Awan panas erupsi Gunung Merapi terbukti cukup mematikan bagi mahkluk hidup apa saja. Mereka yang tersapu di tengah-tengah gulungan awan panas bersuhu 10 kali air mendidih tersebut umumnya mati. Namun, bagi yang beruntung dan mampu berlindung atau menghindar dari sentuhan Wedhus Gemebel, ada juga yang selamat. Hanya saja, untuk menyembuhkan luka panasnya Wedhus Gembel memerlukan waktu cukup panjang, yakni sekitar 16 tahun.
Berikut rekaman video wawancara anak-anak Turgo ketika berlatih menjadi jurnalis warga bersama penulis dan Aksara Yogyakarta.
Ketika Gunung Merapi dikabarkan erupsi
pada 22 November 1994 (sekitar pukul 10.00 pagi), warga Dukuh Turgo tidak
terlalu panik. Sebaliknya, ketika dikabari Merapi meletus sebagian warga Turgo
justru ada yang naik ke bukit Turgo karena ingin melihat puncak Merapi lebih
dekat. Sedang warga lainnya tetap menjalankan aktivitas harian seperti biasa
(umumnya pencari rumput pakan ternak). Bahkan, tidak sedikit warga yang tetap
santai-santai saja mengikuti acara hajatan di rumah seorang warga setempat.
Sikap santai warga Turgo kala itu
ternyata berakibat fatal. Dalam hitungan menit, suasana Turgo pada Selasa pagi
22 November 1994 yang semula dihiasi acara pesta hajatan, mendadak berubah
menjadi mencekam karena disapu Wedhus Gembel. Kecepatan gerak awan panas Gunung
Merapi 1994 itu meluncur dengan cepat menyapu segala benda, rumah penduduk atau
tumbuhan yang dilewatinya. Tidak hanya itu, 40 lebih warga tewas dengan tubuh
melepuh. “Tetangga sebelah rumah saya, sekujur tubuhnya hangus ketika sedang
ngeloni anaknya di tempat tidur,’’ kenang Teguh Sutrisno kepada penulis.
Waktu itu, kenang Teguh, dirinya sudah
memberikan peringatan kepada warga agar mengungsi. Tapi banyak yang tak
memperhatikan peringatan tersebut karena merasa yakin Turgo akan aman. Mereka
merasa mendapat perlindungan dari bukit Turgo yang berada di desanya.
Lantas bagaimana kesaksian menurut
anak-anak Turgo ketika itu? Di bawah ini ada penuturan Mulyadi, yang masih bersekolah di SD kelas 3
ketika erupsi Merapi 1994.
Mulyadi
|
Letusan
Gunung Merapi yang kuketahui adalah letusan tahun 1994, tepatnya hari Selasa
Kliwon, tanggal 22 November 1994. Ketika aku masih duduk di kelas 3 Sekolah
Dasar (SD) Tarakanita Tritis.
Awal
kejadian kala itu, kawasan Gunung Merapi diselimuti awan hitam. Ketika itu
aku sedang mengikuti pelajaran di ruang kelas. Munculnya wawan hitam di
kawasan Gunung Merapi tersebut membuat para guru jadi panik. Murid-murid juga
ikut panik.
Tak
lama kemudian muncul suara ledakan dan disertai kepulan awan abu-abu yang
membumbung tinggi. Para guru dan murid makin panik karena awan abu-abu
tersebut bergerak ke selatan, menuju ke Dusun Turgo, Desa Purwobinangun,
Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.
Karena
itu, guru mengajak semua murid segera keluar ruang kelas dan berkumpul di
jalan. Awan abu-abu yang dikenal dengan sebutan Wedus Gembel ternyata semakin
bergerak mendekat. Guru SD Tarakanita pun bergegas meminta murid-murid segera
bergerak menuju barak pengungsian di Purwobinangun. Aku jadi takut karena ada
seorang warga pengendara sepeda motor yang lari dengan kondisi tubuh melepuh
akibat terkena awan panas Wedhus Gembel. Jangan-jangan aku dan murid-murid SD
lainnya juga akan terkana Wedhus Gembel.
Apalagi,
ketika di pengungsian aku tidak tahu bapak-ibuku ada di mana. Aku juga takut,
jangan-jangan orangtuaku akan terkana Wedhus Gembel. Mungkin saking takutnya
aku jadi menanis. Semua temanku juga menangis karena bapak-ibunya ada di
mana. Para gurupun ikut menangis. Praktis, suasana desa jadi mencekam.
Akhirnya
aku merasa lega karena bisa bertemu dengan orangtuaku di barak pengunsian.
Tapi teman kelasku, Susanti, bernasib malang karena bapak ibunya hilang di
tengah hutan ketika Wedhus Gembel dari Gunung Merapi mengamuk.
Belakangan
diketahui, warga desa yang menjadi korban amukan Wedhus Gembel ternyata cukup
banyak. Jumlah korban meninggal sedikitnya 66 orang dan harta benda banyak
yang rusak hangus dilibas Wedhus Gembel. Sedang orangtua Susanti di tengah
hutan baru ditemukan tiga bulan setelah amukan Wedhus Gembel Gunung Merapi
mereda.
Mulyadi |
Semoga tulisan in bermanfaat bagi warga Indonesia lain yang hidup di kawasan rawan bencana gunung berapi. Paling tidak, warga di kawasan rawan bencana gunung api perlu memeiliki kapasitas dalan pengurangan risko bencana (PRB) agar tak menjadi korban keganasan bencana alam dari gunung berapi.[Sutrisno Budiharto]