Surakarta Awal Abad XX: Masyarakat dan Perubahan Sosial (3)

C. Perkembangan Pendidikan dan Pers di Surakarta
Semenjak permulaan abad XX, di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran baru yang bermaksud untuk memberikan sebagian keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang Belanda kepada rakyat Bumiputera. Aliran ini berpendapat bahwa sudah saatnya rakyat Bumiputera diperkenalkan dengan kebudayaan dan pengetahuan Barat agar dapat dijadikan bekal hidupnya kelak dikemudian hari. Gagasan dari aliran baru ini kemudian dikenal dengan Politik Etis, yang dijalankan dengan berpijak pada tiga prinsip dasar yaitu pendidikan, perpindahan penduduk dan pengairan.
Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya yang berjudul Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala de Gids. Ia mengatakan bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk pribumi terhadap kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial.[21]

Pelaksanaan politik Etis sendiri jauh dari harapan seperti yang telah dijanjikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Secara nyata bahwa politik Etis semakin memperkuat eksploitasi kolonial terhadap masyarakat pribumi. Namun, secara tidak langsung telah mendorong perubahan sosial budaya dalam kalangan Bumiputera. Perubahan sebagian besar disebabkan adanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan Barat dan pola pikir rakyat Bumiputera yang ditandai dengan munculnya kaum intelektual. Tampaknya kaum intelektual telah pula memberikan tenaga dan pikiran untuk membangkitkan semangat bangsa yang terpecah belah dalam kebodohan oleh kaum penjajah.[22] Bahkan sejumlah elit intelektual ini telah mengobarkan semangat pergerakan nasional.

Semenjak dijalankannya politik Etis, terlihat adanya kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan. Sebelumnya di Hindia Belanda hanya terdapat dua macam sekolah yang didirikan pada tahun 1892, yaitu Sekolah Angka Satu khusus untuk anak Bumiputera terkemuka dan Sekolah AngkaDua bagi anak Bumiputera pada umumnya. Setelah dijalankannya politik etis terjadi peningkatan jumlah anak yang bersekolah, walaupun secara keseluruhan masih banyak yang belum tersentuh pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari tabel berikut:

TABEL4: Jumlah Anak Usia 6-13 Tahun Yang Memerlukan Sekolah dan Yang Telah Bersekolah di Hindia Belanda

Tahun
Penduduk Negeri
Anak-anak Berumur 6-13 tahun
Yang Memerlukan Sekolah
Yang Bersekolah
1900
35.283.248
6.739.101
78.719
1928
58.724.286
11.216.339
1.647.761
Penambahan
23.441.038
4.477.238
1.564.042
Sumber: Hollandsche Inlandsche Onderwijs Commissie, Publicatie No. 7a, hal. 11, dalam Pitut Soeharto, A. Zainoel Ihsan, Belenggu Ganas, Kapita Selecta Kelima, (Jakarta: Aksara Jayasakti, 1982), hal. 186.

 Masih banyaknya masyarakat pribumi yang belum bersekolah disebabkan pula oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menciptakan sistem pendidikan bagi masyarakat dengan sistem diskriminasi ras yang didasarkan atas keturunan dan lapisan sosial yang ada. Walaupun terdapat diskriminasi tetapi pendidikan Barat menjadi idaman bagi banyak orang karena dengan pendidikan Barat masyarakat dapat meningkatkan status sosialnya.

1.     Pendidikan di Surakarta
Di Surakarta sendiri terdapat bermacam-macam sekolah model Barat. Menurut data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah Surakarta tahun 1930,[23] secara garis besar dikelompokkan sebagai berikut:

a. Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah
Jumlah sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah di Surakarta sampai tahun 1930 berjumlah sekitar 22 buah. Terdiri dari 13 Sekolah Angka Dua, 2 Sekolah Meisesschool (Sekolah Putri), dan 7 sekolah-sekolah persiapan pendidikan guru vagi Sekolah Desa (Onderbouw Holland Inlander Kweekschool). Sekolah-sekolah tersebut terdapat di daerah Pasar Kliwon, Laweyan, Serengan, Jebres, Kota Mangkunegaran, dan Colomadu.[24]

b. Sekolah-sekolah neutral berbahasa Belanda
Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda khusus diperuntukan bagi anak-anak Eropa. Sekolah-sekolah jenis ini mempunyai fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sekolah-sekolah untuk anak pribumi. Mutu pendidikannya sangat luas, selain memberikan mata pelajaran yang lebih lengkap juga didukung oleh berbagai macam fasilitas yang memadai sebagai penunjang bagi kelancaran proses belajar mengajar. Guru-guru yang mengajar kebanyakan adalah guru-guru berkebangsaan Eropa yang betul-betul mempunyai ijazah Diploma Guru.

Bahasa Belanda merupakan syarat utama dalam penerimaan siswa di sekolah ini, sehingga tidak semua orang dapat memasukkan anaknya ke sekolah ini. Untuk memasuki sekolah ini dibutuhkan biaya yang besar, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah ini. Lingkungan sekolah yang elit menyebabkan sekolah ini terpisah dari sekolah rakyat kebanyakan, siswa dari sekolah lain yang tidak sederajat tidak berani masuk dalam lingkungan sekolah ini. Kondisi semacam inilah yang semakin memperlebar kesenjangan sosial. Di satu pihak, siswa sekolah ini berkembang menjadi elit yang berbudaya Barat, tetapi terasing dalam lingkungannya sendiri. Di lain pihak, siswa dari sekolah lain yang merupakan masyarakat kebanyakan tetap tidak dapat memperoleh kemajuan yang berarti.

Jumlah sekolah ini di Surakarta ada tiga buah, yaitu HIS Jongen School di Mangkunegaran, HIS Meisesschool di Slompretan dan Schakelschool di Mangkunegaran.[25] Namun dengan jumlah sekolah yang hanya berjumlah tiga buah telah mencukupi kebutuhan pendidikan kalangan Eropa. Bahkan presentase pemenuhan kebutuhan sekolah untuk kalangan Eropa atau yang dianggap sejajar lebih besar dibanding dengan murid pribumi yang dapat bersekolah.

c. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending
Salah satu motif kedatangan bangsa Belanda di Hindia Belanda adalah motif theokratis, yaitu penyebaran Injil. Awalnya sasaran penyebarannya dilakukan secara langsung melalui gereja, penerbitan buku-buku Kristen dan lain-lain. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan usaha tersebut berkembang dengan pendirian-pendirian rumah sakit dan sarana pendidikan.

Pada awalnya pendirian rumah sakit dan sekolah-sekolah Kristen di Surakarta mendapat tentangan dari Sunan dan Residen Van Wijk. Akhirnya sekolah Kristen di Surakarta mendapat ijin dan pertama kali diperkenalkan dan dibuka oleh Perkumpulan Zending van de Gereformeerde Kerk te Delf, yang terdiri dari C. Van Proosdij, Van Ansel, C.J. De Zomer, G.C.E. de Man serta pendeta Bekker.

Sekolah ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu sekolah yang dibuka khusus bagi anak-anak Eropa atau yang sederajat serta sekolah Kristen untuk anak Bumiputera. Dalam kurikulumnya selain memperkenalkan ajaran-ajaran Kristen juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Bahasa Belanda menjadi kurikulum pelajaran yang penting, bahasa ini juga digunakan sebagai bahasa pergaulan. Untuk mendukung program di atas maka siswa maupun guru-guru yang mengajar diharuskan tinggal di asrama yang telah disediakan dan sehari-harinya diwajibkan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Aturan-aturan ini menyebabkan orang-orang yang dididik di tempat tersebut terpisah dari budaya Jawa, lebih-lebihZending juga mampu menampung para alumni sekolahnya dengan memberikan lapangan pekerjaan di berbagai bidang.

Tujuan dari sekolah ini yaitu menyebarkan ajaran agama Kristen dan sesuai dengan tujuan pemerintah kolonial Belanda maka sekolah ini mendapatkan bantuan dan kemudahan dari pemerintah kolonial. Dalam waktu singkat sekolah-sekolah ini berkembang dengan pesat, di Surakarta sendiri sekolah ini pada tahun 1930 berjumlah 20 buah yang tersebar di daerah Margoyudan, Villapark (dekat Pasar Legi), Sidokare, Jebres, Kerten, Gemblegan, Danukusuman, Kawatan, Gilingan dan Manahan.[26]

d. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missie
Sekolah Katolik berhasil didirikan oleh Pastor Keyser di daerah Yogyakarta dan Klaten pada tahun 1892 dan sebelumnya telah didirikan pula sekolah yang sama pada tahun 1890 di Semarang dan Magelang. Semula sekolah ini bercorak Europees yang netral dengan memberi kebebasan kepada murid-muridnya untuk mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama Katolik. Dalam perkembangan selanjutnya dengan masuknya ajaran Kotekismus, pelajaran agama Katolik menjadi pelajaran wajib dan diajarkan juga melalui peraturan-peraturan dalam asrama siswa. [27]

Sekolah Katolik didirikan di Surakarta pada tahun 1921 dan terus berkembang dengan bantuan pemerintah melalui penyediaan dana dan fasilitas. Hingga tahun 1930, jumlah sekolah Katolik di Surakarta berjumlah 17 buah yang meliputi satu sekolah MULO, satu Sekolah ELS, dua buah HIS, satu buah HIS yang khusus bagi perempuan, sepuluh buah Standarschool, satu buah HCS dan dua buahMeijesvervolkschool. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di daerah Margoyudan, Manahan, Gajahan dan Pasar Legi.[28]

e. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah
Perkembangan sekolah-sekolah Neutral, Zending dan Missie yang pesat, mengakibatkan munculnya reaksi negatif terhadap dominasi kultur Barat dalam bidang pendidikan pada awal abad XX. Sekolah-sekolah tersebut menyebabkan banyak pemuda pribumiyang lebih memilih pengajaran Barat, karena dianggap sebagai pintu gerbang ke arah penyerapan ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga baru yang diperkenalkan oleh administrasi kolonial. Di Surakarta reaksi terhadap penginjilan dan munculnya sekolah-sekolah Kristen dan Katolik paling keras ditentang di daerah Laweyan yaitu daerah yang banyak didiami oleh pedagang Islam Ortodoks.[29]

Penentangan dan untuk menghambat penyebaran sekolah berdasarkan agama Kristen dan Katolik maka Muhammadiyah sebagai organisasi Islam mendirikan majelis pendidikan dan pengajaran tahun 1920. Adanya majelis pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah menyebabkan meluasnya perkembangan sekolah Muhammadiyah diberbagai daerah termasuk di Surakarta. Pada tahun 1930 tercatat ada sepuluh buah sekolah Muhammadiyah di Surakarta yang sebagian besar terdiri atas sekolah Standarschool. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di Mangkunegaran, Notokusuman, Kleco, Kampung Sewu, Kauman, Serengan, dan Pasar Legi.[30]

f. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Budi Utomo
Selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dan sekolah yang dijalankan oleh organisasi keagamaan, pada masa awal abad ke 20 telah banyak bermunculan organisasi pergerakan nasional. Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang memiliki perhatian terhadap kemajuan pendidikan Bumiputera.

Budi Utomo di Surakarta memiliki anggota yang sebagian besar adalah priyayi, sehingga dalam merealisasikan program pendidikannya lebih mengutamakan pendidikan tingkat tinggi bagi anggotanya yang sebagian besar adalah priyayi. Pendidikan tingkat dasar dan menengah bagi kaum pribumi secara menyeluruh kurang mendapatkan perhatian yang besar dari organisasi ini.

Di Surakarta, Budi Utomo hanya mendirikan Standardschool di empat desa yaitu Loemboeng Wetan, Timuran, Colomadu dan Tegalgondo.[31] Pendiriannya memperoleh bantuan dari sekolah-sekolah barat yang telah ada. Sekolah-sekolah tersebut tidak pernah menjadi besar, sebab selain kekurangan dana, Budi Utomo tidak cukup progresif dalam menghadapi peraturan-peraturan pemerintah yang membuat batasan dalam bidang pendidikan.[32]

g. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh pihak Kerajaan
Perkembangan pendidikan modern yang dikelola oleh Kerajaan dimulai dengan didirikannya HIS Kastriyan pada tanggal 1 November 1910 yang disusul kemudian dengan pendirian FroberschoolPamardi Siwi pada tanggal 26 Agustus 1926 dan yang terkahir adalah pendirian HIS Pamardi Putri pada tanggal 1 Juli 1927.[33] Sekolah-sekolah ini khusus diperuntukkan bagi keluarga bangsawan dan priyayi tingkat tinggi.

Pendirian-pendirian sekolah-sekolah model barat tersebut pihak Keraton Kasunanan juga mendirikan sekolah bagi rakyat kebanyakan. Sekolah formal bagi rakyat bumiputera ini dinamakan Sekolah Desa (Volkschool) dengan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dan lama pendidikannya adalah 3 tahun. Jumlah sekolah ini di Kasunanan pada tahun 1923 masih sedikit barulah mulai tahun 1925 jumlahnya bertambah berkat kerjasama antara pemerintah Kerajaan, pemerintah kolonial Belanda dan desa. Dalam pendirian sekolah ini, pihak Kasunanan memberikan bantuan biaya pembuatan gedung dan mebel, pihak pemerintah kolonial Belanda memberikan peralatan mengajar seperti buku-buku, sedangkan pihak desa membayar gaji guru-gurunya.[34] Hingga tahun 1933 jumlah Sekolah Desa telah mencapai 66 buah sekolah dan bertambah menjadi 153 buah sekolah pada tahun 1938.[35]

Selain sekolah desa pihak Kasunanan juga mendirikan sekolah bagi anak-anak abdi dalem Mutihanyang diberi nama Mambaul Ulum yang didirikan pada tahun 1905. Sekolah ini menghasilkan kader-kader ulama dan mendidik calon pejabat keagamaan yang ahli dan cakap. Dalam perkembangannya sekolah ini juga menerima murid anak-anak putro sentana dan anggota masyarakat lain.

2.     Pers di Surakarta
Perkembangan pers di kota Surakarta merupakan bentuk modernisasi yang terjadi di kota ini. Sejak masa kolonial kota Surakarta merupakan tempat dimana pers tumbuh dan berkembang secara dinamis, dan merupakan tempat pertama perkembangan pers pribumi dan memasuki abad XX pers di Surakarta berkembang pesat bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional.[36]

Surat kabar pertama kali diterbitkan di Indonesia pada tahun 1615 oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jendral pertama VOC di Batavia. Surat kabar tersebut bernama Memorie der Nouvelles yang ditulis dengan tangan.[37] Memorie der Nouvelles ternyata tidak hanya dibaca oleh orang Batavia saja, tetapi samapai tahun 1644 merupakan pembawa berita-berita dari Nedherland serta kepulauan lainnya dan menjadi bacaan tetap bagi pejabat Belanda di Ambon.

Pada tanggal 7 Agustus 1744 surat kabar atau koran pertama yang dicetak dan diterbitkan di Batavia dengan nama Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes yang disingkat menjadi Bataviasche Nouvelles yang dipimpin oleh Jan Erdman Jordens.[38] Koran ini terdiri dari selembar kertas folio yang dicetak atas tiga kolom dan terbit setiap hari Senin. Surat kabar ini memuat pengumuman-pengumuman pemerintah, berita-berita dagang, kapal, kemudian terdapat juga iklan, umumnya berita mengenai kematian, penguburan, penawaran dan pembelian barang.[39]

Sejarah pers dan wartawan di Surakarta dimulai sejak terbitnya surat kabar Bromartani pada tahun 1855. Surat kabar ini diperuntukkan bagi kaum pribumi dengan menggunakan bahasa dan aksara Jawa serta terbit setiap hari kamis. Surat kabar Bromartani pada awalnya terbit secara teratur dengan menerbitkan nomor-nomor contoh sebagai perkenalan dan ajakan kepada pembaca agar suka berlangganan dan memasang iklan.[40]

Memasuki permulaan abad XX penerbitan surat kabar di Surakarta semakin semarak berkaitan dengan tumbuhnya organisasi-organisasi pergerakan. Surat kabar dijadikan sebagai alat propaganda tujuan dari organisasi-organisasi tersebut, hal ini juga dilakukan oleh surat kabar yang dimiliki oleh pemerintah kolonial maupun surat kabar milik bangsa Eropa lainnya. Isi dari surat kabar-surat kabar yang terbit di Surakarta beraneka ragam selain berita-berita juga biasanya berisi iklan-iklan sebagai bagian dari pembiayaan surat kabar tersebut.[41]

Penerbit di Surakarta pada tahun 1912 tercatat sebanyak 9 buah dengan menerbitkan berbagai macam terbitan seperti surat kabar, majalah maupun buku-buku. Surat kabar yang terbit di Surakarta hingga akhir masa pemerintahan kolonial Belanda tercatat sebanyak 62 buah.[42] Dengan terbitan sebanyak itu menjadikan kota Surakarta menjadi kota yang dinamis terhadap masuknya pengaruh berbagai kebudayaan terutama budaya Eropa.
 [ Joko Prayitno - Phesolo - SELESAI ]





---------------------------------------------------------------------
[21] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: UGM Press, 1995), hal. 228.
[22] P.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hal. 67.
[23] Opgave van Openvare Onderwijsriehtingen in Het Gewest Soerakarta, (Surakarta: Arsip Mangkunegaran tahun 1931, No. B 108).
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, (Jakarta: YOI, 1987), hal. 362.
[28] Opgave van Openvare Onderwijsriehtingen in Het Gewest Soerakarta, (Surakarta: Arsip Mangkunegaran tahun 1931, No. B 108).
[29] George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Dunia Politik di Surakarta 1912-1942, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 1990), hal. 52.
[30] Opgave van Openvare Onderwijsriehtingen in Het Gewest Soerakarta, (Surakarta: Arsip Mangkunegaran tahun 1931, No. B 108).
[31] Ibid.
[32] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, (Jakarta: Grafitti Press, 1989), hal. 123.
[33] Kabar Paprentahan, (Reksopustaka Mangkunegaran, 1932), hal. 44.
[34] Kabar Paprentahan, (Reksopustaka Mangkunegaran, 1936), hal. 122-123.
[35] Ibid., hal. 32.
[36] Budaya tulis di Surakarta sendiri telah berlangsung lama dan biasanya sebuah peristiwa dicatat oleh para pujangga keraton dan tidak dipublikasikan secara umum, hasil pencatatan tersebut dalam bentuk babad maupun serat-serat. Pada waktu itu sudah terdapat kertas yang dinamakan kertasgendong atau kertas Ponorogo, dengan media ini para pujangga istana melakukan aktivitas pencatatan-pencatatan.
[37] Soebagijo I.N., Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers, 1977), hal. 7.
[38] Ibid.
[39] I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarta: Trinity Pers, 1977), hal. 15.
[40] Marwari Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Depdikbud, 1993), hal. 239.
[41] Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial 1870-1915, (Jogjakarta: Tarawang, 2000), hal. 76.
[42] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, op.cit.
Tags: