Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan

0
Judul Buku : Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
Penulis : Ahmat Adam
Tahun Terbit : 2003
Penerbit: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu Perwakilan KITLV- Jakarta
Penerjemah: Amarzan Loebis, Mien Joebhaar
Editor : Eko Endarmoko, Jaap Erkelens
Percetakan: PT Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Percetakan di indonesai bermula pada kedatangan belanda. Pertumbuhanya sejajar sengan konolialisme Belandha. Sejarahnya dimulai ketika (VOC) menyadari manfaat pers mencetak aturan hukum termuat dalam maklumat resmi pemerintah. Pengenalan percetakan diprakarsai oleh para misionaris Gereja Protestan Belanda untuk menerbitkan literatur Kristen dalam bahasa daerah untuk keperluan penginjilan.
Pada tahun 1831 muncul surat kabar partikelir yang pertama. Kehadiran surat kabar swasta yang terlambat ini mungkin akibat dari sedikitnya orang di Hindia Belanda yang bisa membaca. Karena itu percetakan misionaris menjadi satu-satunya percetaka non pemerintah yang bergiat dalam cetak-mencetak selama abad ke-18.

Menjelang pertengahan abad ke-19, perhatian misionaris dibidang percetakn melebar ke penerbitan surat kabar dalam bahasa anak negeri. Lembaga misionaris aktif mencetak buku-buku keagamaan dan kepustakaan gereja pada umumnya, dan baru pada paruh abad ke-19 masuk ke dunia penerbitan surat kabar. Betapapun prioritasnya misionaris adalah menyebarkan penerbitan keagamaan dan buku-buku pendidikan untuk sekolah misi mereka.

Sebelum 1856, tidak kurang dari 16 surat bakar, baik yang diterbitkan pemerintah maupun swsata muncul di Hindia Belanda. Dari sekian banyak itu, sepuluh dimiliki swasta. Terdapat pula lima penerbit bekala. Bulanan Tijdschrift voor Nederlandsch-indie adalah terbitan berkala pertama yang dipublikasikan di Hindia Belanda.

Semua surat kabar berkala  yang terbit sebelum 1855 menggunakan bahasa belanda. Upaya pertama memperkenalkan bentuk pendidikan barat kepada penduduk pribumi dilakukan oleh para misionaria, didalam karya penginjilan mereka, dengan mendirikan sekolah-sekolakh yang mengajarkan dan menulis dalam aksara Arab Melayu dan Rumi. Hingga 1850, perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya sebatas  terbatas pada pribumi Kristen dan Melayu (Manual, 1918;139)

Perkembangan surat kabar berbahasa anak negeri pada paruh abad ke-19 adalah komunitas Indo atau Indo-Eropa.Seperti peranakan Tionghoa, komunitas Indo ini lahir dari perkawinan campur atau pergendakan dengan perempuan pribumi.
Pada dasarnya, UU Percetakan atau Drukpersreglement itu bertujuan mengintimidasi dan mengekang Pers yang baru mulai bangkit. UU dirancang untuk melumpuhkan kritik terhadap pemerintah kolonial melelui cara-cara preventif dan represif. Inilah latar belakang yang menunbuhkan dan mengembangkan pers berbahasa anak negeri d Indonesia.

Menjelang awal 1870-an, pers dalam bahasa anak negeri telah ,meneguhkan pijaknya di kota-kota penting di jawa dan luar jawa. Pada awal terbit sejumlah sirat kabar dan penerbitan berkala yang mencerahkan dengan kecenderungan bahasa dan sasrta, yang dipimpin oleh orang belanda dan indo, sedangkan pada tahun 1860-an dan 1870-an pers yang berkembang lebih bersifat komersil dan berorentasi misi. Selama periode ini pertumbuhan dan ekspansi pers berlangsung lebih cepat di kota-kota pesisir , yakni kawasan pemukiman para pembaca multirasial, dan lingkungan urban cosmopolitan. Di kota-kota Bandar pula ragam bahasa melayu rendah berkembang dan menjadi medium pers, kendati bahasa jawa tetap berfungsi sebagai bahasa sejumlah surat kabar yang terbit di Vorstenlanden (yogjakarta, dan Surakarta).

