Penyakit Menular Seksual Pada Masa Kolonial Belanda

Beberapa hari yang lalu, tepatnya 1 Desember diperingati sebagai hari AIDS sedunia. Hari untuk merefleksikan, mengingatkan akan bahaya penyakit AIDS yang kabarnya belum ada obatnya. Penyakit ini menjadi momok bagi dunia kesehatan karena keberadaan penderitanya bagaikan gunung es yang puncaknya terlihat tetapi dasarnya yang luas tidak terlihat. Mengapa demikian? Karena AIDS adalah aib bagi sebagian masyarakat, ia kutukan dan ada juga anggapan karma karena disebabkan oleh orang yang sering melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, sehingga bagi mereka yang terjangkit penyakit ini menimbulkan rasa malu dan berusaha menutupinya. Semua orang dapat terjangkit penyakit ini dan resiko terbesar tentunya adalah para pekerja seks komersial.

Penyakit kelamin memang bukan sesuatu yang baru, sebelum AIDS muncul pada masa kolonial Belanda pemberantasan penyakit menular seksual gencar dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Literatur-literatur tradisional Jawa juga menyebutkan bagaimana penyakit ini menyerang para priyayi bangsawan yang sering melakukan aktivitas seksual dengan para pekerja seks komersial atau disebut Soendal, hal ini dapat kita temui semisal dalam Babad Jaka Tingkir dan Serat Centhini. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer yang menggambarkan ganasnya penyakit ini dalam Tetralogi Bumi Manusia-nya. Penyakit yang sering disebut “Raja Singa” (Syphilis) ini juga banyak menyerang masyarakat Hindia Belanda terutama para serdadu Belanda yang sering pergi ke tempat pelacuran. Pelacuran memang telah menjadi industri sejak masa lampau sehingga sangat sulit dihapuskan. Ia telah berpilin membentuk lingkaran setan dan negara ikut andil dalam maraknya pelacuran pada masa lampau.

Politik rasis kolonial Belanda, tekanan ekonomi masyarakat pribumi sehingga masyarakat pribumi menjual anak-anak gadisnya, perdagangan manusia terutama wanita (budak) menjadi titik awal munculnya praktek-praktek pelacuran ini, ditambah lagi bahwa kemajuan ekonomi Hindia Belanda pada masa Liberal (1870) yang bertumpu pada industri perkebunan telah membuka secara luas praktek-praktek pelacuran ini. Akibatnya adalah mewabahnya penyakit menular seksual ini di kalangan masyarakat luas. Pemerintah kolonial Belanda telah berusaha mencegah penyebaran penyakit ini melalui berbagai cara dari pelarangan praktek pelacuran, pengasingan para penderita penyakit ini hingga tindakan medis tetapi tidak berhasil mengurangi penyebaran penyakit ini. Hingga awal abad ke-20 tercatat 2000 serdadu terkena penyakit syphilis setiap tahunnya dan terdaftar 5000-6000 kasus penyakit menular lainnya.

Usaha masif pemerintah kolonial melalui berbagai pendekatan untuk menanggulangi penyebaran penyakit menular seksual memang tidak berhasil, sementara masyarakat mencoba menanggulanginya dengan obat-obat tradisional baik berupa jamu maupun obat tradisional milik tabib Tionghoa yang dijual bebas dipasar maupun diiklankan di media massa. Tak pelak lagi pencegahan dan penyembuhan penyakit ini memakan biaya yang mahal dan waktu yang panjang. [ Joko Prayitno - Phesolo ]


Tags: