Semarang tahun 1921 terkenal sebagai kota pusat kaum merah di Hindia Belanda. Pada masa itu di Semarang terdapat markas VSTP (Vereeniging van Spoor en Tram Personeel), serikat pekerja kereta api yang paling teratur dan terorganisir di seluruh Hindia Belanda yang didirikan tahun 1904 dengan hampir sekitar 17000 anggota yang secara rutin membayar iuran keanggotaan dan memiliki cabang diberbagai daerah serta memiliki surat kabar yang terbit secara teratur dan modern. Semarang kota tempat Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diketuai oleh Semaoen dan sebagai partai kader karena massa rakyat berada pada organisasi Sarekat Islam (SI) Semarang yang telah berafiliasi bahkan telah menjadi bagian dari PKI. Kedua organisasi ini memiliki alat propaganda yang sama-sama modern yaitu surat kabar Het Vrije Woord dan Suara Rakyat (diketuai oleh Darsono) untuk PKI, sedangkan SI Semarang memiliki surat kabar Sinar Hindia.
Begitulah suasana pergerakan kota Semarang ketika pertamakali Tan Malaka datang, suasana jaman pergerakan yang sedang bergejolak akibat dari guncangan ekonomi, semakin represifnya pemerintah kolonial Belanda dengan mengeluarkan berbagai undang-undang yang sangat membatasi masyarakat untuk berserikat, berkumpul, menulis, bersidang dan berbicara. Dan yang lebih menakutkan bagi para aktivis pergerakan pada saat itu adalah exorbitante rechten hak istimewa gubernur jendral untuk membuang para aktivis pergerakan yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban pemerintah Kolonial Belanda.
Tan Malaka
Tan Malaka meninggalkan Deli untuk membangun impiannya mendirikan sebuah perguruan yang cocok dengan keperluan dan jiwa rakyat murba di masa itu. Pada awalnya Tan Malaka tinggal di Yogyakarta dirumah Sutopo, pemimpin surat kabar Budi Utomo. Sutopo banyak memperkenalkan Tan Malaka dengan orang-orang pergerakan dan Sutopo juga telah mengusahakan sekolah yang akan dipimpin oleh Tan Malaka. Tetapi Tan Malaka rupanya tertarik dengan Sarekat Islam yang pada saat itu sedang mengadakan vergadeering besar untuk membicarakan perselisihan yang terjadi di dalam organisasi tersebut akibat Kritik Darsono. Oleh Sutopo, Tan Malaka diperkenalkan oleh Tjokroaminoto, Semaoen dan Darsono. Dalam perkenalannya tersebut, Tjokroaminoto mengundang Tan Malaka untuk ikut terlibat dalam Sarekat Islam, “pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara” demikian kata Tjokroaminoto dalam perpisahannya dengan Tan Malaka. Dalam vergadeering tersebut ia dibawa ke tempat Darsono dan Tan Malaka mendengarkan Darsono berkata, “Rakyat kita masih terlalu persoonlijk dalam perbedaan paham. Mereka belum bisa memperbedakan paham atau kecakapan seseorang dengan orangnya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka amat cintai”. Sedangkan Semaoen segera mengajak Tan Malaka untuk ikut bersama mereka ke Semarang untuk memimpin sebuah sekolah yang akan diusahakan. Dan memang setibanya di Semarang, Tan Malaka segera mendapatkan keinginannya untuk memimpin sebuah sekolah dan ini diwujudkan oleh SI Semarang.
Pembukaan sekolah Sarekat Islam Semarang terjadi pada tanggal 21 Juni 1921 dengan murid berjumlah lima puluh orang, Tan Malaka yang mendapatkan didikan sebagai guru di Negeri Belanda diangkat sebagai guru dan mengajar di sekolah ini. Untuk ruangan belajar, ruang rapat Sarekat Islam Semarang diubah menjadi ruang kelas.[1] Seperti yang diberitakan oleh Sinar Hindia:
“….bahwa salah satoe sifat jang baik dari orang-orang Barat jalah: rasa kemerdikaan jang soedah dimasoekkan ke dalam jiwa mereka dan dikembangkan di sekolah-sekolah; bahwa sekarang di Hindia contoh itoe akan diikoeti; bahwa itoelah jang joega diingini oleh Sarekat Islam di Semarang, dan seboeah sekolah didirikan oentoek memelihara dan mendorong rasa kemerdekaan itoe; bahwa baroe-baroe ini dioemoemkan bahwa sekolah itoe akan diorganisasikan lebih baik daripada daripada sekolah HIS biasa, karena benih kemerdikaan akan ditanamkan di dalam diri moerid-moerid.”[2]
Sekolah Sarekat Islam Semarang tumbuh dengan cepat dan dalam waktu seminggu sudah memiliki delapan puluh murid. Masih banyak anak-anak yang mendaftarkan diri untuk menjadi murid sekolah Sarekat Islam Semarang dikarenakan sekolah ini memberi pelajaran bahasa Belanda. Hal ini memungkinkan bagi para orang tua murid apabila anak mereka tidak diterima di Hollands Inlandse School (HIS) dapat memasukan mereka ke sekolah Sarekat Islam Semarang. Tetapi kendala yang dihadapi sekolah Sarekat Islam adalah tidak tersedianya dana untuk pembelian alat-alat pelajaran.[3]Walaupun terganjal permasalahan dana, sekolah Sarekat Islam terus berjalan dengan kekuatan yang dimiliki oleh Tan Malaka untuk mengembangkan sekolah ini.
Pada bulan Juli direncanakan untuk mengadakan pasar derma bagi sekolah SI dan mencari seorang guru wanita. Akhir bulan Juli diputuskan untuk menggelar pasar derma itu, awal September dibuat suatu anggaran dan ijin diminta dari asisten residen, hingga permohonan kedua disampaikan asisten residen tidak memberikan ijin penyelenggaraan pasar derma itu. Setelah keluar larangan terhadap pasar derma itu, diadakan rapat anggota SI pada tanggal 21 Agustus 1921, dan diputuskan atas usul Semaoen untuk mengirimkan setiap malam kelompok-kelompok murid yang terdiri dari lima anak ke kampung-kampung di bawah pimpinan seorang dewasa. Anak-anak itu diberi selendang merah dengan tulisan “Rasa Merdika” dan akan mengumpulkan uang setelah menarik perhatian para penduduk dengan menyanyikan lagu Internasionale.[4]
Pendirian Sarekat Islam Semarang pada awalnya mendapatkan kendala yang serius terutama masalah pendanaan. Para pemimpin Sarekat Islam Semarang menyerukan kepada para penduduk Semarang dan di luar Semarang untuk membantu sekolah ini. Walaupun persoalan memberi bantuan kepada sekolah Sarekat Islam ini terlihat hanya untuk kepentingan Sarekat Islam Semarang tetapi tetap menjadi kepentingan umum, karena seluruh rakyat Hindia ingin memiliki rasa kemerdekaan itu.[5]
Rapat-rapat Sarekat Islam di Semarang dan tempat-tempat lain di sekitarnya juga selalu membuat propaganda untuk sekolah itu. Beberapa anak mengucapkan pidato singkat tentang sekolah itu dan minta bantuan misalnya untuk perpustakaan yang baru didirikan. Mereka menyanyikan laguInternasionale di bawah pimpinan Tan Malaka atau murid yang lebih tua.[6]
Pendirian sekolah Sarekat Islam Semarang ini harian Sin Po pada tajuk utamanya yang berjudulGerakan Boemipoetra dalam Taon yang Telah Laloe menjelaskan:
… setelah oeroesan perkoelian soeda sedikit koerang diperhatikan dan orang moelai inget bahwa onderwijs ada bergoena bagi kaoem boeroeh masi aken dateng… kerna marika berbalik pikiran, meskipoen dipimpin satjara bagaikan sadja kaoem boeroeh tiada mangarti oentoek memikirkan nasibnja sekarang dan kemoedian hari, perkara onderwijs dimoelai lagi. Itoe hal bisa diliat di Semarang dimana orang telah berdirikan satoe sekolah SI dimana tiada sadja dipeladjarken sebagi di sekolah HIS, tetapi djoega dididik rasa kemerdikahannja. Di Djokja pun ada diberdiriken sekola sematjem itoe oleh toean Soeardi Soerjaningrat dan boleh djadi nanti di Soerabaja aken diadaken sekolahan sematjam itoe. Di Semarang soeda ada keliatan ada madjoe. Anak-anak ada keliatan dididik betoel-betoel dalem perasaan kemerdikaan, boekti baroe-baroe ini kita menanja pada anak-anak di sitoe, kemoedian marika ingin djadi apa. Marika djawab kemoedian maoe djadi pemimpin rahajat, jang mana uda laen sekali dengen moerid di laen sekolahan, jang bilang maoe djadi prijaji, djadi opzichter, djadi dokter dan laennja. Penoelis ini poedji betoel pada sekolahan-sekolahan jang diatoer begitoe kerna anak-anak jang keloeran dari sekolahan Olanda atawa NIS dari Gouvernement tiada dapet didikan begitoe…[7]
Tajuk berita ini menunjukkan bahwa kehadiran sekolah Sarekat Islam Semarang mendapatkan respon yang positif dari kalangan masyarakat luas. Harian Sin Po merupakan harian milik masyarakat Tionghoa yang memiliki pengaruh luas. Sehingga secara jelas bahwa pendidikan Hindia Belanda selama ini hanya diperuntukan bagi golongan priyayi dan masyarakat golongan tinggi, rakyat pribumi tidak mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Selain itu bahwa sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial hanya sebagai landasan bagi kebutuhan mereka akan buruh-buruh murah yang terdidik tetapi tidak memberikan pendidikan yang membebaskan masyarakat dari penjajahan.
Akibat dari munculnya sekolah Sarekat Islam ini, pemerintah kolonial Belanda segera mengambil tindakan dengan mengadakan kebijakan pengawasan terhadap sekolah-sekolah swasta tidak berbantuan atau bersubsidi. Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral Fock, Pejabat Direktur Pendidikan dan Agama (J.T.W. van der Meulen) tanggal 27 Juli 1922, menyatakan bahwa pengawasan oleh pemerintah atas sekolah swasta bumiputera dan Cina menjadi keharusan, karena menurut hematnya di sekolah swasta bumiputera tumbuh pengaruh politik yang merusak (destruktif) dan di sekolah swasta Cina pengaruh nasionalisme Cina yang anti Belanda menjadi makin besar.[8] Dengan surat rahasia tanggal 1 Juni 1922 nomor 296/I, satu kali telah disampaikannya kepada Gubernur Jendral suatu rencana ordonansi untuk mengadakan pengawasan atas sekolah swasta sepanjang pengawasan yang dimaksudkan belum diatur secara umum dan secara khusus. Kemudian pendapat dan nasehat Jaksa Agung, Kepala Penasehat Urusan Cina dan Pejabat Penasehat Urusan Bumiputera, setuju dengan usul rencana ordonansi tersebut.
Motivasi diusulkannya rencana ordonansi ini adalah surat Residen Semarang J.H. Niewenhuys, tanggal 27 Oktober 1921 nomor 425 mengenai sekolah SI (Sarekat Islam) di Semarang. Residen Semarang meminta supaya peraturan dalam Lembaran Negara 1880 nomor 201, yang seperti ditambah dalam Lembaran Negara 1903 nomor 389 dan 1912 nomor 780 mengenai pendidikan swasta yang diberikan oleh orang Eropa diterapkan pada pendidikan swasta yang diberikan oleh bumiputera kepada orang bumiputera.[9]
Nasehat senada juga diusulkan oleh G.W. Uhlenbeck sebagai Jaksa Agung (21 Maret 1922 nomor 219 Rahasia A.P.). Ia memberitahukan bahwa di Bandung juga didirikan sekolah Sarekat Islam dengan kira-kira 300 orang murid. Menurut rencana Tan Malaka akan membagi waktunya untuk sekolah Sarekat Islam di Bandung dan Semarang. Uhlenbeck berpendapat supaya mencegah pemberian pendidikan kepada para muda bumiputera menuju kea rah paham komunisme dengan mengadakan pengawasan terhadap pendidikan kepada anak bumiputera oleh bumiputera.[10]
Terdapat dua alasan yang dikemukakan oleh pemerintah kolonial untuk mengadakan pengawasan terhadap pendidikan yaitu masuknya nasionalisme Cina dan paham komunisme. Paham komunisme dibawa oleh Sarekat Islam Semarang dan melalui sekolah Sarekat Islam berusaha memberikan paham komunisme sebagai upaya untuk menentang kapitalisme. Walaupun secara nyata alasan ini dapat dibenarkan karena Tan Malaka sendiri menyatakan bahwa program pelajaran pertama dasarnya antikolonial dan sebagai akibatnya antikapitalis.
Kehadiran sekolah Sarekat Islam sendiri memang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bias menyekolahkan anaknya setingkat lebih tinggi bahkan setara dengan Hollands Inlands School(HIS) milik pemerintah. Selain itu uang sekolah yang lebih murah dari sekolah HIS juga menjadi daya tarik bagi masyarakat walaupun sebagian besar yang bersekolah di sekolah Sarekat Islam adalah golongan penduduk kota yang setengah terdidik. Selain itu program pelajaran yang anti pemerintah mempunyai daya tarik yang cukup besar bagi golongan-golongan ini yang hidup dalam masa peralihan dari masyarakat feudal ke masyarakat kapitalis dengan akibat berupa nasib yang tidak berketentuan bagi mereka.[11]
R.A. Kern sebagai Pejabat Penasehat Dalam Urusan Bumiputera menyatakan dalam nasehatnya 25 Februari 1922 nomor D. 37, bahwa sekolah negeri sendiri merupakan penangkal atau penolak paling ampuh terhadap sekolah-sekolah politik. Banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anak mereka di HIS negeri, tetapi dikecewakan karena anak mereka tidak dapat diterima. Menurut Kern sekolah swasta pada umumnya mendapatkan siswa, bukan karena orang tua berkeinginan agar anak mereka diberikan pendidikan dalam bentuk tertentu di sekolah tersebut, melainkan karena anak mereka tidak dapat diterima di sekolah negeri. Ia yakin bahwa banyak anak yang masuk sekolah HIS yang didirikan oleh Sarekat Islam di Priangan akan segera pindah ke HIS negeri, apabila disediakan tempat untuk mereka. Dari sebab itu pada hematnya sekolah negeri merupakan pencegahan yang paling efektif terhadap sekolah politik.[12]
Menurut Pejabat Direktur Pendidikan dan Agama J.F.W. van der Meulen dalam suratnya tanggal 27 Juli 1922 kepada Gubernur Jendral Fock menyatakan bahwa pengawasan terhadap sekolah swasta Bumiputera menjadi keharusan. Menurut hematnya pemerintah akan melalaikan kewajibannya dengan membiarkan pengaruh kedua gerakan itu masuk ke dalam bidang pendidikan. Ia tidak menyangkal pendapat R.A. Kern, Penasehat Urusan Bumiputera, bahwa sekolah negeri yang bermutu merupakan penolak paling ampuh terhadap pengaruh tersebut, tetapi pemerintah belum mampu menyediakannya seperti yang dapat diharapkan dan lagi pula hal tersebut bukan satu-satunya cara pencegahan.
