Surakarta Awal Abad XX: Masyarakat dan Perubahan Sosial (2)

 B.   Modernisasi
Perkembangan Masyarakat di kota Surakarta dalam perjalanannya ditunjang dan dibatasi oleh kondisi-kondisi kekinian masyarakat. Tingkat perkembangan masyarakat di Surakarta merupakan hasil dari proses perkembangan jaman yang dipahami bukan sebagai proses yang bersifat kebetulan, melainkan sebagai fenomena historis. Keunikan-keunikan yang terkandung di dalamnya akan dapat dipahami dengan lebih baik apabila realitas-realitas sosio kultural masyarakat tempat berlangsungnya proses perubahan itu tidak dikesampingkan.
Ketika Surakarta mulai bersentuhan dengan modernisasi, masyarakat di daerah ini terbentuk atas beberapa etnis. Selain kelompok pribumi yang menduduki jumlah terbesar, terdapat pula sekelompok orang-orang Eropa dan Timur Asing. Pada tahun 1920 jumlah penduduk Karesidenan Surakarta mencapai 2.049.547 penduduk dan mengalami kenaikan jumlah penduduk ketika sensus pertama kali dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 menjadi 2.564.460 penduduk.[12]Sedangkan penduduk kota Surakarta sendiri pada tahun 1920 berjumlah 343.681 penduduk dan mengalami kenaikan pada tahun 1930 menjadi 391.734 penduduk. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

TABEL 1: Jumlah Penduduk di Karesidenan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran Tahun 1920 dan Tahun 1930
Kabupaten
Banyaknya Jumlah Penduduk
Luas Wilayah (km)
Banyak Penduduk dalam km
1920
1930
1920
1930
Surakarta
343.681
391.734
5247
656
747
Sragen
244.943
323.621
9953
256
325
Klaten
476.364
574.788
7258
657
792
Boyolali
286.538
378.063
10643
270
355
Jumlah
1.351.526
1.666.906
33101
408
504
Mangkunegaran
217.524
321.441
8127
267
395
Wonogiri
480.497
576.113
19287
244
298
Jumlah
698.021
897.554
27414
218
327
Jumlah Keseluruhan
2.049.547
2.564.460
60515
337
424
Sumber: Diolah dari Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta Bawah Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No. 19500 (166 Ca).

Sedangkan penduduk yang bertempat tinggal di kota khususnya Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran berjumlah 163.013 jiwa, yaitu di pusat kota Surakarta berjumlah 127.830 jiwa dan Kadipaten Mangkunegaran berjumlah 35.183. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

TABEL2: Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Kota Tahun 1930
Kota
Banyak Penduduk
Luas Wilayah (km)
Banyak Penduduk dalam km
Surakarta
127.830
20
6.391
Kadipaten Mangkunegaran
35.183
4
9.021
Klaten
12.166
2
6.083
Boyolali
10.166
54
1.804
Sragen
15.381
62
2.461
Wonogiri
7.831
49
1.598
Jumlah
208.557
191
27.358
Sumber: Diolah dari Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta Bawah Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No. 19500 (166 Ca).


Banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan banyak disebabkan semakin berkembangnya kota Surakarta awal abad XX dengan banyak dibangunnya infrastruktur kota dan juga pembukaan industri-industri baru yang banyak membutuhkan tenaga kerja baru. Sehingga terjadi arus urbanisasi dari pedesaan-pedesaan ke kota yang baru berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa kota Surakarta menjadi tempat yang cukup memberikan harapan bagi usaha-usaha di bidang ekonomi.

Jumlah penduduk di Surakarta pada tahun 1930 memiliki keberagaman suku bangsa. Penduduk pribumi yang tinggal di Surakarta menempati jumlah yang cukup besar selanjutnya diikuti oleh masyarakat Cina, Eropa dan Arab. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
TABEL3:Jumlah Penduduk di Karesidenan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran 
Menurut Suku Bangsa Tahun 1930.
Kabupaten
Jumlah Penduduk
Pribumi
Belanda
China
Arab
Surakarta
377.153
2.493
10.745
1.343
Sragen
321.385
474
946
16
Klaten
569.422
1.754
3.580
32
Boyolali
376.445
466
641
11
Mangkunegaran
317.558
1.222
2.593
68
Wonogiri
574.463
45
1.600
5
Kota Wilayah Dalem Surakarta I
32.541
873
1.708
61
Wilayah Kadipaten Mangkunegaran I
114.607
2.330
9.566
1.327
Jumlah
2.683.574
9.657
31.379
2.863
Sumber: Diolah dari Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta Bawah Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No. 19500 (166 Ca).

