Judul Buku : Keterlibatan Ulama di DIY pada Masa Perang Kemerdekaan Periode 1945-1949
Tim Penulis : Tashadi, Darto Harnoko, Nurdiyanto
Penyunting : Mohammad Iskandar
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan oleh : Proyek Peningkatan
Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta 2000
Edisi 2000
Dicetak oleh: CV. Putra Prima
Pendahuluan
Perlawanan oleh hampir seluruh lapisan
rakyat Yogyakarta periode 1945-1949 yang berhasil secara gemilang
menghadapi tentara Belanda dapat dikatakan sebagai suatu gerakan
revolusi. Dalam peristiwa ini, rakyat yogyakarta dan sekitarnya (DIY)
secara bersama-sama melawan tentara Belanda dan kenyataanya melibatkan
seluruh lapisan masyarakat. Fenomena yang muncul pada saat itu menjadi
bagian dari api semangat yang berkobar-kobar dalam perjuangan
Kemerdekaan Republik indonesia. Menurut anggapan umum revolusi adalah
gejala sejarah yang penuh gejolak, ledakan kekerasan, konflik sosial,
perjuangan politik, pendek kata segala sesuatu yang menimbulkan krisis
politik yang membawa disentegrasi orde sosial yang ada, serta merombak
stuktur kekuasaan sehingga melahirkan orde sosial politik baru.
Disinilah terletak makna revolusi sebagai tonggak sejarah yang menandai
akhir periode lama dan membawa suatu masyarakat keambang pintu zaman
baru.
Keberhasilan revolusi Indonesia tempo hari,
pada dasarnya bukanlah semata-mata produk kelompok tertentu, akan tetapi
merupakan usaha dan peran serta masyarakat secara luas yang diwujudkan
dalam segala bentuk kegiatan yang merupakan modal terjadinya revolusi.
Banyak kisah yang belum terungkap tentang
revolusi di tingkat lokal khususnya tentang keterlibatan ulama di DIY
pada periode 1945-1949. Konon kabarnya kaum ulama di DIY, memiliki peran
penting dalam revolusi rakyat itu siapa mereka, kaum ulama itu. Dalam
kajian ini pengertian ulama dimaksudkan tidak terkait pada agama
tertentu tapi berbagai tokoh agama yang mamiliki otoritas karismatik dan
mempunyai pengaruh yang kuat di lingkungan masyarakat. Mereka mampu
menggerakan masyarakat untuk keoentingan tertentu merupakan didalamnya
gerakan-gerakan politik melawn penjajah. Para ulama itu bahkan ada
kalanya memimpin secara langsung di medan perang. Namum kadang-kadang
juga dimintai nasihat-nasihat yang dapat menambah keyakinan para pejuang
dalam bertempur. Sebagai contoh KH. Turmudhi dari pesantren Beguron
Demak meminpin langsung 20 orang santri di medan pertempuran di Semarang
timur melawan tentara jepang sambil memberi komando maju dengan
teriakan Takbir “Allahu Akbar” dengan semangat kepahlawanan itu akhirnya
KH. Turmudhi gugur di medan perang.
Oleh karena itu orientasi penelitian ini
lebih menekankan bagaimana kemenangan dicapai,sampai seberapa kontribusi
ulama pada masa Revolusi phisik. Bagaimana hubungan ulama dengan laskar
laskar lain. Simbol simbol karisma apa yang dipakai untuk menggalang
kekuatan para pejuang. Kisah kisah tersebut hingga saat ini belum diulas
dalam peristiwa sejarah terutama pada periode revolusi phisik di
tingkat lokal.
BAB II
Mengenal situasi DIY pada awal kemerdekaan
Pada tanggal 17 agustus 1945 pukul 12.00
waktu Tokyo atau pukul 10.30 waktu jawa atas nama bangsa Indonesia teks
proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Moh
Hatta. Dengan pembacaan teks proklamasi itu tercapailah Indonesia
merdeka. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan janji janji Jepang
yang akan memberikan hadiah kemerdekaan.
Peristiwa itu menyebabkan pemerintah Jepang
segera membendung berita tersebut, gar tidak sampai meluas. Usaha
dilakukan secepat-cepatnya dengancara menjaga kantor pusat Radio di
Merdeka Barat nomor 4 dan 5 Jakarta. Dengan maksud agar tidak direbut
oleh pemuda Indonesia. Namun tidak berapa lam muncl sekelompok pemuda
dan mahasiswa dari Asrama Prapatan 10 yang dipelopori oleh Chairul
Saleh dengan maksud untuk merebut gedung siaran radio tersebut, dengan
tanpa persetujuan pemerintah jepang berita proklamasi tersebut segera
disiarkan ke penjuru tanah air.
Bersamaan dengan itu, para petugas kantor
berita DOMEI pusat Jakarta juga berusaha agar berita proklamasi itu
dapat disiarkan melalui “Morsecast Domei”. Berkat kerjasama yang baik
antara pemuda dengan para petugas yang ada di Kantor Berita, sehingga
berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebar keselurh
penjuru negeri bahkan luar negeri.
Bagi masyarakat Yogyakarta pada umumnya,
berita tidak dapat secara langsung diterima secara bersamaan. Tidak
hanya melalui kantor berita Domei saja cara penyebaran berita tersebut
melainkan melalui mulut ke mulut. Kebetulan peristiwa tersebut pada hari
jum’at sehingga berita proklamasi berhasil disampaikan kepada umat
islam yang baru selesai menjalankan shalat jumat di Masjid Besar Kauman
maupun Masjid Pakualam.
Demikian dengan masyarakat yang berada di
daerah Bantul dan wates Kulon Progo. Mereka mendengar berita proklamasi
kemerdekaan tersebut melalui siaran radio tanggal 17 agustus 1045 malam.