Ia menyatakan bahwa pengawasan dilakukan secara berangsur-angsur. Sebagai permulaan diadakan peraturan legal agar pemerintah mempunyai kepastian untuk selalu dapat mengetahui volume dan luas serta corak pengajaran di sekolah swasta, sehingga dapat diadakan pengawasan seperlunya dan akhirnya pengajaran dapat dihentikan, apabila ditempuh arah yang mengancam keamanan umum.[13]
Menurut pendapatnya kepastian ini dapat diperoleh dengan mewajibkan orang yang hendak mengajar di sekolah swasta menyampaikan pemberitahuan kepada pemerintah. Dikecualikan guru-guru yang mengajar di sekolah negeri dan sekolah swasta bersubsidi, juga guru-guru yang terkena ordonansi pengawasan dalam Lembaran Negara 1880 nomor 201. demikian juga pengajaran agama, yang terkena pasal 123 dan 124 Regeeringsreglement (R.R) serta peraturan-peraturan khususnya.[14]
Ijin mengajar tidak perlu diberikan, sudah cukup apabila pemerintah diberi tahu. Para guru tersebut diwajibkan memberikan semua keterangan yang diperlukan kepada petugas-petugas pemerintah yang diserahi pengawasan. Kepala pemerintah daerah diberi kewenangan melarang para guru tersebut mengajar, jika kepentingan keamanan umum mengharuskan. Dengan demikian sistim pengawasan tersebut ditujukan kepada guru-guru sekolah swasta.[15]
Pengawasan pemerintah baik pun terhadap pendidikan oleh orang Bumiputera kepada orang Bumiputera, maupun terhadap pendidikan swasta Cina tidak bersubsidi telah berkali-kali dipersoalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mengenai masalah yang pertama oleh Direktur Pendidikan dan Agama pernah ditanyakan dengan surat edaran tanggal 28 Oktober 1914 nomor 21520 kepada para Inspektur Pendidikan Bumiputera apakah diketahui fakta-fakta yang menunjukkan, bahwa pendirian pemerintah untuk tidak turut campur dalam urusan itu perlu ditinggalkan dan apakah jika perlu turut campur pengawasan terhadap orang Eropa yang memberi pendidikan swasta diperluas dengan pengawasan terhadap orang Timur Asing dalam kasus yang sama atau lebih baik mengadakan pengawasan terhadap semua sekolah swasta.[16]
Departemen Pendidikan dan Agama mendesak untuk mengubah pendirian pemerintah terhadap sekolah swasta Indonesia dan Cina, karena beranggapan, bahwa dengan pendirian sekolah S.I. di Semarang dan sekolah pendidikan guru Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta kaum muda Bumiputera diancam oleh pengaruh politik yang merusak.
Pemerintah kolonial melalui berbagai departemennya mencoba menghalangi perkembangan sekolah-sekolah swasta terutama yang berhaluan komunis seperti sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam Semarang yang telah menyebar luas. Alasan utama dari pengawasan bahkan tindakan untuk menutup sekolah tersebut adalah ancaman terhadap ketertiban umum (Rust en orde). Pemerintah kolonial memang selalu mencoba menjaga ketertiban masyarakat dengan melakukan tindakan represif terhadap berbagai gerakan nasional. Gerakan pendidikan yang dilakukan oleh Sarekat Islam Semarang juga dianggap mengancam sehingga pemerintah kolonial mencoba menghambat laju perkembangan sekolah ini.
Berkaitan dengan usaha pemerintah kolonial Belanda melarang dan mematikan perkembangan sekolah S.I. Semarang, Semaoen pada bulan Oktober 1921 secara tiba-tiba menghilang dari Hindia Belanda untuk mewakili PKI di Rusia pada Kongres Bangsa-Bangsa Timur Jauh yang pertama, yang akan diadakan di Irkutsk pada bulan November dan di Moskow pada bulan Januari. Di sana ia mengucapkan pidato yang panjang lebar dalam bahasa Jerman, yang juga memperhatikan sekolah S.I, suatu bukti betapa pentingnya sekolah itu dipandang orang. Semaoen mengatakan bahwa:
“Di Hindia sudah mulai berkembang suatu gerakan anak-anak. Gerakan itu sebagian dipimpin oleh Partai Nasional Hindia, yang di Yogya mempunyai sebuah sekolah nasional dengan 300 murid. Nama sekolah itu “Adi Dharmo”. Sayap lain dari gerakan itu yang dikenal dengan nama “Komunis Muda”, berada di bawah pimpinan PKI. Pada tahun 1921 di Semarang, PKI membuka sebuah sekolah komunis. Sekolah ini setelah berdiri enam bulan mempunyai 150 murid. Sebuah sekolah serupa telah dibuka baru-baru ini di Bandung. Kami mengajar murid-murid kami untuk bekerja demi kepentingan kelas mereka sendiri. Telah didirikan pula perkumpulan-perkumpulan menyanyi dan lain-lainnya, yang dapat membantu menjalankan sekolah dan mendirikan sebuah perpustakaan. Sebagian besar anak-anak yang belajar di sekolah itu termasuk kelas buruh. Yang memimpin gerakan anak-anak komunis ini, yang kemudian bisa berkembang menjadi gerakan komunis, ialah Tan Malaka, seorang guru Hindia yang mendapat pendidikan di Negeri Belanda. Kami berniat tidak lama lagi mendirikan sekolah-sekolah kami di seluruh Hindia Belanda. Banyak pegawai pemerintah dengan sendirinya tidak senang dengan sekolah-sekolah komunis kami itu; dan kami juga menghadapi kesulitan-kesulitan keuangan. Pegawai-pegawai pemerintah di Semarang mendirikan berbagai macam rintangan untuk mencegah usaha kami. Mereka merintangi PKI dan Sarekat Islam, ya, bahkan para penduduk, supaya kami tidak mendapat jalan untuk mengumpulkan cukup banyak alat guna memelihara kelangsungan sekolah kami.”[17]
Propaganda Semaoen di luar negeri mengenai sekolah S.I. Semarang dan sekolah-sekolah S.I. lainnya bertujuan mendapatkan dukungan secara politik maupun ekonomi secara internasional. Propaganda ini cukup berhasil dengan didapatkannya bantuan berupa buku-buku dari perpustakaan sekolah S.I. dari Shanghai, China.
Sementara itu, pemerintah kolonial Belanda mulai memberi peringatan kepada pengurus Sarekat Islam Semarang atas tindakannya mengadakan pencarian dana melalui kampanye dari kampung ke kampung. Terhadap tindakan Asisten Residen itu, pada tanggal 13 November 1921 diadakan suatu rapat protes. Selain Sarekat Islam Semarang dan PKI rapat itu juga dihadiri oleh Boedi Oetomo dan Sarekat Hindia. Rapat itu dipandang sebagai oleh para penguasa sebagai puncak aksi bersama partai terhadap pemerintah.[18]
Sinar Hindia mengangkat rapat itu melalui tulisan seorang pemimpin PKI, Abdulrachman sebagai berikut:
“tidak hanja para pembitjara di rapat protes itoe, tetapi djoega para hadirin lainnja memperlihatkan kedjengkelan karena sekolah SI boekannja dibantoe, melainkan malah dirintangi oleh pihak pengoeasa. Kemoedian penoelis menerangkan bahwa selama di Semarang tidak pernah ia menghadiri rapat seperti itoe, ia merasa jakin bahwa bagaimanapoen djoega pergerakan rakjat itoe akan berdjalan dengan baik. Protes telah dilantjarkan dan lagoe Internasionale akan diperkenalkan di mana-mana. Tetapi djanganlah orang merasa gembira karena siapa tahoe rintangan apakah nanti jang masih manimpa diri kita. Ingatlah bahwa pemerintah mempoenjai hak oentoek memboeang orang-orang jang dianggap berbahaja oentoek keamanan dan ketertiban. Moengkin akan digoenakan jalan lain dan Saoedara Malaka karena dianggap berbahaja akan diboeang. Karena itoe, Saoedara-saoedara, penoelis berseroe, kita haroes saling menolong. Perkoetlah aksi kita. Marilah kita semoea melatih dalam menjanji lagoeInternasionale. Hidoep sekolah SI Semarang!”.[19]
Sejak awal berdirinya sekolah Sarekat Islam pemerintah kolonial telah mengincar Tan Malaka untuk ditangkap dikarenakan mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Ini merupakan bagian politik pemerintah kolonial Belanda untuk mematikan gerakan-gerakan sekolah Sarekat Islam. Pemerintah kolonial tinggal menunggu alasan yang tepat untuk menangkap dan membuang Tan Malaka keluar dari Hindia Belanda.