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah pribumi yang tinggal di wilayah Surakarta cukup besar dan masyarakat pribumi tersebar diberbagai pelosok desa maupun kota Surakarta. Sebagian besar masyarakat pribumi yang hidup di pedesaan hidup sebagai petani maupun buruh perkebunan yang dimiliki oleh orang Eropa maupun China.

Penduduk Eropa dan Belanda banyak tinggal di daerah perkotaan dengan ditandai adanya bangunan yang disebut “loji” dan berada di daerah dekat dengan benteng Vastenburg serta alun-alun utara. Biasanya mereka bekerja sebagai pejabat Gouvernement ataupun sebagai pengusaha perkebunan swasta, dinas militer, dan sebagainya.

Jumlah penduduk yang berasal dari Timur Asing di wilayah Surakarta cukup besar dan biasanya mereka tinggal dekat dengan pusat ekonomi dan memiliki wilayah tersendiri yang tidak bercampur dengan penduduk pribumi. Pembagian ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk dapat mengawasi pergerakan masyarakat Timur Asing dan pribumi secara bersama. Masyarakat Timur Asing China berada di wilayah Balong dan dekat dengan pusat ekonomi pasar Gedhe sedangkan masyarakat Arab banyak menempati wilayah Pasar Kliwon.[13] Masyarakat Timur Asing, China dan Arab beraktivitas sebagai pedagang perantara yang cukup berperan besar dalam menjalankan perekonomian kota Surakarta.

Gambar di atas menunjukkan wilayah Pasar Kliwon yang masih berupa kampung dengan jalan yang cukup luas sebagai penghubung dengan wilayah kota Surakarta. Di wilayah ini sebagian masyarakat Arab dan pribumi tinggal dengan rumah-rumah yang masih sederhana. Sedangkan pemukiman masyarakat China telah menunjukkan kemajuan dalam bangunan fisik dengan gedung yang ditembok dan juga terletak di pinggir jalan yang cukup luas.
Seiring dengan pertumbuhan sektor demografi dan ekonomi di daerah Surakarta, maka sektor transportasi juga mengalami perkembangan. Kalau sebelumnya alat transportasi didominasi oleh kereta-kereta yang ditarik hewan, maka setelah diperkenalkannya kereta api, alat-alat transportasi tersebut mulai ditinggalkan. Pembuatan jaringan transportasi kereta api di Surakarta dilaksanakan pada tahun 1862 atas desakan van de Putte dengan jalan kereta api yang menghubungkan kota Semarang dengan Vorstenlanden, dibuat dan dikerjakan oleh pihak swasta Belanda, yaitu NIS (Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschapij). Pembangunan jalur kereta api ini menggunakan upah tenaga dari daerah Blora, Rembang, dan Jepara.[14] Jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden terbagi menjadi empat bagian, pertama, rute Semarang-Kedungjati dibagi dua yaitu Semarang-Tanggung dan Tanggung-Kedungjati dimulai tahun 1864-1867. Kedua, dari Kedungjati-Surakarta, ketiga, dari Surakarta ke Yogyakarta dan terakhir dari Kedungjati ke Ambarawa.[15]

Pembangunan jaringan kereta api ini dimaksudkan sebagai sarana penunjang eksploitasi dari perkebunan tebu yang sedang berkembang dan menghasilkan produksi gula sangat besar di wilayah Surakarta. Di wilayah Surakarta sendiri terdapat 16 buah pabrik gula yang dimiliki oleh bangsa Eropa maupun kerajaan.[16] Artinya bahwa jaringan kereta ini hanya digunakan sebagai pengangkut barang dari pedalaman ke pelabuhan untuk diekspor, tetapi dalam perjalanan waktu, sarana transportasi ini digunakan sebagai sarana mengangkut manusia. Penambahan fungsi ini membawa dampak semakin meluasnya transformasi nilai-nilai ke daerah pedalaman melalui mobilisasi manusia dari kota-kota pelabuhan ke kota-kota di pedalaman.