Pada tahun 1870-an dan sesudahnya akan memetakan perkembangan baru pers berbahasa anak negeri. Pentingmya pertumbuhan ini kini ditandai tidak hanya oleh bertambahnya jumlah penerbit dan editor, tetapi juga oleh minat yang diperlihatkan pembaca dari berbagai  latar belakang . perkembanganya di masa depan akan tergantung tidak hanya pada upaya penerbit belanda dan editor indo, tetapi juda pada partisipasi golongan tionghua peranakan dan orang Indonesia. Namun para editor indolah yang pertama-tama menunjukan cara mengelola surat kabar dan mengunakannya sebagai agen perubahan social.

Sejarah pers berbahasa daerah di Indonesia dimulai ketika mingguan berbahasa jawa, Bromartani, meluncurkan penerbitan perdananya pada 25 januari 1855. Dimana  surat kabar tersebut terbit setiap kamis dari percetakan hartevelt di Surakarta. Bromartani lahir di tengah pengharapan yang besar akan liberalism pers hanya setahun sebelum UU Pers 1856 diperkenalkan. Bromartani ,poespitamantjawarna mungkin juga bias dikategorikan sebagai penerbitan idealis, dengan muatan sastra dan pendidikan yang bertujuan menyajikan semacam dorongan belajar bagi pribumi Indonesia.  Baik bromartani maupun poespitamantjawarna mengunakan bahasa karma inggil,ragam bahasa jawa tingkat tinggi. Ini tentu bukan suatu yang luar biasa karena keduanya terbit di Surakarta.

Periode antara 1855 dan 1860 menandai fase pertama sejarah pers di Indonesia. Itulah periode eksperimentasi bagi para penerbit yang giat mendirikan pers dan lahan ujinya adalah Surakarta, Surabaya, dan Batavia. Pada periode itu terbit 3 surat kabar mingguan dan dua penerbit berkala. Kendati semuannya berusia singkat dan keberadaanya didera oleh sedikit pelanggan, potensi pers itu untuk menentukan “rumah” nya di kota-kota provinsi tak bias diabaikan, terlebih jika pendidikan lebih tersebar di antara penduduk asli hindia. Pertumbuhan sekolah dan pusat pendidikan guru pada dasawarsa berikutnya ternyata menunjang pertumbuhan pers dalam bahasa anak negeri di hindia belanda.Pertumbuhan pers berbahasa anak negeri , 1860-1873.

Periode antara 1863 dan 1871 adalah titik balik yang menentukan dalam kebijakan pemerintah hindia belanda di bidang pendidikan. Pengumuman pemerintah bahwa setelah 1864 jabatan yang lebih tinggi diligkungan pegawai negeri akan dibuka lebar untuk orang indo dan pribumi, mendorong para priyayi jawa mencari pendidikan model barat. Sekolah-sekolah belanda, pada 1846 yang tertutup untuk anak-anak pribumi mulai menerima siswa pribumi.

Seperti bromartani, Djoeroemartani memuat artikel-artikel sastra dalam ragam bahasa jawa kromo, terutama dalam bentuk tembang jawa yang memang dikuasai betul oleh redakturnya. Ini membatasi pembaca hanyanya hanya dikalangan yang berbahasa jawa, tetapi karena Surakarta saat itu merupakan pusat kegiatan intelektual jawa (di sana ada sekolah guru dan sekolah mangkunegaran), Koran ini maju pesat dan makmur, dan memonopoli dunia pers berbahasa jawa.

Dalam biang lala terdapat artikel yang menampik islam sebagai agama terbelakang, lawan Kristen, “agama raja dan pemerintahan belanda” yang progesif. Penduduk pribumi sering didorong pindah ke agama Kristen dan tulisan-tulisan yang membandingkan alquran dan injil juga diterbitkan. Artikel provokatif yang mencemooh islam dan kaum muslim sering muncul di biang lala tetapi jarang pembaca muslim membalasnya. Karena citranya sebagai alat misionaris , biang-lala tidak bisa mendapatkan pelanggan.

Menyusul dikeluarkannya undang-undang pendidikan pada 1871, ketika lebih banyak sekolah pribumi didirikan dan ketika masalah pendidikan mulai dipersoalkan para priyayi surat kabar mulai berperan sebagai sumber pengetahuan dan pengisi waktu para cendikiawan, terutama dikalangan priyayi yang haus pengetahuan. Berkat propaganda lewat pers tentang pentingnya pendidikan dan pembelajaran, perkumpulan dan klub-klub para priyayi mulai bermunculan pertama kali pada tahun 1872 dengan tujuan khusus membangkitkan kebiasaan membaca dikalangan priyayi terhormat. Para priyayi di karisidenan tegal misalnya, memulai klub seperti itu dengan menarik iuran sebesar 50 sen dari setiap priyayi untuk menbeli buku-buku cerita dan berlangganan surat kabar berbahasa melayu dan jawa. Klub ini membolehkan anggotanya meminjam buku dan membaca surat kabar.

Kuartal terakhir abad ke-19 menandai era baru sjarah pers di Hindia- Belanda. Dalamperiode ini mulai dikenal persaingan yang kadang-kadang berkembang menjadi suatu polemic diantara para editor dan diantara penerbit undustri pers. Dalam periode ini juga mulai muncul teme-tema baru yang mulai muncul dalam kehidupan masyarakat colonial. Meningkatnya minat yang diperlihatkan oleh penerbit dan editor secara tiba-tiba merupakan suatu fenomena baru dalam dunia pers situ sendiri. Selama dua dasawarsa abad itu, hampir setiap tahun bisa dibaca pengumumam atau rencana peluncuran sebuah surat kabar baru di kota-kota penting di Jawa, dan dengan derajat yang lebih diluar Jawa. Pada dasawarsa ini mulai banyak orang Indonesia dan peranakan Tionghoa yang terjun kedalam dunia jurnalistik, baik sebagai koresponden ataupun redaktur. Surat-surat pembaca yang ditujukan kepada redaksi, dan topic-topik yang dibahas di halaman-halaman Koran pada sepertiga abasd terakhir telah menunujukkan adanya suatu perubahan sosio-ekonomi di Hindia-Belanda yang sifatnya fundamental sebagaiman kelompok lain bergulat memasuki suasana tranformasi.

Bagi kalangan percetakan, editor, dan penerbit bangsa Eropa, pers biasanya sebagai bentuk lain dari usaha ekonomi yang bisa dikembangkan oleh ekonomi kapitalis Belanda, landasan bagi perdagangan bebas yang ditegakkan oleh para tokoh liberal di Belanda. Kesuksesan penerbitan surat kabar pada sepanjang abad ke-19 ditentukan oleh para penerbit dan para editornya dalam mencari dukungan keungan yang terus menrus dalam bentuk pemasangan iklan secara tetap dari perusahaan besar dan kelompok-kelompok usaha yang terkenal.usaha penerbitan

Untuk beberapa usaha penerbitan yang besar, mereka menunjuk seorang agen yang mewakili pers di Eropa. Tugas agen ini adalah mencari pelanggan dikalangan bisnis dengan mendistribusikan surat kabar dan membujuk mereka untuk melekukan transaksi dengan Hindia-Belanda. Kelihatannya hal ini jugalah yang mendorong beberapa perusahaan Belanda menerbiykan surat kabar dengan bahasa melayu di Belanda pada awal 1890-an. Bahkan para golongan misionar  is nulai menyadari kegunaan media pers ini untuk penyebaran agama protestan dikalangan masyarakat pribimi dan China peranakan.

Kebanyakan kota penting di Jawa telah menyaksikan jatuh bangunnya surat kabar berbahasa anak negeri, tetapi Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa tradisional, tidak pernah menjadi lahirnya surat kabar local, walaupun daerah tetangganya Surakarta dua mingguan bebahasa Jawa. Hingga pada 5 Juli 1879 muncul sebuah mingguan dinamakan Darmowarsito yang terbit setiap sabtu dipimpin oleh  W.Halkema dan Sulta sebagai pelindungnya. Meskipun menggunakan bahasa Jawa, didukung leh keraton dan dipimpin oleh W.Halkema akhirnya setahun kemudian surat kabar ini mati karena tidak laku.

Pada tahun 1880, berita kawat sudah bisa dikirim dari dan ke Eropa, selain itu dengan adanya perluasan penggunaan telepon dan jaringan kereta api juga membantu pers. Sebelum tahun 1866, semua penerbit adalah orang Belanda dan Indo, walupun orang Indo biasanya direkrut karena kemampuan berbahasa melayunya. Dengan adanya ekspansi pers dalam bahasa anak negeri menyebabkan para penerbit Belanda melirik orang Indo sebagai editor yang potensial.

Orang Indo baru aktif dalam industry pers berbahasa anak negeri menjelang kuartal terakhir abad ke-19, walaupun sebelum tahun 1875 sudah banyak orang Indo yang menjadi editor surat kabar, baru pada tahun-tahun berikutnya khususnya pada 1880 mereka baru menerbitkan surat kabar sendiri. Secara signifikan bisnis semua surat kabar yang ada terletak di kota-kota utama, tempat dimana industry dan perdagangan berkembang pesat dan subur.

Kompetisi diantara surat kabar berlangsung dengan sangat seru. Semua penerbit secara sadar mengiklankan surat kabar mereka.  anak Watak kompetitif bisnis surat kabar akhirnya berubah menjadi persaingan pribadi diantara para editor. Kesuksesan para penerbit surat kabar berbahasa anak negeri pada abad ke-19 disebabkan oleh kecerdikan mereka dalam menggunakan bahasa melayu yang paling umum digunakan seperti melayu rendah, bahasa kaum, melayu sedang, dan melayu betawi, yang semuanya merujuk pada bentuk sederhana bahasa melayu yang tidak perlu mengikuti aturan ketatabahasaan.
Kompetisi antar penerbit bukanlah satu-satunya hal yang dikhawatirkan, melainkan adanya ketakutan akan terjebak dalam UU Pers 1856. Sebagian besar pelangaran yang dilakukan oleh editor adalah yang berkaitan dengan pencemaran nama baik bukanlah masalah politik. Sanksi terhadap pelanggaran oleh pers berbahasa anak keras seorang editor dihukum dibuang dari Hindia Belanda dan terkadang terjadi penutupan perusahaan percetakan serta pembredelan surat kabar.

Sekitar 1870-an dan 1880-an terjadi banyak pelanggaran pers yang menyebabkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap pers berbahasa Belanda. Sedangkan kepada pers berbahasa anak negeri pemerintah lebih bersikap longgar dengan alasan bahwa pers pribumi tidak mempunyai peran politis dan potensial. Pada periode 1870-an dan 1880-an, dua dasawarsa yang ditandai oleh mencuatnya ketidakpuasan social dan keresahan serta intoleransi pemerintah terhadap kritik pers, tampak pada pelanggaran pers yang terjadi secara sporadis.

Dalam dua dasawarsa terakhir abad ke-19, masalah yang dihadapi oleh para penerbit adalah mencari kemudian mempertahankan pelangganya. Ada pembaca yang tidak mau membayar langganannya tepat waktu. Alasannya adalah pendapatan yang rendah serta biaya langganan yang tinggi. Selain itu kenyataanya adalah bahwa pada periode waktu itu adalah periode depresi ekonomi diseluruh Hindia-Belanda. Tapi dibalik itu ada hal yang meggembirakan yaitu bangkitnya kesadara para cendikiawan akan pentingnya surat kabar. Deprasi ekonomi pada 1880-an telah melonggarkan monopoli orang-orang Indo di bidang pers, 1886 menandai masuknya orang Tionghoa kedunia surat kabar.

Perkembangan pers pada abad 19 sangat di pengaruhi oleh kaum Tionghoa peranakan yang menjadi kelompok pelanggan terkuat.  Partisipasi orang Tionghoa peranakan di dunia pers berbahasa melayu di mulai tahun 1869 ketika Lo Tun Tay menjadi editor untuk surat kabar dwimingguan “Mataharie”. Sebagai media iklan, pers pada abad 19 sangat menarik para pedagang dan pemilik toko Tionghoa karena terdapat informasi yang komersial dan pedagang eceran yang diminati para pedagang Tionghoa.
Pers tahun 1870-an, sejumlah koran di Batavia, Semarang, dan Surabaya menyerukan anti Tionghoa. Orang Tionghoa merasa kecewa atas ini, akan tetapi orang Tionghoa lebih kecewa atas perlakuan pemerintah Belanda yang membatasi domisili mereka  pada apa yang di sebut Pecinan. Komunitas Tionghoa di Batavia menyampaikan keberatan atas diberlakukannya pajak property dan pajak pendapatan tahun 1878 yang menyusahkan komunitas mereka dan juga penduduk pribumi.