Tan Malaka pada tanggal 13 Februari 1922 akhirnya ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda di depan sekolah Sarekat Islam Bandung sehabis mengajar. Harian Sin Po memuat berita penangkapan tersebut, dalam tulisan harian ini menyatakan bahwa alasan ditangkapnya Tan Malaka adalah karena dua tulisannya yaitu Soviet atau Parlement dan Sarekat Islam dan Onderwijs juga dikarenakan pendirian sekolah Sarekat Islam Semarang yang digagasnya.[20]
Penangkapan Tan Malaka merupakan upaya dari pemerintah kolonial untuk menghambat laju perkembangan sekolah sarekat Islam dan komunis. Selain itu penangkapan Tan Malaka juga berkaitan erat perpecahan antara Sarekat Islam dan kaum Komunis Semarang dimana pemerintah kolonial menyatakan bahwa Tan Malaka dengan komunisnya akan menjalankan program Moskow.[21]
Penangkapan Tan Malaka menimbulkan reaksi yang keras dikalangan pergerakan. Dukungan kepada Tan Malaka diberikan melalui artikel-artikel surat kabar. Sinar Hindia menyatakan akibat penangkapan Tan Malaka maka sekolah-sekolah Sarekat Islam menghadapi kesulitan-kesulitan besar.[22] Sebagai bentuk dukungan lainnya maka sekolah Sarekat Islam ditutup sementara pada tanggal 14 Februari 1922 dan surat kabar Soeara Ra’jat pada tanggal 16 Februari 1922 mengisi seluruh halamannya dengan seruan untuk memberikan sumbangan uang dan pakaian kepada Tan Malaka.[23] Selain pengumpulan uang derma bagi penahanan Tan Malaka, murid-murid sekolah SI membuat sebuah syair yang dimuat surat kabar Sinar Hindia. Syair ini menunjukkan keprihatinan mereka atas penangkapan Tan Malaka sebagai guru mereka. Syair tersebut berbunyi:
“Nasibnya Anak SI Shool”
Anak yang melarat begini berat
Goeroe saja ke Bandoeng rasa sehat
Anak merasa senang dapatnja berkat
Tidaklah datang kabar ditangkap
Anak menangis toenggoe papahnja,
Papah di tangkap sebab apa salahnja
Salah dan betoel baik di tanja
Foeroe SI School Semarang roemanja…[24]
Walaupun penangkapan Tan Malaka merupakan pukulan berat bagi organisasi PKI tetapi dalam artikel di Sinar Hindia menyatakan bahwa pukulan berat telah diberikan kepada PKI tetapi kalau satu kali benih komunisme sudah tertanam maka tidak mungkin dapat dibasmi.[25] Penangkapan Tan Malaka dan akhirnya pemerintah kolonial melakukan politik Exorbitante rechten dengan membuang Tan Malaka ke Negeri Belanda.
Pembuangan Tan Malaka menunjukan bahwa tindakan-tindakan masyarakat yang menentang dan menolak sistem kapitalisme harus berhadapan dengan perangkat hukum. Dikeluarkannya pasal 161 Bis dan dua pasal artikel No. 153 Bis dan 153 ter yang berisi tuntutan hukuman bagi siapa saja yang dianggap menggangu ketentraman umum[26] dan tentunya ditambah dengan hak istimewa Gubernur Jendral untuk menggunakan exorbitante rechten. Exorbitante rechten adalah hak istimewa Gubernur Jendral untuk menangkap, memeriksa, dan menangkap serta membuang seseorang yang “dianggap berbahaya” bagi pemerintah kolonial menjadi bukti bahwa pemerintah kolonial harus tetap menjaga tatanan kolonial.
Menurut Tan Malaka, hak istimewa Gubernur Jendral ini berseluk beluk pula perhubungan ekonomi, sosial, dan politik antara kapitalis-imperialis-Belanda dengan buruh rakyat terjajah[27]. Artinya bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda lebih banyak diperuntukkan bagi keuntungan pemilik modal yang menginginkan adanya suasana yang tidak bergejolak yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan anti kapitalisme.
Jadi, walaupun para murid-murid sekolah Sarekat Islam harus mengucapkan “Varwel kepada Tan Malaka” tetapi Tan Malaka telah memberi rasa merdeka bagi perjuangan melawan penjajahan Belanda.
[Tulisan: Joko Prayitno - Phesolo ]
[Tulisan: Joko Prayitno - Phesolo ]
[1] Soeara Ra’jat, tanggal 1 Juli 1921. Koleksi Perpusnas RI Jakarta. Lihat juga Tan Malaka, ibid.
[2] Sinar Hindia, tanggal 21 Agustus 1921. Koleksi Perpusnas RI Jakarta.
[3] Ibid.
[4] Harry A. Poeze, loc. Cit., hal. 175.
[5] Soeara Ra’jat, tanggal 31 Agustus 1921. Koleksi Perpusnas RI Jakarta.
[6] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925, Grafiti Pers: Jakarta, 2000, hal. 176.
[7] Sin Po, tanggal 9 Januari 1922. Koleksi Perpustakaan Sanapustaka Keraton Surakarta.
[8] Ibid., hal. 61.
[9] Peraturan tersebut termaktub dalam Lembaran Negara (Indisch Staatblad) 1880 nomor 21 yaitu pengawasan pendidikan swasta dari orang Eropa kepada orang bumiputera. Untuk pengawasan ini baikpun yang diberikan di sekolah maupun di rumah diwajibkan ada ijin dari Kepala Daerah, yang diberikan dengan syarat bahwa kondisi setempat tidak mempunyai keberatan. Dalam Lembaran Negara 1903 nomor 389 diganti dengan jika tidak menimbulkan gangguan tata tertib dan keamanan. Dalam Lembaran Negara 1912 nomor 286 ditetapkan bahwa yang bersangkutan harus membuktikan telah tamat sekolah rendah di negeri Belanda atau sekolah rendah dengan pengantar bahasa Belanda di Hindia Belanda. Ibid., hal. 61-62.
[10] Ibid.
[11] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925, Grafiti: Jakarta, 2000, hal. 190-191.
[12] S.L. van der Wal, Op. Cit., hal. 63.
[13] Ibid.
[14] Pasal 123 R.R. mengatur secara khusus pemasukan guru-guru agama Kristen, Pendeta dan Zendeling. Pasal 124 menempatkan guru agama orang Indonesia yang bukan Kristen di bawah pengawasan raja, bupati, dan pemuka masyarakat menurut agama yang dianut oleh mereka.
[15] S.L. van der Wal, Op. Cit., hal. 65.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ruth Mc Vey, The Rise of Indonesian Communism, Cornell University Press: Ithaca, New York, 1965, hal. 107-108.
[19] Sinar Hindia, tanggal 25 November 1921. Koleksi Perpusnas RI Jakarta.
[20] Sin Po, tanggal 14 Februari 1922. Koleksi Perpustakaan Sana Pustaka Kraton Surakarta.
[21] Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara I, Teplok Press: Jakarta, 2000, hal. 130.
[22] Sinar Hindia, tanggal 14 Februari 1922. Koleksi Perpusnas RI Jakarta.
[23] Soeara Ra’jat, tanggal 16 Februari 1922. Koleksi Perpusnas RI Jakarta.
[24] Sinar Hindia, tanggal 16 Februari 1922. Koleksi Perpusnas RI Jakarta.
[25] Sinar Hindia, tanggal 17Februari 1922. Koleksi Perpusnas RI Jakarta.
[26] Si Tetap No. 4 April 1926 dan No. 5 Mei 1926 dalam www.londoh.com
[27] Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara I, Teplok Press: Jakarta, 2000, hal. 129-133.