Oleh Joko Prayitno
Barongsai
Kesenian Liong dan Barongsai merupakan salah satu kesenian dari
sekian banyak kesenian dalam masyarakat Tionghoa. Kesenian ini sudah
cukup tua dan di Tiongkok berkembang pada masa pemerintahan Dinasti
Utara Selatan tahun 420-589 M. Kesenian ini muncul bersamaan dengan
mitologi dan cerita rakyat yang berkembang pada masyarakat Tiongkok.
Dalam mitologi dan cerita rakyat Tiongkok ada beberapa versi mengenai
munculnya Barongsai. Versi pertama sejarah munculnya Barongsai berawal
dari kemunculan mahluk aneh yang sangat besar, yang dinamakan Nien
artinya tahun. Disebut demikian karena kemunculan mahluk aneh itu
setiap satu tahun sekali. Binatang tersebut biasanya muncul setiap musim
semi atau saat musim panen untuk memangsa apa saja yang dilihatnya,
sehingga membuat masyarakat ketakutan. Setelah binatang tersebut
mendapatkan makanannya maka ia kembali ke hutan untuk tidur selama satu
tahun. Hal ini berlanjut terus menerus dan membuat takut masyarakat
ketika musim semi tiba.
Kemudian muncullah seorang yang cukup cerdas dan pemberani untuk
mengalahkan mahluk tersebut dengan berbagai cara. Setelah berbagai cara
dicoba dan selalu gagal, akhirnya ditemukan cara untuk mengusir Nien. Pemberani tersebut menemukan titik kelemahan Nien
yaitu dengan cara memukul alat yang bisa mengeluarkan bunyi-bunyian
yang keras dan gaduh seperti tambur, panci, dan alat-alat lainnya. Cara
tersebut ternyata berhasil, sehingga Nien lari ketakutan dan
tidak berani mengganggu masyarakat lagi. Oleh masyarakat Tiongkok cerita
ini diwujudkan dalam bentuk tarian Barongsai sebagai penggambaran Nien.
Versi lain mengenai munculnya tarian Barongsai adalah pada masa
dinasti Utara dan Selatan tahun 420-589 M. Pada masa itu, Raja Wen dari
wilayah Song memerintahkan Gubernur Tan He dari wilayah Jianzhou untuk
memperluas wilayah ke daerah Lin Yi. Wilayah Lin Yi saat itu dikuasai
oleh Fan Yan yang berpengalaman dalam bidang militer dibandingkan dengan
Tan He. Fan Yan memiliki pasukan yang kuat bersenjatakan tombak dan
menunggang gajah, tetapi Tan He seorang yang cerdik dan cerdas. Bila
pasukannya berhadapan langsung dengan pasukan Fan Yan secara pasti
pasukannya akan kalah, tetapi dengan siasatnya pasukan Tan He dapat
memenangkan pertempuran. Tan He menggunakan cara membuat topeng dari
kain dan tali yang berbentuk monster kucing besar. Ide ini berhasil
membuat pasukan Fan Yan ketakutan dan akhirnya menyerah. Dari cerita ini
maka terciptalah tarian Barongsai sebagai kesenian untuk merayakan
kemenangan pasukan Tan He dan sejak saat itu tarian Barongsai menjadi
upacara standar militer yang akhirnya menyebar ke masyarakat sipil.[1]
Barongsai sendiri berasal dari kata barong yang berarti tarian dan sai
yang berarti singa, kata Barongsai sebenarnya adaptasi dari nama asli
Indonesia yaitu kesenian Barong dari Bali. Sedangkan nama asli Barongsai
adalah Samsi atau Samsu. Kesenian Barongsai sendiri
memiliki dua aliran yaitu aliran utara dan selatan yang berbeda dalam
bentuk dan gerakan tariannya. Aliran utara memiliki bentuk barongsai
dengan warna kuning dan gerakan yang dilakukan adalah gerakan-gerakan
akrobatik, sedangkan aliran selatan memiliki bentuk barongsai dengan
warna-warni dan gerakan yang dilakukan lebih banyak memamerkan
gerakan-gerakan kungfu.[2]
Biasanya dalam tarian Barongsai selalu diikuti oleh Liong atau naga dan merupakan mitologi dalam masyarakat Tiongkok. Kemunculan Liong
dalam mitologi masyarakat Tiongkok terjadi karena sering meluapnya
aliran sungai yang menyebabkan banjir. Banjir ini sangat menyengsarakan
rakyat pada saat itu dan dewa-dewa pun mendengar kesulitan ini. Untuk
membantu rakyat, salah satu dewa mengutus seekor ular besar (naga) untuk
mengatasi bahaya banjir. Semenjak diutusnya naga tersebut banjir yang
selalu terjadi dapat dicegah. Sebagai ungkapan rasa terima kasih
masyarakat karena terhindar dari bencana banjir maka diciptakanlah
tarian naga. Tarian ini juga dimaksudkan sebagai penolak bala dan
mengusir pengaruh buruk yang ada di suatu wilayah.[3]
Kedua tarian ini memiliki makna filosofi yaitu merupakan simbol dari Yin dan Yang (positif dan negatif) dimana Barongsai adalah unsur negatif yang merusak dan Liong merupakan unsur positif, selain itu dengan adanya pentas dari Barongsai serta Liong ini diharapkan mampu membawa suasana yang bahagia, damai dan sejahtera.[4]
Kondisi kesenian ini sebelum orde baru tumbuh dengan subur di
Surakarta dengan bermunculan kelompok-kelompok seni Barongsai baik yang
dimiliki secara pribadi maupun milik suku-suku Tionghoa yang tinggal di
Surakarta. Salah satu suku yang memiliki Barongsai pada saat itu di
Surakarta adalah suku Hok Jia. Beberapa perkumpulan kesenian Barongsai yang cukup terkenal di Surakarta sebelum orde baru adalah Hoo Hap Hwee, Giok Kong Hiong Hwee (milik suku Hok Jia), Khek Suk Kong Hwe dan perkumpulan Barongsai milik Kung Chiao Tsing Nien Phu (perkumpulan pemuda Khonghucu). Menurut Hadi Mulyono kesenian Barongsai dan Liong
dari kelompok-kelompok di atas selain dipentaskan pada saat-saat
upacara keagamaan Khonghucu juga dipertunjukan didepan umum pada saat
hari kemerdekaan Republik Indonesia.[5]
Sedangkan kesenian Barongsai milik pribadi selain dipertunjukan pada
ritual-ritual keagamaan juga digunakan sebagai mata pencaharian.
Kesenian Barongsai dan Liong di Surakarta sendiri telah menjadi bagian kesenian pribumi sama halnya dengan Reog Ponorogo maupun Jaran Kepang. Sehingga masyarakat sangat menyambut antusias ketika kesenian Barongsai dan Liong tampil di berbagai acara.
Wayang Potehi
Seni wayang Potehi dalam rentangan sejarah, kemunculannya masih
menimbulkan perdebatan para ahli, baik di negeri leluhurnya maupun
kemunculannya di Indonesia. Kemunculannya di pulau Jawa pun masih
menjadi sebuah pertanyaan dan perdebatan kapan pastinya. Menurut Dwi
Roro Mastuti, tradisi wayang boneka kayu yang berasal dari daratan Cina
ini sudah dikenal sejak masa Dinasti Siong Theng (kurang lebih
3000 tahun yang lalu). Tetapi tidak ada informasi yang jelas apakah yang
dimaksud wayang boneka kayu ini Potehi, yang memiliki ciri bagian
kepala berbahan kayu ataukah sejenis wayang boneka kayu yang lain.