Di Surakarta pengadaan trem untuk angkutan terjadi pada sekitar tahun 1900 yang dimulai dari pusat kota, yaitu dari halte di depan Benteng Vastenburg. Trem ini ditarik dengan kuda yang pada setiap pos akan berhenti karena menjadi tempat naik turunnya penumpang. Rute yang dilalui dari BentengVastenburg ke arah selatan ke barat menuju Purwosari,[17] trem berhenti sekali di Kauman menuju Derpoyudan sebelah barat Nonongan, ke barat sampai di halte Pasar Pon, dari situ kereta dapat bersimpangan dengan trem yang datang dari barat. Perjalanan trem melintasi jalan besar di sebelah selatan ke barat berhenti di Bendha depan Sriwedari menuju Pesanggrahan (Ngadisuryan) berbelok ke utara memotong jalan besar sampai stasiun Purwosari dan berhenti di situ. Dari Purwosari kereta menuju ke barat dan berakhir di Dusun Gembongan di mana ada pabrik gula. Trem berhenti di situ sebagai pengangkut punggawa pabrik yang akan pergi ke Solo.
Trem yang ditarik oleh empat ekor kuda itu hanya memiliki satu gerbong dan setiap empat kilometer kuda tersebut diganti. Gerbong itu berisi sekitar 20 orang. Penumpangnya adalah orang-orang Belanda dan China. Sementara itu, untuk orang pribumi sendiri sangat sedikit jumlahnya karena ongkos yang mahal sehingga para pembesar dan saudagar saja yang mampu membayarnya.[18] Selain itu, jalur kereta yang menghubungkan Surakarta-Boyolali telah dibangun pula pada tahun 1908 dengan panajang 27 km dan dikelola oleh Soloshe Tramweg Mij.[19]

Perluasan jaringan trem dan kereta api berdampak pada pertumbuhan kota. Pertama, dilihat dari pusat keramaian di stasiun sebagai tempat berhentinya kereta. Stasiun menjadi tempat berkumpulnya manusia dan terakumulasi dengan berbagai sikap , perilakunya. Selain itu, stasiun menjadi tempat aktivitas ekonomi seperti warung, dan rumah makan juga para pedagang kecil yang menjajakan dagangan di dalam kereta. Kedua, munculnya pusat kehidupan yang lebih banyak pada jalur-jalur kereta api. Tempat-tempat yang terisolasi jauh dari kota dapat dijangkau. Bangunan seperti pasar, hotel, bengkel kereta dan bangunan barunya bermunculan untuk keperluan perluasan jaringan kereta api. Pada perkembangan selanjutnya juga ada dinas jaringan telepon untuk melengkapi jaringan komunikasi ini.[20]

Perusahaan kereta api, gas, listrik, air minum, jaringan telepon mengubah segi fisik kota dengan jalan-jalan baru, gedung-gedung, sekolah, gedung pertemuan, asrama-asrama dan rumah sakit. Berbagai segi perkembangan fisik kota dengan pemukiman baru berpengaruh dalam cara berpikir penduduk kota di Surakarta. Kota kerajaan tumbuh menjadi kota dalam situasi kolonial dengan kemudahan-kemudahan baru yang tidak terdapat dalam kota tradisional. Perkembangan itu turut membentuk Surakarta sebagai kota yang dapat menampung tumbuhnya organisasi sosial dan pergerakan nasional.

Dalam situasi kolonial terbukalah masalah-masalah yang menyangkut penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal yang diperlukan sebagai keseimbangan perubahan administrasi pemerintahan. Pasaran tenaga kerja makin terbuka, baik dalam hubungan pengisian susunan jabatan pemerintah maupun pada perusahaan dan industri perkebunan yang meluas horizontal dan secara terbatas terjadi mobilitas vertikal. Di samping itu, perluasan gagasan Barat tentang kebebasan, hak mengatur diri sendiri, demokrasi dan kemajuan melai melekat pada banyak pribadi elite kota.
--------------------------------------------------------------------------
[12] Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta Bawah Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No. 19500 (166 Ca).
[13] A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, Grafiti Pers: Jakarta, 1985, hlm. 12-13.
[14] Benny Juwono, “Etnik Cina di Surakarta 1890-1927”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 2 No. 1, (Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1999), hal. 57.
[15] Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, (Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM, 1989), hal. 111-112.
[16] Suhartono, loc.cit., hal. 89.
[17] Stasiun Purwosari didirikan tahun 1875 dan hingga kini stasiun ini masih berfungsi. Struktur bangunan utama dengan dinding batu bata dan rangka baja, bahan penutup atap dari seng. Sidharta Eko Budiharjo, Konservasi dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), hal. 81.
[18] R. M. Sajid, Babad Sala, (Solo: Reksopustoko, 1984), hal. 68-69.
[19] History of Railways in Indonesia, dalam http://www.londoh.com.
[20] Benny Juwono, loc. cit., hal. 58.
Tags: