturan mengenai operasional taksi
  • Berbagai peraturan daerah untuk kepentingan umum
  • Peraturan tentang jalan umum
  • Peraturan tentang kendaraan umum
  • Pengelolaan personil di dinas-dinas
  • Pengelolaan makam
  • Biro perburuhan



Struktur Organisasi Gemeente
            Secara umum struktur organisasi Gemeente Surabaya pada periode ini adalah sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini:

Struktur Organisasi Gemeente Surabaya tahun 1930

Bagian Sub-bagian
Kelompok I
  1. Sekretariat Gemeente (Gemeente-Secretarie)




  1. Urusan Umum (Algemeen Zaken)
  2. Pajak dan Penduduk (Belasting en Bevolking )
  3. Bagian Keuangan (Afdeling Financien)
  4. Dinas Pengawasan  (Controledienst)
  5. Pelayan (Bedienden)
  6. Kontrol Keuangan (Financieele Controle)
  1. Kantor Pemungut Pajak (Ontvangerskantoor)
  2. Pusat Administrasi Perusahaan Kota (Centrale Bedrijfsadministratie)
  3. Kantor Pembelian dan Gudang (Inkoopkantoor en Magazijn)
Kelompok II
Pekerjaan Umum (Publieke Werken)
  1. Pekerjaan Gemeente (Gemeentewerken)
  2. Pengawan Rumah dan Bangunan (Bouw- en Woningtoezicht)
  3. Pendataan Bangunan (Woningstelling)
  4. Pemadam Kebakaran (Brandweer)
Kelompok III
Perusahaan-perusahaan (Bedrijven)
  1. Administrasi Umum (Algemeen Beheer)
  2. Perusahaan Tanah dan Rumah (Grond- en Woningbedrijf)
  3. Pemerintahan Desa (Dessabestuur)
  4. Perusahaan Air Minum (Waterleiding)
  5. Tempat Kerja (Werkplaats)
  6. Dinas Kesehatan Hewan (Veterinair-Hygienische Dienst)
  7. Rumah Pemotongan Hewan (Slachthuis)
  8. Dinas Kebersihan, Penyiraman, dan Pertamanan (Reinigings-Besproeing- en Plantsoen Dienst)
  9. Urusan Makam (Begraafplaatsen)
10. Perusahaan Pasar (Pasarbedrijf)
Dinas Khusus
Urusan Sosial (Sociale Aangelegenheden) Statistiek dan Urusan Kemiskinan (Statistiek en Armenzorg
Dinas Lain
  1. Pendidikan (Onderwijs)
  1. Dinas Kesehatan (Gezondheiddienst)
  2. Pemeriksa Taksi (Taxikeuring)
  3. Biro Tenaga Kerja (Arbeidbureau)
  4. Urusan Musik (Muziek)
Sumber: Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaja over 1930, hlm. 46-69

Kelengkapan lain dari gemeente adalah stadsgemeenteraad. Lembaga ini diketuai oleh burgemeester dan memiliki anggota 27 orang. Susunan anggota Stadsgemeenteraad Surabaya pada tahun 1930 adalah sebagaimana tabel di bawah:

Nama Anggota Stadsgemeenteraad Surabaya Tahun 1930

Nama Anggota
1 Januari 1930 10 Juli 1930 30 Desember 1930
Wakil Golongan Eropa:
H. Bach Kolling
Ds. D.F. Bartlema
J.H.P. d l’Ecluse
Mr. A. Van Gennep
A.J. Gobus
Mr. B.J.C. Hogewind
C.P.J. van Koetsveld
H.J. Osten
Mr. V.W. Ch. Ploegman
W. Roosjen
D.L. Rosenquist
K.H. Sandkuyl
Mr. C. Schlick
Ir. J.P.M. Sonneveld
F.J. Stemmerik
A.H.B. Angerbeek
Mr. W. Augustin
H. Bach Kolling
Joh. Forster
Mr. A. van Gennep
A.J. Gobus
L. Guldenaar
Ir. H. van Heyst
C.P.J. van Koetsveld
Drs. L. Korthals
Dr. A.P.G. van Mameren
Mr. J.S. Sinninghe Damste
J. Verboom
Ir. H.W. van der Voort
J.A. Wasterval
A.H.B. Angerbeek
Mr. W. Augustin
H. Bach Kolling
Joh. Forster
Mr. A. van Gennep
L. Guldenaar
Ir. H. van Heyst
C.P.J. van Koetsveld
Drs. L. Korthals
Dr. A.P.G. van Mameren
Ir. J.J.A. Pattiwael
Mr. J.S. Sinninghe Damste
J. Verboom
Ir. H.W. van der Voort
J.A. Wasterval
Wakil Golongan Bumiputra:
M. Ng. Askaboel Djojopranoto
M. Kadarisman
Dr. M. Moewalladi
M. Prawirodinoto
Dr. R. Soerjatin
M. Ng. Soerjowidikdo
R.P. Tjokrokoesoemo
M. Ng. Askaboel Djojopranoto
R. Koesmadi
J.K. Lengkong
S. Ngion
Mr.R. M.A.G. Pringgodikdo
F.L.S. Ratulangie
M. Sabar
M. Ng. Soerjowidikdo
M. Ng. Askaboel Djojopranoto
M. Djojosoeprantoko
R. Koesmadi
J.K. Lengkong
S. Ngion
F.L.S. Ratulangie
M. Sabar
M. Ng. Soerjowidikdo
Wakil Golongan Timur Asing:
Lie Ping An
Mr. Ong Liang Kok
Ir. Ong Swan Yoe
Tan Tjiang Ling
Lie Ping An
Ir. Ong Swan Yoe
Sie Kwan Djioe
Tan Tjiang Ling
Lie Ping An
Ir. Ong Swan Yoe
Sie Kwan Djioe
Tan Tjiang Ling
Sumber: Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaja over 1930, hlm. 26-29

            Keanggotaan gemeenteraad selain mewakili golongan etnis juga merupakan representasi dari partai politik yang ada di Kota Surabaya pada waktu itu. Untuk menjadi anggota gemeenteraad seseorang harus dicalonkan oleh partai politik dalam pemilihan anggota Gemeenteraad Surabaya. Pada tahun 1930 partai politik beserta jumlah wakilnya di gemeenteraad adalah sebagai berikut:

Partai yang mewakili bangsa Eropa:
            Vaderlandsche Club memiliki wakil 6 orang
            I.E.V. memiliki wakil 7 orang
            Christelijk Staatskundige Partij memiliki wakil 1 orang
            Neutrale Partij memiliki wakil 1 orang

Partai yang mewakili bangsa Indonesia:
            Persatoean Bangsa Indonesia memiliki wakil 5 orang
Inheemsche Neutrale Partij memiliki wakil 3 orang

Partai yang mewakili golongan Timur Asing
            Vereeniging Chung Hua Hui memiliki wakil 4 orang


Penggabungan Inlands Gemeenten ke dalam Gemeente Surabaya
            Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, di Kota Surabaya terdapat dualisme pemerintahan, yaitu gemeente yang menggunakan dasar hukum Barat yang membawahi orang-orang Eropa, dan inlands gemeenten yang menggunakan dasar hukum tradisional yang membawahi masyarakat Bumiputra. Pada tanggal 1 Januari 1931, kedua sistem pemerintahan yang berbeda tersebut digabung menjadi satu dengan cara menghapus inlands gemeenten, berdasarkan Staatsblad Nomor 373 Tahun 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1931. Dengan adanya penghapusan inlands gemeenten maka sistem pemerintahan tradisional yang disebut desa menjadi hilang berubah menjadi wijk. Tanah-tanah desa diserahkan pengelolaannya kepada Gemeente Surabaya, dan Kepala wijk atau wijkmeester menghambil alih tugas-tugas yang sebelumnya dijalankan oleh Kepala Desa (Lurah).
            Pengambilalihan tersebut dilakukan karena sebelumnya kampung-kampung yang berada dalam pengelolaan inlands gemeenten ternyata sangat tidak terawat dan tidak ada pembangunan yang berarti. Kampung-kampung menjadi sangat kumuh karena tidak ada program perbaikan kampung. Kepala Desa umumnya tidak memiliki inovasi untuk memperbaiki kampung, serta tidak ada sumber pendapatan yang berarti untuk kegiatan tersebut. Dengan pengambilalihan otoritas pengelolaan kampung, maka pembangunan kampung terintegrasi ke dalam program pembangunan Gemeente Surabaya. Sejak saat itu pengelolaan dan pembangunan kampung-kampung dimasukan ke dalam anggaran gemeente.
            Pada awalnya masyarakat Bumiputra cukup khawatir dengan adanya pengambilalihan inlands gemeenten, karena mereka beranggapan bahwa dengan pengambilalihan tersebut maka mereka segera akan ditarik pajak oleh gemeente. Penolakan tersebut ditunjukkan dengan cara protes kepada anggota gemeenteraad Surabaya yang mewakili golongan Bumiputra yang melakukan pertemuan dengan warga kampung dalam rangka sosialisasi pengambilalihan tersebut. Bahkan Dr. Sutomo yang pada waktu itu sudah tidak menjadi anggota gemeenteraad juga aktif turun ke kampung-kampung untuk memberi pengertian kepada penduduk Bumiputra, bahwa pengambilalihan inlands gemeenten adalah dalam rangka memperbaiki kondisi perkampungan yang sebelumnya sangat tidak terurus. Dengan adanya masukan dari anggota gemeenteraad wakil dari golongan Bumiputra, akhirnya penduduk menjadi sadar dan mengerti bahwa pengambilalihan pengelolaan desa adalah dalam rangka kebaikan pemukiman mereka juga.



Gemeente Surabaya pada Masa Burgemeester Mr. W.H. van Helsdingen (1932-1935)

            Tahun 1932 H.I. Bussemaker pensiun sebagai Burgemeester Surabaya. Sebagai penggantinya diangkat Mr. W.H. Helsdingen. Pada periode ini struktur pemerintahan Gemeente Surabaya sudah sangat mapan sehingga Helsdingen hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah ada sebelumnya. Perubahan yang cukup menyolok pada sistem pemerintahan periode ini adalah adanya penambahan anggota gemeenteraad yang semula 27 orang menjadi 31 orang pada tahun 1932, dengan rincian: mewakili golongan Eropa berjumlah 16 orang, mewakili golongan Bumiputra 10 orang, dan mewakili golongan Timur Asing 5 orang. Wakil dari golongan Timur Asing yang semula hanya dari golongan Tionghoa, pada periode ini masuk wakil dari golongan masyarakat Arab, yaitu Sech Achmad bin Sechan bin Abdoelgadir Bachmid. Partai politik yang wakilnya masuk dalam gemeenteraad juga mengalami penambahan, yaitu Partij Thiong Hwa Indonesia dan Indo Arabisch Verbond.[6]
            Wakil golongan Bumiputra juga menampilkan wajah-wajah baru, antara lain Radjamin Nasution, J.F. Tuwanakotta, dan R. Soemarto, melengkapi anggota lain yang telah lebih dulu menjadi anggota gemeenteraad. Pada periode ini tugas-tugas College van Burgemeester en Wethouder mengalami perubahan yang cukup signifikan, yaitu dengan adanya perluasan tugas dari wethouder. Wethouder dibagi menjadi empat kelompok dengan tugas yang berbeda-beda. Empat kelompok wethouder tersebut antara lain:
  • Wethouder urusan Pekerjaan Umum (Wethouder voor Publieke Werken), mengurus pembangunan fasilitas publik, pemadam kebakaran, bangunan dan aturan batas tanah, peraturan operasional taksi, berbagai peraturan daerah (kota), aturan tentang jalan umum, aturan tentang taman dan lapangan, aturan kendaraan umum, urusan makam, dan urusan tenaga kerja.
  • Wethouder urusan Perusahaan (Wethouder voor Bedrijven), mengurusi perusahaan-perusahaan milik gemeente, pendidikan di wilayah kota, aturan tentang penyewaan kereta kuda, aturan tentang pabrik roti, aturan tentang pabrik minuman, serta aturan tentang pengolahan susu.
  • Wethouder urusan Penduduk Bumiputra (Wethouder voor Inheemsche Zaken), mengurusi Dinas Kesehatan Kehewanan dan Kebersihan, pengawasan kampong Bumiputra, aturan tentang makam Bumiputra, aturan tentang pemakaian mobil ambulans, aturan tentang bongkar muat barang, aturan pengangkutan dan penguburan binatang.
  • Wethouder urusan Penduduk Tionghoa dan Keuangan, mengurusi pengawasan wijk dan kampung Tionghoa, administrasi dan kontrol keuangan, personel keuangan, orang miskin, kantor pembelian dan senjata, dan aturan mengenai makam Tionghoa.

=
Mr. W.H. van Helsdingen

Pejabat Gemeente
            Secara umum struktur pemerintahan Gemeente Surabaya tidak mengalami perubahan dari periode sebelumnya. Mayoritas pejabat gemeente adalah orang-orang Belanda untuk yang memegang jabatan tinggi dan penting, sedangkan orang-orang Bumiputra hanya memegang jabatan yang tidak terlalu penting. Pada tahun 1934 para pejabat pada Gemeente Surabaya, sebagaimana dimuat dalam Verslag van den toestand der stadsgemeente Soerabaja over 1934, adalah sebagai berikut:
  • Sekretaris Gemeente: G. Hoeneveld
  • Kepala Bagian Umum: Mr. B.H.W. Th. Schattenkerk
  • Administratur Kotrolir Keuangan: W.F. Joanknecht
  • Kepala Pusat Administrasi: C. van Schelven
  • Kepala Kantor Pemungut Pajak: A.M. Boers
  • Kepala Kantor Pembelian dan Gudang Senjata: J.F. Lapre
  • Kepala Dinas Pekerjaan Umum: Ir. R. Heida
  • Pengawas Bangunan dan Rumah: Ir. A. Scheffer
  • Komandan Pemadam Kebakaran: W.A. Beck
  • Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan: H. Laatsch
  • Pengawas Makam Kembang Kuning: D.M. von Franquemont
  • Pengawas Makam Peneleh: G. Felix
  • Kepala Perusahaan Tanah dan Bangunan: E.C. Neyndorff
  • Kepala Perusahaan Pasar: A.M.J. de Roock
  • Kepala Perusahaan Air Minum: Ir. P.A. Arnold Bik
  • Kepala Bengkel Kerja: F. Stomps
  • Kepala Dinas Kesehatan Hewan: Dr. J.P. Fooy
  • Kepala Rumah Pemotongan Hewan: M. Soerjadji
  • Kepala Biro Tenaga Kerja: Mevr. C.C. van Zolingen
  • Kepala Dinas Kesehatan: Mevr. Dr. J.C. Neuyen Hakker
  • Kepala Sekolah Pertukangan: A.W. Blokland

Gemeente Surabaya pada Masa Burgemeester Mr. W.A.H. Fuchter (1935-1942)
            Pada tanggal 1 Oktober 1935 Mr. W.A.H. Fuchter dilantik menjadi Burgemeester Surabaya menggantikan Mr. W.H. van Helsdingen.[7] Fuchter merupakan Burgemeester Surabaya terakhir masa kolonial Belanda, karena pada tahun 1942 Indonesia dijajah oleh Jepang. Pada masa pemerintahan W.A.H. Fuchter kota Surabaya berkembang pesat menjadi kota dagang dan industri. Jumlah penduduk Kota Surabaya juga naik pesat. Jika pada awal berdiri Gemeente Surabaya hanya memiliki penduduk sekitar 150.000 orang, maka pada tahun 1936 naik menjadi 377.096 orang, dengan perincian penduduk Eropa sebanyak 28.548 orang, penduduk Tionghoa sebanyak 43.650 orang, penduduk Bumiputra kurang lebih sebanyak 294.000 orang, penduduk Arab sebanyak 4.998 orang, penduduk Timur Asing lainnya sebanyak 900 orang, dan penduduk yang tinggal di dalam tangsi sebanyak 5.000 orang.[8]


Mr. W.A.H. Fuchter
Secara umum struktur dan fungsi pemerintahan Gemeente Surabaya tidak mengalami perubahan dibandingkan pada periode pemerintahan sebelumnya. Susunan College van Burgemeester en Wethouders sebagai pemegang pemerintahan Kota Surabaya per Januari 1936 adalah sebagai berikut:
  • Burgemeester: Mr. W.A.H. Fuchter
  • Wethouder Publieke Werken: Mr. A. van Gennep
  • Wethouder Bedrijven: H. Bach Kolling
  • Wethouder Sociale Zaken: J.K. Lengkong

Program Perbaikan Kampung
            Kampung-kampung di Kota Surabaya pada masa kolonial selalu dituduh sebagai sumber penyebaran penyakit. Tuduhan tersebut mengemuka karena kondisi perkampungan yang dihuni oleh penduduk Bumiputra kondisinya memang sangat mengenaskan. Kampung-kampung biasanya tidak dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang kesehatan para penghuninya, seperti selokan air, tempat mandi, cuci, dan kakus yang layak. Kondisi rumah tempat tinggal juga sangat mengenaskan karena biasanya dibuat dari bahan seadanya. Dengan kondisi tersebut kaka sangat wajar jika perkampungan di Kota Surabaya sering dituduh sebagai biang keladi merebaknya berbagai macam penyakit.


Wajah Kampung Sebelum dan Sesudah Diperbaiki
Sumber: G.H. Von Faber, Nieuw Soerabaia:  De geschiedenis van Indie’s voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931, (Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1936), hlm. 158.


            Untuk membenahi kondisi kampung yang tidak layak tersebut maka Gemeente Surabaya menelorkan program perbaikan kampung atau kampongverbetering. Program perbaikan kampung sebenarnya sudah dimulai tahun 1923, ketika kampung-kampung statusnya masih dikuasai oleh inlandsch gemeenten. Namun pada waktu itu gemeente merasa bertanggung jawab untuk menata kampung karena sebagian besar kampung tersebut terletak di tengah kota. Sejak tahun 1923-1928 luas kampung yang diperbaiki mencapai 87,2 hektar yang menelan biaya sebesar F 145.000. Program perbaikan kampung periode 1931-1932 Gemeente Surabaya mendapat subsidi dari pemerintah pusat (gouvernement). Perbaikan kampung untuk periode 1933-1935 seluruh biayanya ditanggung oleh gemeente dengan biaya sekitar F. 200.000. Sampai tahun 1939 luas kampung yang berhasil diperbaiki sudah mencapai 273,9 hektar dan biaya yang terserap untuk keperluan tersebut sudah mencapai F 1.060.000. Satu tahun kemudian luas kampung yang masuk program kampongverbetering sudah mencapai 408,63 hektar.[9] Sasaran utama program perbaikan kampung adalah pembuatan dan pembenahan saluran air (riool) serta perbaikan rumah penduduk yang sangat tidak layak.
Masa Peralihan
            Tahun 1940 kondisi Kota Surabaya cukup menegangkan karena imbas dari penyerangan Jerman terhadap negeri Belanda. Tanggal 10 Mei 1940 Kota Rotterdam dibom, Belanda menyerah kepada Jerman. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda tentu saja ikut was-was, karena pasca penyerangan Jerman terhadap Belanda muncul desas-desus bahwa Jepang yang bersekutu dengan Jerman akan menyerang kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian maka Surabaya juga menjadi salah satu kota yang terancam jika sewaktu-waktu Jepang menyerbu Indonesia. Untuk menghadapi kemungkinan serangan Jepang, berbagai persiapan dilakukan. Korps Pertahanan Sipil Udara (Luchtbeschermingsdienst / LBD) dibentuk untuk menghadapi kemungkinan serangan udara. Gemeente Surabaya juga membentuk Korps Latihan Sukarela (Vrijwillige Oefenings Corps / VOC). Namun berbagai persiapan tersebut tidak memiliki arti yang cukup untuk menghadapi musuh.
            Tanggal 3 Februari 1942 perang benar-benar meletus di Kota Surabaya. Pasukan Jepang selama satu bulan beberapa kali mengebom Kota Surabaya. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda benar-benar takluk tanpa syarat kepada pasukan Jepang yang pada tanggal itu tiba-tiba membanjiri Kota Surabaya. Pada hari itu juga Gemeente Surabaya berpindah tangan ke pasukan tentara Jepang yang segera mengoper seluruh pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah.

Pemerintah Kota Surabaya pada Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)
            Hari-hari pertama penjajahan Jepang, Burgemeester W.A.H. Fuchter masih menjalankan tugas sebagai pimpinan kota namun terbatas pada komunitas Eropa. Pada saat yang sama Jepang mencoba mendekati masyarakat Bumiputra dan goilongan Islam, salah satunya dengan mengangkat Rajamin Nasution menjadi Walikota Surabaya. Menjelang kedatangan Jepang, Rajamin Nasution adalah satu-satunya Wethouders dari golongan Bumiputra dan beragama Islam. Namun pengangkatan Rajamin Nasution sebagai walikota hanya bersifat simbolik dan hanya sebagai alat Jepang untuk mendekati masyarakat Bumiputra, karena nyatanya pada bulan September 1942 Jepang mengangkat Walikota Surabaya secara definitive, dan yang diangkat adalah orang Jepang bernama Takahashi Ichiro.

Perubahan Struktur Pemerintah Kota
            Pada masa penjajahan Jepang, semua nama berbahasa Belanda diubah dengan nama berbahasa Jepang. Gemeente Surabaya diubah namanya menjadi Surabaya Shi. Adapun jabatan burgemeester diubah namanya menjadi Shityo. Takahashi Ichiro adalah pejabat Surabaya Shityo, adapun wakilnya (Fukushuchokan) adalah Rajamin Nasution. Selain dibantu oleh seorang wakil, Surabaya Shityo juga dibantu oleh seorang wedana (guntyo) dan lima orang asisten wedana (kutyo). Dengan struktur yang demikian maka terjadi pembagian tugas, yaitu pekerjaan mengenai tugas pemerintah pusat di Kota Surabaya dijalankan atas nama Shityo oleh wedana beserta stafnya. Sedangkan urusan ekonomi diurus oleh Badan Pengurus Harian yang diketuai oleh Rajamin Nasution.[10]
            Selain mengubah nama gemeente, pemerintah penjajahan Jepang juga menghapus lembaga perwakilan di Kota Surabaya yang sebelumnya bernama gemeenteraad. Penghapusan lembaga gemeenteraad menunjukkan bahwa pemerintahan kota pada periode penjajahan Jepang dijalankan secara dikatorial militeristik tanpa lembaga pengontrol.
            Pada bulan Agustus 1942 muncul pengumuman tentang pengaktifan kembali pemerintahan sipil yang setingkat keresidenan yang bernama Surabaya Shu. Wilayah administratif Surabaya Shu dikepalai oleh Shutyo. Munculnya pemerintahan baru, baik Shi maupun Shu telah menghapus tumpang tindih antara pemerintahan tradisional dan pemerintahan Barat sebagaimana terjadi pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, semua sistem pemerintahan diubah menjadi sistem pemerintahan khas Jepang yang dikepalai oleh orang-orang Jepang. Kalaupun ada warga Bumiputra yang terlibat dalam sistem pemerintahan tersebut, mereka menduduki jabatan yang tidak strategis.
            Dengan dibentuknya Shu maka lembaga inilah yang lebih berperan dalam system pemerintahan di Kota Surabaya, ketimbang Surabaya Shi. Urusan keamanan kota dan urusan kepolisian yang lain ditangani oleh Surabaya Shu. Surabaya Shi hanya memiliki sedikit kewenangan, terutama untuk urusan sipil di perkotaan. Pemimpin dari Surabaya Shu atau yang disebut Shutyo adalah Yasuoka Masaomi, seorang pensiunan perwira angkatan darat yang kuat dan bersahaja, yang pernah bertugas di Cina.[11]
            Sebagaimana telah diuraikan di bagian sebelumnya, seluruh nama lembaga diubah namanya ke dalam bahasa Jepang. Lembaga-lembaga tersebut, antara lain Badan Pekerjaan Umum yang pada masa kolonial Belanda bernama Burgerlijk Openbaare Werken (BOW) diubah namanya menjadi Doboku Ka, Dinas Tenaga Kerja yang pada masa kolonial Belanda bernama Arbeidsdienst menjadi Roomu Kyoku, Urusan Perusahaan yang sebelumnya bernama Bedrijven diubah menjadi Sangyoobu, dan lain-lain.[12]
            Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya setelah mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Kondisi tersebut tentu saja membawa perubahan besar terhadap sistem pemerintahan di Indonesia, tidak terkecuali di Kota Surabaya. Pada periode ini terjadi peralihan dari sistem pemerintahan Jepang ke sistem pemerintahan asli Indonesia.


[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 196
[2] Staatsblad van Nederlandsch Indie 1906, (Batavia: Landsdrukkerij, 1907)
[3] F.W.M. Kerchman, 25 jaren decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-1930, (Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen, 1930), hlm. 348

[4] Arsip Kota Surabaya Nomor 14.354 Kotak 691;  Arsip Kota Surabaya Nomor 1.951 Kotak 130
[5] Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaja over 1930, hlm. 30
[6] Verslag van den Toestand der Stadsgemeente Soerabaja over 1932
[7] Verslag van den toestand der stadsgemeente Soerabaja over 1935,hlm. 20. Beberapa buku yang membahas sejarah pemerintah Kota Surabaya menyebutkan bahwa W.A.H. Fuchter menjabat sebagai Burgemeester Surabaya hanya sekitar dua bulan, yaitu sejak bulan Januari sampai awal Maret 1942. Hal tersebut tidak tepat, karena W.A.H. Fuchter menjabat sebagai burgemeester sejak Oktober 1935 sampai Maret 1942, yaitu sekitar enam tahun.
[8] Verslag van den toestand der stadsgemeente Soerabaja over 1936
[9] R. Heida, “De kampongverbetering te Soerabaja,” dalam Locale Techniek No. 2 (Soerabaja-Nummer), Maart-April, 1939, hlm. 49
[10] Pemerintah Kotamadya Surabaya, Petundjuk Kotamadya Surabaja 1967, (Surabaya:  Pemerintah Kotamadya Surabaya, 1967), hlm. 20
[11] William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta:  Gramedia, 1989), hlm. 127
[12] Arti kata beberapa perkataan² Nippon oentoek nama² kantor dll. jg. perloe sehari-hari . Leaflet tanpa tahun yang diterbitkan oleh Jepang.