Sedangkan di wonosari Gunungkidul berita itu baru dapat didengar pada
keesokan harinya.
Setelah tersiar kabar proklamsi tersebut
maka militer Jepang memerintahkan atas Komando Tentara Serikat ntuk
menutup pemancar Hoso Kyoku Yogyakarta. Tindakan Jepang itu didasarkan
atas angapan bahwa dirinya masih bertangungjawab terhadap Sekutu untuk
merintangi bangsa Indonesia dalam menyempurnakan kemerdekaannya. Akibat
dari dihentikannya siaran radio dari Hoso Kyoku itu masyarakat menjadi
buta berita dan yang cukup menggelisahkan bangsa Indonesia adalah tidak
diketahui apa yang harus dilakukan setelah Indonesia diproklamasikan
sebagai Negara merdeka sejak tanggal 17 agustus 1945.
Namun demikian berita proklamasi itu menjadi
hangat dan meluas setelah bersama-sama Undang-Undang Dasar yang
ditetapkan pada tanggal 18 agustus 1945 dimuat dalam surat kabar harian
“Sinar Matahari” yang terbit pada tanggal 19 agustus 1945. Dengan
dimuatnya berita tersebut, maka bagi masyarakat luas menjadi jelas bahwa
Kemerdekaan Indonesia benar-benar diproklamasikan. Oleh sebab itu
rakyat di Yogyakarta tidak merasa ragu untuk berjuang, membela dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono IX bahwa
proklamasi kemerdekaan itu merupakan peristiwa yang membuka jalan untuk
melepaskan diri dari oenderitaan batin sekaligus menempuh jalan bebas
guna menentukan jalan nasib sendiri dikemudian hari. Begitu mendengar
berita Sri Sultan segera memanggil Sri Paduka Alam VIII dan KRT
Honggowonso, seorang staf senior di kepatiahan.
Kedua penguasa Yogyakarta mendukung dan
memberi selamat atas kemerdekaan dan terpilih menjadi presiden dan wakil
presiden kepada Ir. Soekarno dan Moh. Hatta di Jakarta melalui
telegram.
Selanjutnya Sultan mengundang seluruh
pimpinan kelompok pemuda di bangsal kepatihan guna menyambut jaman baru
yakni Indonesia merdeka. Mereka hadir mewakili golongan agama, golongan
nasionalis, kelompok kepaduan dan golongan keturunan cina yang
keseluruhannya mencapai 100 orang. Dalam pertemuan tersebut Sultan
berpidato dan memberi petunjuk mengenai arti sebuah kemerdekkan bagi
suatu bangsa. Yang isinya Sultan meminta para pemuda untuk menjaga
keamanan rakyat dan jangan sampai terjadi kerusuhan.
Ditempat lain, Yogyakarta Kooti Hookookai
mengadakan siding istimewa untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. Sidang
yang bertempat di gedung Sana Budaya itu mengambil beberapa keputusan,
yaitu:
- Melahirkan rasa gembira damn syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas lahirnya Negara Republik Indonesia
- Menyatakan dengan keyakinan seteguh-teguhnnya kepada Indonesia akan mengikuti dan tunduk tiap-tiap langkah dan perintahnya
- Mohon kepada Illahi agar Negara Indonesia berdiri kokoh teguh dan abadi
Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarka
amanat 5 September 1945. Secara tegas dinyatakan bahwa daerah Kesultanan
Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia dengan kedudukan
Daerah Istimewa. Adapun isi amanat itu secara keseluruhan memuat tiga
peryataan, yaitu :
AMANAT
Sri Paduka Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan :
- Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Repblik Indonesia
- Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat melalui surat ini berada di tangan kami dan kekuasaan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya
- Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Reublik Indonesia, bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia
Ngayogyakarta Hadiningrat
28 Puasa Ehe 1876
Atau 5-9-1945
Hamengku Buwono IX
Pada saat hampir bersamaan, yaitu hari
dan tanggal yang sama Sri Paku Alam VIII juga mengeluarkan amanat
serupa, isi dan kata-katanya persis sama untuk Praja Pakualam.
Kemudian Presiden mengutus menteri Negara
untuk datang ke Yogyakarta menyampaikan piagam “Piagam Kedudukan Sri
Sultan” dari Presiden Republik Indonesia. Adapun isinya sebagai berikut :
Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan :
Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku
Buwono Senopati Ing Ngalogo, Abdurachman sayidin Panatagama Kalifatullah
ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat pada kedudukannya,
dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan
segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan DaerahIstimewa
Yogyakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ttd
Ir. Soekarno
Begitu pula Presiden Republik Indonesia juga
menetapkan “ Piagam Kedudukan untuk Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Ario Paku Alam VII”.
Piagam tersebut berisi pengakuan
pemerintahan kepada Kasultanan Yogyakarta dan Pura Pakualam sebagai
bagian dari Republik Indonesia. Sekaligus memperkuat kedudukan Sultan
dan Paku alam dalam memimpin Yogyakarta.
BAB III
KONDISI DAN AKTIVITAS ULAMA DI DIY
PERIODE 1945-1949
Periode 1945-1949, dikenal sebagai masa
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kondisi dan aktivitas ulama di
Yogyakarta dan sekitarnya pada periode 1945-1949 yang aktif dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan antara lain ulama Islam, Katholik,
Kristen yang ditampakkan dalam wadah-wadah tempat ibadah baik itu
pondok pesantren bagi ulama Islam maupun di gereja bagi pendeta
Kristen-Katolik. Kondisi dan aktivitas para pemimpin ulama baik Islam
maupun Kristen-Katolik yaitu memberi siraman rohani bagi pemeluk
agamanya serta memberikan pegangan hidup bagi pemeluknya berkaitan
dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan serta membentuk kader-kader
pejuang yang dengan tulus hati sanggup mengusir dan menyirnakan
berbagai macam kedzaliman kaum kolonial.
Seruan kedua penguasa Daerah Istimewa
Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hemengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
untuk mempertahankan kemerdekaan mendapat sambutan positif dari kalangan
ulama islam, rokhaniawan Katholik dan Kristen, serta masyarakat.
Kedudukan nilai-nilai ajaran islam dalam
diri kyai sudah menjadi bagian dari hidupnya untuk beramal semaksimal
mungkin guna kemaslahatan umat, serta bernahi munkar melawan kedzaliman
dan penjajahan. Perasaan nasionalisme para kyai diperkuat oleh ajaran
islam itu sendiri sehingga mereka berjuang dan berkorban semata-mata
melaksanakan perintah Allah SWT. Dengan demikian islam juga telah
memainkan peranan penting dalam pembentukan jiwa dan semangat
nasionalisme kyai dengan mengembangkan ajarannya itu.
Islam sebagai ideologi, nilai, atau ajaran
yang selalu ditanamkan oleh para kyai kepada masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya umumnya yaitu sebagai berikut:
- Adanya ideologi perang sabilillah
seperti yang tertera dalam Al Qur’an. Hal tersebut mengajarkan tentang
perlawanan terhadap kedzaliman yang berupaya menghancurkan islam dan
pejuang yang meninggal dalam perlawanan tersebut berarti mati syahid.
- Adanya doktrin Amar Ma’ruf Nahi
Munkar. Ajaran ini mengajak kepada kebaikan dan melarang berbuat
kemunkaran, hal tersebut membangkitkan kesadaran rakyat yang telah lama
terjajah bergegas melawannya.
- Kebolehan berperang melawan penjajah sebagaimana firman Allah SWT yang memperbolehkan umat Islam memerangi penjajah.
- Adanya ajaran islam “Cinta Tanah Air
adalah sebagian dari iman”, hal tersebut besar artinya dalam
membangkitkan rasa patriotisme bagi seluruh rakyat Indonesia dan rela
berkorban dan berjuang jiwa raga demi
Selain itu semua, adanya lafadz Takmir
Perjuangan dalam Islam seperti lafadz Takbir “Allahu Akbar” yang juga
mampu membakar semangat rakyat dalam perjuangannya mengusir penjajah.
Didorong oleh ajaran-ajaran tersebut, rakyat mepunyai bekaldari seorang
Kyai untuk maju dalam medan perang tidak takut mati karena kematiannya
dalam perang melawan penjajah diyakini mati syahid.
Seperti diketahui bahwa sasaran-sasaran
utama kolonial Belanda waktu itu adalah umat islam, maka dalam
menghadapi pendudukan Belanda di Yogyakarta para tokoh keagamaan
memusatkannya di sekitar pesantren-pesantren. Hal ini disebabkan karena
kekuatan umat islam yang demikian besar dikoordinir oleh kyai akan lebih
mudah dilakukan dalam mengumpulkan massa maupun untuk menggerakkannya.
Faktor tersebut merupakan keistimewaan yang terdapat pada diri
masing-masing kyai, betapa kuat kepribadiannya sebagai seorang pemimpin
yang sangat berpengaruh di pesantren maupun dalam urusan-urusan sosial
kemasyarakatan lainnya. Seperti terbukti ketika ikut terlibat dalam
menggerakkan rakyat pada perang kemerdekaan di Yogyakarta.
Andil kyai dalam perjuangan revolusi di
Yogyakarta dan sekitarnya adakalanya memimpin secara langsung dalam
pertempuran maupun juga hanya diminta do’a-do’a dan nasehatnya sebelum
memasuki pertempuran.
Di daerah Gunungkidul pada awal proklamasi
Sri Sultan Hengku Buwono IX mengirimkan utusan ke Gunungkidul. Utusan
tersebut membawa titah agar dilakukan pendaftaran terhadap para kyai.
Isi titah tersebut antara lain untuk kyai agar berjuang dengan
kebatinan dan menjadi tameng para pejuang RI. Titah tersebut disambut
positif oleh para kyai. Hal ini terlihat ketika para kyai yang berkumpul
di kantor kabupaten dan secara spontan mendukung penuh titah Sri
Sultan.
Bagi ulama Kristiani, pada awal proklamasi
umumnya kehidupan gereja mendukung kemerdekaan dengan ditandai
berkibarnya bendera Merah Putih dalam khotbah-khotbah di Gereja
Kotabaru. Para pastor memberikan khotbah yang intinya menunjukkan bahwa
kecintaan mereka kepada bangsa dan tanah air. Bahkan gedung Seminari
yang semula dipakai sebagai kantir pemerintah Jepang, pada awal
kemerdekaan diserahkan kepada pemerintah RI dan ketika pusat
pemerintahan RI dipindah ke Yogyakarta tahun 1946 komplek gedung itu
menjadi kantor Departemen Penerangan dan Pertahanan. Pada periode
1945-1949, gereja-gereja Katholik di Yogyakarta banyak membantu para
pejuang bukan hanya dengan do’a-do’a namun juga bahan makanan seperti
ikan kering, gula, dan pakaian.
Begitu juga bagi Gereja Pugeran yang
merupakan gereja tua dari tahun 1934, pada masa revolusi phisik
mempunyai andil membantu para pejuang melalui usaha-usaha sosial dan
menyelamatkan masyarakat yang rumahnya terkena bumi hangus Kompeni.
Gereja ini juga pernah dipakai sebagai tempat penghubung rahasia antar
para gerilyawan Perang Kemerdekaan RI yang bergerak di dalam dan luar
Yogyakarta.
Selanjutnya kehidupan dan aktivitas gereja
Kristen beserta umatnya periode 1945-1949 juga memberikan andil yang
cukup berarti bagi perjuangan bangsa. Gereja-gereja Kristen beserta
umatnya pada periode tersebut mulai bangkit kembali untuk membenahi
dirinya termasuk juga Jemaat Kristen Jawa Sawo Kembar Gondosuman.
Usaha-usaha untuk mengembangkan pemberitaan injil mulai digiatkan
kembali. Bahkan ditengah-tengah gejolak revolusi gereja Kristen Jawa
Sawo Kembar ini tetap melaksanakan tugas kewajibannya dalam bidang
pembinaan kehidupan rohani.
Pendeta gereja Kristen di Sawo Kembar pada
awal proklamasi yaitu Darmoatmodjo dan Wiyoto Harjotaruno. Dalam
khotbahnya kedua pendeta tersebut mensosialisasikan pentingnya
kemerdekaan bangsa Indonesia. Isi khotbah yang dikaitkan dengan
proklamasi selalu dikaitkan pula pada injil yaitu “hormatilah segala
kekuasaan pemberin Tuhan”. Orang beriman harus percaya bahwa kekuasaan
yang ada sekarang adalah pemberian Tuhan. Pada kegiatan
sosialisasinya,Pendeta Wiyoto Harjotaruno mensosialisasikannya dengan
penuh semangat terjun ke kampung-kampung.
BAB IV
Keterlibatan Ulama di DIY pada Masa Revolusi Phisik 1945-1949
Pada awal tahun 1945 suasana kota jogjakarta
diliputi oleh nyalanya api revolusi rakyat yang bertekad untuk
menurunkan bendera jepang hinomaru di gedung pemerintahan jepang diganti
dengan bendera merah putih. Dari jaman dahulu para kaum ulama di
jogjakarta sudah gigih berjuang melawan penjajah terlebih sebelum
proklamasi kemerdekaan RI. Dari kisah pertempuran Kota Baru 7 otober
1945, keterlibatan para ulama islam yang tergabung dalam BKR, BPU, dan
Polisi Istimewa, tidak bisa dipungkiri dalam sejarah. Mereka banyak
tercatat sebagai syuhada yang gugur dalam medan perang.
Gema kemerdekaan yang dikumandangkan pada
tanggal 17 agustus 1945 segera sampai ke jogjakarta, dan dengan segera
pula keluar maklumat kedua sri paduka (sultan hamengku buwana IX dan
Paku Alam VIII) yang memerintahkan kepada para pejuang yang telah
bergabung dalam menghadapi setiap usaha pendudukan kembali wilayah
Yogyakarta. Seruan dari kedua penguasa Yogyakarta tersebut ternyata
mendapat sambutan positif dari kalangan pejuang umat islam. Hal ini
ditandai dengan munculnya berbagai wadah perjuangan yang lahir di tiap
tiap kampong dan masjid, yang terdiri dari mereka yang dulunya aktif
dalam badan badan pendidikan militer Jepang (Keibodan, seinendan,Heiho,
Peta,Hisbullah), misalnya barisan pemuda kauman, Prawirotaman,
suronatan, Pakualaman dan sebagainya. Wadah perjuangan ini dipelopori
oleh para mantan Daidaco, Peta yang telah dibubarkan dan dilucuti
persenjataannya oleh Jepang.
Dalam usaha mendukung keberhasilan perebutan
senjata di kota baru, penting untuk dipersiapkan adalah masalah
pengerahan masa. Mengingat lawan yang aka dihadapi merupakan tentara
inti Jepang. Kekuatan massa rakyat merupakan modal yang besar artinya
bagi mengusir penjajah Jepang serta memaksa mereka untuk menyerahkan
kekuasaannya.
Dalam rangka membantu tugas mengerahkan
massa, faridan Noto dibantu oleh Oemar Slamet (tentara Peta). Hanya saja
oemar slamet diberi tugas untuk menghubungi pihak pemerintah desa yang
ada di sekitar kota baru untk membamtu memberikan menjelasan kepada
rakyatnya. Serta membantu persiapan sarana dan prasarana yang
dibutuhkan. Mangkoediningrat sebagai pamong praja danuredjan,
mengisahkan bahwa dia diberi tugas oleh Oemar Slamet untuk mengerahkan
rakyat Danuredjan dengan membawa persenjataan apa adanya. Dia juga
diminta meminjam truk yang ada di pabrik paku Klitren untuk mengangkut
masa pemudayang ada di Kotagede dan Umbulharjo.
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk
berjuang di jalan Allah(jihat fi sabilillah) tidak hanya mengorbankan
jiwa, tetapi juga tidak kalah pentingnya adalah berjuang dengan harta.
Karena umat islam disamping dituntut untuk mengabdi kepada Allah dengan
beribadah kepadaNya juga dituntut untuk memenuhi kebutuhannya sebagai
manusia yang hidup didunia dengan jalan berusaha agar kebuthannya
tercukupi.
Peristiwa pertempuran Kotabaru yang terjadi
pada tanggal 7 oktober 1945 tidak hanya menggerakan kaum laki-laki untuk
berjuang melawan tentara Jepang di Kotabaru, tetapi juga tidak
ketinggalan dengan dari peran para wanita. Para wanita yang juga istri
dari pejuang dengan dibantu oleh para pemudinya tersebut bertugas
berjaga dibelakang guna menyediakandan menyiapkan bahan makanan yang
diberikan kepada para pejuang. Para wanita yang bertugas dalam dapur uu
tersebut, banyak diambil dari waita-wanita dan para pemudi yang aktif di
kelompok-kelompok pengajian serta aktif dalam organisasi Persatuan
Wanita Indonesia.
Demikian perang di Kotabaru dilatarbelakangi
oleh sebuah keinginan rakyat Yogyakarta untuk segera mengusir
pemerintah pendudukan jepang di Yogyakarta. Para pejuang Islam banyak
berperan di dalamnya dengan ikhlas mengorbankan jiwa dan raganya demi
semangat jihad fi sabilillah dan didorang jiwa patriotisme yang tinggi
terhadap tanah air tercintanya.
Melalui BPKNIP direncanakan bahwa
penyerangan akan dimulai tepat pada pukul 03.00 dinihari, dan sebagai
tanda dimulinya penyerbuan adalah apabila sudah ada bunyi granat dan
pemadaman listrik di lingkunagn markas Butai Kotabaru. Begitu pula
melalui BKR telah diatur penempatan pasukan masing-masing arah sekitar
markas Jepang serta beberapa orang yang bertugas sebagai memadamkan
listrik. Pertempuran fisik antara para pejuang Yogyakarta dengan pihak
Jepang akhirnya tidak bisa dikendalikan lagi.
Keberhasilan para pejuang Yogyakarta merebut
merebut senjat Jepang dalam pertempuran Kotabaru, disamping menambah
kekuatan persenjataan bagi para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia dari usaha penjajahan kembali bangsa asing,
keberhasilan pertempuran ini juga menambah semangat berjuang bagi
pejuang untuk terus melakukan aksi-aksi pelucutan senjata pemerintah
militer Jepang yang ada di Yogyakarta maupun yang ada di Yogyakarta.
Usulan pihak BPKNI Yogyakarta ini akhirnya
diterima pihak BPKNIP dengan memilih Yogyakarta sebagai wilayah yang di
anggap memiliki kekuatan dalam menghadapi kemungkinan serangan pihak
Belanda. Mengingat para pejuang Yogyakarta telah menunjukan
keberhasilannya dalam perjuangan kenerdekaan RI. Pemindahan pusat
pmerintahan Republik Indonesia ke Jogyakarta ini dilakukan pada tanggal 4
Januari 1946.
Untu periode erikutnya nampak keterlibatan
ulama semakin besar peranannya dalam usaha mempetahankan kemerdekaan.
Hal ini terlihat dari terbentuknya Asykar Perang Sabil dan Badan
Perjuangan Markas Ulama Asyar Perang Sabil (MUAPS) yang pembentukannya
pada tanggal 23 juli 1947.
Pada masa agresi militer Belanda II, di mana
seluruh kota Yogyakarta sudah dikuasai, perjuangan TNI bersama rakyat
yang tergabung dalam APS saling bekerja sama. Sejak adanya pengumumuman
pemerintah tentang situasi Yogyakarta dan tindak lanjut yang harus
diakukan oleh seluruh pasukan, maka imam MUAPS mulai memerintahkan
kepada pengikutnya untuk bergabung dengan pasukan TNI.
Konflik TNI dengan bangsa belanda maupun
antara TNI dengan PKI menyadarkan ulama Islam yang tergabung dalam badan
perjuangan MUAPS untuk menyusun kekuatan guna membantu TNI dalam
menghadapi musuh tersebut.
4.1 Masa Agresi Belanda I
Situasi menjelang pertengahan tahun 1947
ternyata semakin menjurus kepada sikap dan tuntutan ultimatum dari pihak
Belanda kepada pemerintahan RI tertanggal 27 Mei 1947. Ultimatum itu
berisi tentang pemerintahan bersama, uang bersama, impor-ekspor bersama,
devisa bersama. Pada prinsipnya semua partai politik menolak ultimatum
tersebut, namun perdana Menteri Syahrir dengan terpaksa menyanggupi
ultimatum tersebut.
Pada tanggal 21 July 1947 Belanda
melancarkan agresi kolonialnya di Indonesia, spontan mendapat sambutan
dari pemerintah RI melalui jalur militer untuk berjuang melawan tindakan
Belanda. Mendengar pesan tersebut para anggota APS merasa terpanggil
untuk turut serta berjuang melawan Belanda.
Dalam jangka waktu singkat, MUAPS segera
mengirimkan pasukan bersenjata Laskar Perang Sabil ke front pertempuran.
Markas APS yang pada waktu itu berada di Tegal Layang juga mengirimkan
satu pasukannya, yang berhasil bergabung dengan kekuatan lainnya melawan
Belanda. Pada tanggal 31 July 1947 diputuskan bahwa pasukan bersenjata
APS ditempatkan diperbatasan Kebumen yaitu di daerah Grabag sebelah
timur kecamatan Pingit. Tentara resmi dan pasukan bersenjata APS bekerja
sama mengadakan pertahanan di pegunungan Ngrancak Ambarawa ke timur
sampai desa Tirto.
Setelah badan perjuangan MUAPS dan pasukan
bersenjata APS berdiri secara resmi, maka ulama yang berperan sebagai
imam dalam struktur organisasi MUAPS mulai menyusun kekuatan dengan
melatih anggotanya di halaman Masjid besar dan di Alun-alun Utara
Yogyakarta. Setelah satu minggu baik latihan militer maupun latihan
mental berlangsung, MUAPS mulai mengirimkan pasukan bersenjata APS ke
front pertempuran. MUAPS mengirimkan satu kompi pasukan bersenjata APS
ke daerah Mranggen dengan komandan kompi KH. Juraimi dengan didampingi
KH. Hadjid sebagai imam. Adapun satu kompi pasukan bersenjata APS cabang
sleman dibawah komandan kompi Badri didampingi KH. Abdurrahman sebagai
imam ikut berpartisipasi melawan Belanda. Setelah sampai di Mranggen
pasukan bersenjata APS mengadakan pembagian tugas: pasukan bersenjata
APS yang ada dibawah komandan KH. Juraimi mengadakan pertahanan di
daerah Mranggen sebelah timur, sedangkan pasukan bersenjata APS yang ada
dibawah komandan Badri mendapat tugas untuk mengadakan pertahanan di
daerah Mranggen sebelah selatan.
Daerah pertahanan yang telah dibentuk oleh
pasukan bersenjata APS ternyata diketahui Belanda. Oleh karena itu,
Belanda melancarkan serangan ke daerah pertahanan pasukan bersenjata
APS. Serangan ini berlangsung selama beberapa hari karena pasukan APS
sangat kuat dalam menghadapi serangan Belanda. Bahkan pada hari-hari
ketika pertempuran semakin memuncak, MUAPS menambah kekuatan dengan
mengirimkan satu kompi pasukan bersenjata APS dibawah komandan M.Bachron
Edrees yang didampingi K.Abdurrahman dan K.Amin untuk membantu pasukan
bersenjata APS dalam menghadapi serangan Belanda. Pertahanan pasukan
bersenjata APS di daerah perbatasan Kebumen berakhir hingga awal Bulan
Desember 1948.
4.2 Peranan Ulama Dalam Penumpasan Pemberontakan PKI Pada Tahun 1948
Situasi politik setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diwarnai dengan pertentangan
antara perjuangan bersenjata dan diplomasi. Hal ini disebabkan strategi
yang digariskan para pemimpinnya selalu memperhitungkan faktor internal
yaitu interaksi golongan-golongan pada satu pihak, dan faktor eksternal
yaitu konstelasi internasional yang tersusun oleh hubungan antar
nasion-nasion.
Perjanjian Renville yang ditandatangani pada
tanggal 17 Januari 1948 oleh Amir Syarifuddin mengakibatkan krisis
kabinet-kabinet dengan ditariknya wakil-wakil Masyumi dari kabinet Amir
Syarifuddin dan diikuti oleh PNI yang menuntut dibubarkannya kabinet
Amir Syarifuddin. Perpecahan antar golongan kanan dan golongan kiri
semakin memuncak setelah dibubarkannya kabinet Amir Syarifuddin dan
dibentuknya kabinet Hatta yang tidak mengikutkan golongan kiri. Oleh
karena itu, Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada
tanggal 26 Februari 1948 di Surakarta yang anggotanya terdiri atas
partai-partai seperti PKI, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia
dengan tujuan untuk menyusun kekuatan menentang Kabinet Hatta.
Pertentangan antara FDR dengan golongan
kanan semakin memuncak dan diwujudkan dalam pertentangan fisik di
Surakarta dan mencapai puncak dalam pertentangan fisik di Madiun.
Tindakan ini dilakukan untuk mencapai cita-cita FDR untuk menggulingkan
kekuasaan pemerintah Republik Indonesia, walaupun dengan segala cara.
Puncak dari kekerasan yang dilakukan FDR baik terhadap pemerintah sipil
maupun terhadap pemerintah militer Indonesia mendapat perlawanan yang
keras pula dari TNI dan masyarakat pada umumnya serta pasukan bersenjata
APS pada umumnya.
Pada bulan september 1948 pasukan bersenjata
APS yang dikirim ke front menghadapi gerakan PKI berjumlah satu
batalyon dibawah pimpinan Bachron Edrees. Dalam menghadapi gerakan PKI
di daerah Grobogan, Pati, dan Kudus pasukan bersenjata APS bergabung
dengan batalyon Kemal Idris dan batalyon Kusno Utomo dari TNI. Adapun
32 pasukan bersenjata APS yang ada dibawah pimpinan M. Djihaur Suhaimi
dan diikuti imam APS K.Dihar dan K.Dimyati diberangkatkan dari
Kulonprogo menuju Ponorogo. Pada waktu mempertahankan pondok pesantren
ponorogo, seluruh pasukan APS berhasil menyelamatkan diri dan
selanjutnya melanjutkan perjalanannya hingga di daerah Gorang Gareng. Di
Gorang gareng pasukan ini menggabungkan diri dengan pasukan bersenjata
APS dibawah pimpinan Ir. Sofyan yang telah dikirimkan MUAPS untuk
menambah kekuatan. Selanjutnya pasukan bersenjata APS didalam melawan
serangan PKI menggabungkan diri dengan TNI Batalyon Darsono.
Pada bulan November pasukan bersenjata APS
kembali ke Yogyakarta. Pembasmian pemberontakan PKI Madiun belum tuntas,
namun diperkirakan dalam waktu dekat akan dapat terselesaikan, paling
tidak PKI saat itu sudah terdesak hebat dan tidak dapat melakukan
perebutan kekuasaan. Peranan yang cukup menentukan dilakukan oleh
pasukan bersenjata APS turut andil dalam penumpasan PKI Madiun, itu
direalisasikan dengan pengiriman beberapa anggota pasukan ke dalam
berbagai kegiatan penumpasan PKI Madiun.
Kabupaten Bantul yang merupakan daerah
pelarian orang-orang PKI Madiun tidak terhindar pula dari pertempuran
dengan pasukan APS. Menurut rencana yang disusun PKI, Bantul adalah
sasaran yang akan diserbu pada tanggal 26 September 1948. Namun rencana
tersebut dapat terbongkar dan para tokoh-tokoh penting PKI segera
ditangkap oleh pemerintah.
Tindakan yang diambil oleh pasukan APS
mendapat sambutan positif dari masyarakat, yang mayoritasnya beragama
islam. Doktrin-doktrin komunis yang pada dasarnya anti agama, sangat
bertentangan dengan apa yang selama ini mereka anut dan laksanakan.
Berkat dukungan masyarakat terhadap pasukan APS maka antek-antek PKI
berikut ajarannya dapat ditumpas.
4.3 Peranan Ulama Dalam Agresi Belanda II
Setelah pemberontakan PKI Madiun berhasil
ditumpas, Belanda melancarkan serangannya yang kedua dalaam usahanya
untuk mengambil alih kembali kekuasaannya di Indonesia. Hal ini
disebabkan persetujuan Linggarjati dan persetujuan Renville yang
ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan pihak Belanda tidak dapat
berjalan baik, bahkan mengakibatkan konflik berkepanjangan bagi kedua
belah pihak. Pihak Belanda selalu mengingkari hasil konsensus dari
persetujuan itu dan puncak dari sikap Belanda terjadi pada tanggal 18
Desember 1948 ketika pihak Belanda melalu Dr.beel menyatakan kepada
delegasi Republik Indonesia dan Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa Belanda
tidak lagi mengakui dan terikat pada persetujuan Renville yang telah
ditandatanganinya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda
melancarkan aksinya yang ditujukan ke Ibukota Yogyakarta melalui pasukan
lintas udara. Dengan serangan ini Belanda berhasil menduduki lapangan
udara Maguwo dan selanjutnya bergerak dari tempat itu menuju kota
Yogyakarta. Pada akhirnya, Belanda berhasil menguasai kota Yogyakarta
dan berhasil menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, serta
pemimpin Indonesia lainnya.
Melihat keadaan seperti itu Ulama Yogyakarta
termasuk Ulama Kristen, Katolik dan Islam tergabung dalam MUAPS segera
menyusun kekuatannya kembali untuk mengadakan perang gerilya. Semangat
untuk melawan serangan yang dilancarkan pasukan Belanda itu didasarkan
pada keyakinan bersama untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Adanya keyakinan bersama untuk tetap mempertahankan kemerdekaan bangsa
Indonesia yang dilandasi dengan semangat keagamaan itu menyebabkan Ulama
di daerah istimewa Yogyakarta mampu menyusun kekuatan kembali.
4.3.1. Peranan Ulama Yogyakarta Pada Masa Agresi Belanda II
Timbulnya gerakan umat islam Yogyakarta yang
tergabung dalam badan perjuangan MUAPS pada masa Agresi Belanda II
dimulai dengan adanya peristiwa serangan yang dilancarkan bangsa Belanda
di lapangan udara Maguwo. Pada tanggal 19 Desember 1948 pagi hari,
pasukan Belanda secara mendadak menyerang lapangan Udara Maguwo dengan
mengirimkan pasukan lintas udara yang menggunakan pesawat terbangnya.
Ketika pasukan Belanda telah menduduki
lapangan udara Maguwo, para Ulama Yogyakarta yang tergabung dalam MUAPS
berunding di markasnya yaitu di depan Masjid Besar Yogyakartadan di
Jalan Ngabean. Para Ulama yang merundingkan situasi dan kondisi saat itu
dan rencana yang akan dilanjutkan selanjutnya jika para Ulama berjuang
mempertahankan Indonesia adalah: KH. Mahfudz, KH. Badawi, KH. R. Hadjid,
M. Sarbini, dll. Perundingan ini menghasilkan suatu konsensus untuk
menyusun kekuatan kembali setelah kekuatan menjadi lemah karena
digunakan untuk menghadapi pemberontakan PKI dan sementara menunggu
pengumuman dari pemerintah.
Pengumuman pemerintah yang ditunggu-tunggu
akhirya dikeluarkan Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai pucuk
pimpinan TNI. Ia mengeluarkan perintah kilat No. 1/PB/48, yang isinya
memerintahkan kepada semua jajaran Angkatan Perang Republik Indonesia
agar menjalankan perang gerilya sesuai dengan rencana yang telah
dipersiapkan.
Pada tanggal 20 Desember 1948 pasukan
Belanda melanjutkan aksinya sebagaimana yang terjadi pada hari
sebelumnya. Jumlah mereka yang melancarkan serangan di kota Yogyakarta
semakin banyak. Mereka melancarkan serangannya dengan menembaki dan
menghancurkan beberapa tempat yang menjadi sasarannya. Tindakan ini
memancing kemarahan rakyat dan pasukan bersenjata APS yang dalam keadaan
perang berusaha melarikan diri menghindari serangan yang dilancarkan
pasukan Belanda. Dalam waktu yang singkat pasukan bersenjata APS dapat
menyusun kekuatan kembali untuk mengadakan serangan balasan pada malam
hari dengan mengadakan pertahanan di sekitar kampung Karangkajen.
Pertempuran yang dilakukan pada setiap malam hari dalam minggu pertama
setelah Belanda menduduki kota Yogyakarta ini mengakibatkan gugurnya
lima pasukan bersenjata APS.
Selain itu, pondok pesantren Krapyak juga
mempunyai peranan yang cukup besar dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Pondok pesantren yang waktu itu berada di bawah
asuhan KH.Abdullah Affandi dan KH. Abd.Qodir itu menghentikan aktifitas
pesantrennya dan mengungsi untuk menggabungkan diri dengan kesatuan
Komaruddin. Para Kyai dan seluruh santri pesantren berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya bagaimana peranan Ulama kristen
dan katolik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia? Hal ini nampak
ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948.
Keterlibatan rohaniawan katolik dan pendeta kristen yang banyak membantu
gerilyaawan TNI. Hal ini dapat dilihat pada Gereja katolik di Kidul
Loji dan Bintaran. Secara tak langsung, kedua gereja ini telah membantu
penduduk untuk pengungsian dan memberikan pertolongan kepada para
pejuang yang terkena tembakan dan juga menyediakan bahan makanan.
Selanjutnya, keterlibatan umat kristen
beserta Gereja Kristen Jawa pada waktu itu juga nampak, terutama Gereja
Kristen Jawa Sawo Kembar Gondokusuman. Gereja ini mempunyai sebuah
organisasi yang bernama PEL KRIMA (Pelajar Kristen Mataram), yang
berperan besar sekali dengan aktif ikut dalam pertempuran. Tak hanya
itu, pendetanya pun sangat berperan dengan memberikan siraman rohani di
Gereja, dan mengobarkan semangat dalam setiap khotbahnya.
4.3.2 Keterlibatan Ulama di Daerah Kulonprogo pada masa Perang Kemerdekaan.
Zaman penjajahan Belanda, kabupaten
Kulonprogo terbagi dalam dua kabupaten, yaitu Kabupaten Adikarto dengan
ibukota di Wates (termasuk wilayah Kasultanan Yogyakarta) dan Kabupaten
Kulonprogo dengan ibukota di Sentolo (termasuk wilayah Pakualaman).
Setelah lahirnya UU No. 18 tahun 1951 yang mengatur tentang perubahan UU
No.15 tahun 1950 maka kedua kebupaten tersebut di gabung menjadi
Kabupaten Kulonprogo dengan ibukota di Wates. Kabupaten Kulonprogo
terletak di 35 km sebelah barat Yogyakarta. Nama Kulonprogo berarti
sebelah barat sungai Progo. Kulonprogo sebelah selatan berbatasan dengan
Samudra Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo,
senelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan sebelah timur
berbatasan dengan sungai Progo.
Letak geografis kulonprogo terdiri dari
dataran rendah dan berbukit-bukit. Mata pencaharian masyarakatnya
sebagai petani, di musim kemarau pertanian masih tercukupi air dengan
adanya system irigasi sehingga mampu mengairi tanah persawahan. Berdasar
letak geografis ini Kulonprogo berperan sebagai tempat pertahanan dan
daerah gerilya dengan didukung oleh masyarakatnya yang ramah dan
mempunyai rasa solidaritas yang tinggi dan gotong royong yang masih
kuat. Mereka memegang erat tradisi budaya jawa. Sikap, tingkah laku dan
tata karma pun masih asli belum tercemar oleh budaya luar. Hubungan
horizontal di wujudkan sikap dan semangat jiwa gotong royong yang
mengakar dalam masyarakat. Perilaku ramah tamah, sopan, suka menolong
merupakan cirri khusus yang masih melekat pada masyarakat Kulonprogo
yang merupakan modal paling besar dalam revolusi.
Selain itu dalam masyarakat masih lestari
hubungan vertical sehingga rakyat sangat mudah di gerakkan melalui
pimpinan formalnya. Sikap hormat, loyal, dan ketaatan serta kepatuhan
rakyat terhadap pimpinan merupakan modal utama juga selain yang di
sebutkan di atas tadi. Karena dengang begitu sangat memudahkan bagi
pemimpin untuk mengkoordinasi bawahan ataupun rakyat.
Belanda melancarkan serangan secara mendadak
di Yogyakarta dan sekitarnya pada 19 Desember 1948, maka sejak itu
seluruh wilayah Provinsi DIY menjadi ajang pertempuran dan perjuangan.
Tetapi Belanda selalu mengirimkan patrolinya untuk mencari markas
pasukan gerilyawan TNI. Untuk itu, ulama cabang Kulonprogo menyusun
kekuatan untuk menghadapi serangan mendadak Belanda.
MUAPS bekerja sama dengan Komando Distrik
Militer IV (KDM IV) yang wilayahnya di seluruh Kabupaten Adikarta dan
KDM V yang wilayahnya dareah kebupaten Sentolo. MUAPS membantu
mengusahakan penyediaan logistic, menjaga keamanan wilayah, membuat
rintangan dan menahan gerak maju Belanda. Salah satu taktik MUAPS adalah
dengan politik bumi hangus yang tujuannya agar bangunan-bangunan
penting tidak dapat dipergunakan untuk pos-pos pasukan Belanda.
Di daerah Kulonprogo terdapat perusuh yang
menggarong dan menggedor rumah-rumah penduduk yang di tinggal mengungsi.
Sehingga para perampok dapat mempergunakan kesempatan mengambil barang
penduduk. MUAPS berusaha menghancurkan gerombolan perampok tersebut
melalui pasukan bersenjata dari Yogyakarta, yaitu APS. Ditengah usaha
MUAPS untuk menghancurkan perampok, pasukan APS juga berusaha
menghancurkan pasukan Belanda yang masuk Kulonprogo pada 27 Desember
1948. Perjuangan MUAPS dalam mengusir pasukan Belanda tidak berhenti
sebelum Belanda mengakui kemerdekaan negara Republik Indonesia.
Gerakan pasukan Belanda memasuki Kulonprogo dapat di bedakan menjadi dua macam, yaitu :
- Gerakan Belanda di bagian utara melewati Jembatan Kalisudu.
- Gerakan Belanda di bagian selatan melewati Jembatan Bantar. Pada waktu Belanda mendirikan pos di Jembatan Bantar, MUAPS berusaha menghancurkan pos pertahanan tersebut.
Di Kulonprogo selain ulama Islam,
keterlibatan umat Katholik dan Kristen juga ikut membantu gerilyawan TNI
baik sebagai Palang Merah Indonesia maupun sebagai penyedia lauk pauk.
Pada masa Agresi Militer Belanda II, keadaan Yogyakarta sampai Muntilan
sangat genting. Berbagai pertempuran di sekitar daerah tersebut banyak
menelan korban jiwa, disinilah peran umat Krsitiani terlihat.
[Sumber: Yudith Adhitya ]
Posting Komentar
0Komentar