Diduga teater boneka orang Tiongkok ini memiliki pertautan dengan
perkembangan dengan teater boneka kayu yang juga ditemukan di Propinsi
Hunan, Sichuan, Shanxi, Guandong, dan Jiangsu. Tradisi teater boneka
kayu ini memiliki usia yang lebih tua dibandingkan dengan perkembangan
teater boneka kulit, yang sudah dikenal sejak zaman Dinasti Song (960-1278 M) dan mengalami puncak kejayaan pada masa Dinasti Ming (1368-1644 M) sampai Dinasti Qing (1644-1911 M) maupun dengan teater marionette.[6]
Menurut Denys Lombard, di tanah leluhurnya Potehi disebut juga budaixi. Dari kata budai (kantung) dan xi
(drama atau wayang), yang berarti wayang kantung. Seni drama Cina ini
menyebar ke berbagai daerah lain seperti Taiwan, Malaysia dan juga
Indonesia. Keberadaan budaixi di Indonesia pernah dilaporkan pula
oleh Edmund Scoot, seorang bangsawan yang memimpin loji Inggris di
Banten (1603-1604 M). Dalam laporan itu disebutkan, seni wayang kantung
ini kerap dipertunjukan di halaman Klenteng, berkaitan dengan upacara
penanggalan keagamaan. Dalam perkembangannya di Jawa, menurut Denys
Lombard, Potehi ditemui di Jakarta, Semarang dan Surabaya.[7] Ketiga kota ini menjadi pusat kesenian wayang potehi, sedangkan di Surakarta sendiri walaupun ada tetapi jarang dijumpai.
Seni wayang Potehi sering dipentaskan di Surakarta pada masa sebelum
tahun 1965. Wayang ini biasanya dipentaskan di lingkungan klenteng dan
sampai pementasan biasanya sampai memakan waktu berhari-hari bahkan
berbulan-bulan. Wayang Potehi biasanya mengambil cerita-cerita legenda,
mitos atau cerita klasik asli dari Tiongkok. Selain lagu bakti
Khonghucu, beberapa cerita yang biasa dipentaskan adalah kisah tentang
tiga negara (Sam Kok), kisah Kwam Kong, kisah kerajaan sebelum Sam Kok (Sie Djien Kwie), kisah perjalanan ke Barat (Sun Go Kong), serta kisah Sam Pek Eng Tay. Lama pementasan maksimal dua jam dan satu hari bisa pentas dua kali.[8]
Pementasan wayang Potehi dilaksanakan pada saat diadakannya
acara-acara di klenteng yaitu pada acara hari besar Tionghoa maupun pada
saat ulang tahun dewa utama klenteng. Pementasan wayang yang biasanya
dilaksanakan di klenteng-klenteng adalah bagian dari ritual pemujaan
dewa-dewa dan biasanya dewa-dewa tersebut ditempatkan di altar-altar
klenteng dan di dalam klenteng.[9]
Wayang potehi merupakan kesenian asli yang berasal dari Tionghoa yang
berwujud boneka. Badan boneka berwujud kain yang bisa dimasukkan tangan
untuk menggerakkan wayang tersebut. Dalam setiap pementasan dibuatkan
panggung yang berukuran kecil. Wayang ini dimainkan oleh seorang dalang
dibantu oleh beberapa asisten untuk memainkan wayang tersebut. Untuk
dialog dimainkan oleh dalang dan asisten hanya menggerakkan wayangnya
saja.[10]
Pertunjukan wayang Potehi juga menggunakan instrumen musik yang terdiri dari tambur, rebab (erl hu), sitar (yang khim),
simbar kecil dan terompet klasik. Selain itu terkadang di iringi oleh
seni musik klasik Tionghoa tetapi sekarang jarang dikarenakan tidak ada
generasi yang mampu memainkannya.
[1] Intisari, “Barongsai Bangkit Lagi”, Februari 2000.
[2] Ibid.
[3] Wawancara denagn Adjie Chandra, 25 September 2004. Tujuan dari tarian Liong hampir sama dengan bersih desa dalam masyarakat Jawa.
[4] Wawancara dengan Prasetyo Wahyudi, 20 September 2004.
[5] Wawancara dengan Hadi Mulyono, 30 September 2004.
[6] Majalah Gong, Edisi 67/VII/ 2005.
[7] ibid.
[8] Wawancara dengan Adjie Chandra, tanggal 25 September 2004.
[9] Wawancara dengan Oesman Arif, tanggal 27 September 2004.
[10] Wawancara dengan Adjie Chandra, tanggal 25 September 2004.