Melalui surat kabar, orang Tionghoa mempromosikan kesadaran budaya Tionghoa peranakan dalam bahasa melayu. Di Pulau Jawa sudah berdiri perkumpulan sosio-keagamaan Tionghoa  sejak tahun 1860-an. Perkumpulan paling penting yang di bentuk orang Tionghoa kaya di Batavia adalah Sositet Betawi yang berdiri tahun 1875. Dengan perkumpulan ini orang Tionghoa mampu mendirikan sekolah sendiri.  Tahun 1884 terjadi krisis ekonomi dengan jatuhnya harga gula dan kopo di pasar dunia mendorong pengusaha Tionghoa untuk menjalani bisnis percetakan. Perusahaan percetakan terbesar di Hindia “Gebroeders Gimberg & Co” juga mengalami gulung tikar yang akhrinya di jual. Seorang Tionghoa Surabaya, Baba Tjoa Tjoan berhasil menawar dan mendapatkan hak milik atas perusahaan tersebut dengan harga 24.600 gulden. Hal ini menjadi awal kesertaan orang Tionghoa dalam penerbitan Surat Kabar.

Salah satu tokoh pers Tionghoa peranakan yang terkamuka adalah Lie Kim Hok, pada akhir 1885 mmebeli percetakan dari janda D.J. Van der Linden, seorang missionaries protestan dan editor “Bintang Djohar” seharga 1000 gulden. Dia memulai percetakan buku-buku sekolah dan buku kebutuhan kantor. Setelah ia mendapat tawaran membeli editor “pemberita betawi” mendorong dia pindak ke Batavia bersama percetakannya yang di beri nama Drukkerij Lie Kim Hok & Co. Akhir abad 1887 perusahaan ini bubar dan di jual pada orang Eropa kemudian dia meneruskan “Pemberita Betawi”. Pada abad 19-20 pers dikuasai oleh orang Tionghoa. Jawa merupakan tempat paling benyak menjamur surat kabar Tionghoa. Perkembangan ini berkonsisdensi dengan peluncuran politik etis.

Tokoh penggagas politik etis adalah Pieter Brooshooft seorang jurnalis “Memorie”. Gerakan etis ini didukung para pemimpin partai Neo-Calvinis dan Katholik yang mengutuk kebijakan liberal tidak adil dan non kristiani. Akhirnya menjelang akhir abad 19 sistem pajak yang menguntungkan orang Tionghoa di hapuskan. Selain itu monopoli orang Tionghoa atas pengusahaan rumah gadai dan rumah jagal berlisensi di cabut. Pemerintah Belanda memperketat peraturan passenstelsel (system surat pas) dan wijkenstelsel (system pembagian zona pemukiman). Hal ini menjadi pukulan bagi kegiatan ekonomi Tionghoa pedalaman jawa. Akhirnya tahun 1900 merupakan tahun yang menandai kelahiran nasionalisme Tionghoa di Jawa yang di tujukan kepada pemerintah Belanda. Awal abad 20, Tionghoa peranakan menyatakan diri sebagai suara atau “organ” gerakan pan-Tionghoa yaitu Tiong Hoa Hwee Koan.
Tujuan utama Tiong Hoa Hwee Koan adalah :
  1. Memanjukan bangsa Cina. Dengan memanfaatkan bidang pendidikan yaitu dengan mendirikan sekolah Tiong Hoa Hwee Koan dengan pembayaran per bulannya di sesuaikan dengan kondisi keuangan orang tua murid yaitu antara 1-10 golden. Anak yang bukan anggota perkumpulan harus membayar lebih mahal.
  2. Mendorong para anggotanya mempraktikkan adat istiadat dengan ajaran Konghucu. Kebiasaan Tiongkok tradisional di dasarkan pada ajaran Konghucu. Tiong Hoa Hwee Koan berusaha mengangkat perasaan saling menghargai dan mengangkat mertabat orang Tionghoa di mata Belanda.
  3. Mengumpulkan buku-buku yang bermacam-macam yang dimanfaatkan ilmu pengetahuan dan pengertiannya.

Dengan adanya perkumpulan ini sikap orang Tionghoa terhadap komunitas Eropa menjadi lebih blak-blakan. Perkumpulan ini juga berpengaruh dalam perkembangan pers Hindia Belanda yaitu mempercepat perkembangan “organ” atau corong bagi organisasi yang berbau Tionghoa. Tahun 1901 terbit surat kabar yang menggunakan bahasa melayu tetapi dengan judul berbahasa Tionghoa. Keadaan ini berlangsung hingga periode dengan bangkitnya Sarekat Islam dan Indische Partij. Bahkan sampai berdirinya Boedi utomo hampir setiap tahun bisa muncul sebuah surat kabar Tionghoa.

Pada dasawarsa pertama abad 20, percetakan milik Eropa beranggapan bahwa lebih baik mempekerjakan seorang editor Tionghoa atau pribumi agar koran itu bisa menjangkau pasar yang luas. Karena banyak orang Tionghoa yang belajar bahasa penduduk pribumi, atau berpengalaman sebagai penerjemah.
Kondisi sosial-ekonomi yang memengaruhi kalangan Tionghoa peranakan telah melahirkan kesadaran “kebangsaan” Tionghoa di Hindia Belanda tampak pada berdirinya penerbitan pers dan meningkatnya orang Tionghoa yang menjadi editor surat kabar di Jawa dan Luar Jawa.

Pencarian Jalan untuk membawa Indonesia ke gerbang kemajuan itulah yang mendominasi isi surat kabar tahun 1880-an dan 1890-an. Pendidikan untuk kaum pribumi telah menarik perhatian banyak pembaca serta muncul lebih banyak tulisan polemis mengenai pendidikan dalam pers karena makin banyak sekolah dibangun dan banyak gutu yang dididik.
Tetapi, kurangnya sekolah model Barat tak menunjukkan mayoritas bangsa Indonesia tak memperoleh pendidikan. Institusi pesantren dan langgar sudah banyak mengajar Quran dan huruf Arab, tetapi fungsi lembaga ini jarang dibicarakan dalam pers. Kalaupun ada hanya berisi ejekan untuk para priyayi agar tak mengirim anak-anak mereka ke pesantren.

Banyak priyayi yang lebih suka memasukkan anak-anaknya ke sekolah priyayi daripada ke sekolah dokter Jawa atau sekolah guru. Karena sekolah kalangan atas terbatas maka banyak anak priyayi yang masuk ke sekolah doker Jawa. Namun dorongan untuk masuk ke dalam birokrasi priyayi amat tinggi sehingga mereka rela magang bertahun-tahun menunggu diterima di dalam jabatan administratif karena lulusan sekolah kalangan atas punya peluang diangkat sebagai mantri, asisten wedana, wedana, bahkan patih atau jaksa, serta memiliki peluang menjadi residen.

Pesona posisi birokarasi di mata banyak priyayi memicu serangkaian banyak perdebatan di pers apakah sikap dalam jangka panjang akan menghambat perkembangan kaum pribumi.
Pada akhir abad ke -19, para penulis surat pembaca di koran menunjukkan rasa percaya diri dalam mengekspresikan kritik yang berani terhadap para pejabat pemerintah. Sehingga keberlanjutannya menuai protes suara-suara para priyayi tinggi yang mrndesak pemerintah agar memperbaiki status mereka yang mulai pudar. Para intelektual baru sangat peduli pada pendidikan pribumi dan bahsa Belanda karena sadar bahwa bahasa Belanda adalah wahana untuk memahami sains modern Barat. Kalau kemajuan hendak dikejar, maka orang Indomesia harus menguasai Bahasa Belanda sebagai kunsi pembuka pengetahuan Barat.

Awal kebangkitan Pers berorientasi kemajuan
Tumbuhnya perhatian terhadap pendidikan kaum pribumi pada 1880-an dan 1890-an mendorong munculnya jurnal pendidikan.
Munculnya Taman Pengadjar sangatlah penting dan muncul pada saat isu pendidikan bagi kaum pribumi mencapai puncaknya. Jurnal ini menyediakan tempat yang lebih nyaman bagi para guru untuk mendiskusikan isu-isu serta hal-hal yang lebih umum seperti perubahan zaman dan modernisasi di anatara kaum pribumi.
Munculnya kecendrungan pada kemajuan dan mengejar perubahan di kalangan kaum pribumi juga memengaruhi isi dan orientasi pers di kalangan kaum terpoelajar.

Politik Etis dan perkembangan pers
Hampir dua abad Indonesia telah banyak menyumbang bagi kemakmuran ekonomi Belanda, sementara penduduk pribumi sama sekali tidak ikut menikmatinya. Kapitalisme swasta berpengaruh pada kebijakan kolonial Belanda selama periode berkuasanya kaum liberal.
Semangat etis baru muncul pada tahun-tahun penutup abad ke -19 dan yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan pieter B dan Van Deventer sangat memengaruhi perubahan sikap para editor Indo dan Eropa yang menerbitkan surat kabar ditandai dengan munculnya majalah-majalah yang lebih terspesialisasi untuk melayani kebutuhan para priyayi berpangkat rendah. Selain itu, di jawa seorang keturunan Melayu mendirikan surat kabar berkala dua mingguan  yang berbahasa Belanda di Amsterdam yang bernama Pewarta Wolanda.

Bintang Hindia dan Pertumbuhan Kesadaran Nasional Indonesia
Peran Bintang Hindia dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia adalah ironi sejarah. Bintang Hindia didirikan oleh Brouson dan Rivai dan terbit di Amsterdam pertama tahun 1902.

Subsidi Pemerintah dan Bintang Hindia
Gubernur Jenderal mengizinkan diterbitkannya Bintang Hindia dan sebagai imbalan Brouson menyediakan delapan halaman tiap edisi untuk memuat berbagai artikel dan pengumuman pemerintah da ia juga menerjemahkannya dalam bahasa Melayu.

Bintang Hindia sebagai Pelopor Nasionalisme Indonesia
Bintang Hindia adalah pembuka mata yang mendorong mereka mengubah sikap dan nilai tradisional menjadi lebih modern dan kebaratan. Majalah itu memuat cita-cita yang sama antara kaum intelektual (kaum muda) dan Tionghoa yaitu keinginan memajukan bangsa Indonesia.
Abdul Rivai menulis bahwa majalah dua mingguan itu bertujuan memajukan pengetahuan rakyat Hindia dan sungguh tulus hendak menjadikannya medium untuk menyuarakan ide-ide mengenai kemajuan kehidupan moral dan sosial bangsa Indonesia.

Rivai menempatkan kaum terpelajar pada posisi yang tinggi sebagai bangsawan pikiran dalam memimpin bangsanya menuju kemajuan. Awal abad ke 20 menyaksikan kebangkitan para editir pribumi dan sejumlah percetakan, serta pertumbuhan organisasi ekonomi yang dikelola dan dijalankan insan pers peribumi. Yang paling mencolok adalah tumbuhnya pers pribumi dan bangkitnya kesadaran sosial kaum pribumi jawa. Di sini didirikan pers pertama milik pribumi dan tumbuh kesadaran sosial ekonomi yang baru.
Tahun-tahun pertama abad 20 beberapa perusahaan pers pribumi yang bisa diperhitungkan walau masih kecil dan lemah secara finansial. Sedikitnya elit bisnis kaum pribumi merupakan penyebab lambatnya pertumbuhan perusahaan penerbitan di kalangan ini.Jabatan jurnalis pun masih dimonopoli oleh orang Eropa dan Tionghoa hingga tahun akhir abad 19.

Ada empat belas surat kabar dan enam berkala yang beredar di Hindia Belanda pada 1900. Lima surat kabar berkala berbahasa anak negeri terbit harian.
Ketertarikan Tirto Adhi Soerjo pada bidang jurnalistik dimuali sejak dini sejak sekolah di STOVIA (Dokter Jawa). Kecakapannya sebagai editor ketika memimpin Pemberita Betawi tahun 1902.
Permintaan dukungan dari berbagi komunitas priyayi langsung diedarkan ke seluruh Jawa dengan tujuan mendirikan sebuah kantor layanan beasiswa untuk biaya pendidikan anak-anak priyayi.

Penerbiatan Medan Priyayi
Tahun 1907, mingguan Medan Priyayi muncul dengan Tirto A. S sebagai editor dan pengelolanya. Medan Priyayi adalah surat kabar mingguan pertama di Jawa yang mengambil peran sebagai corong kaum terpelajar pribumi dan forum bagi pembaca kaum pribumi untuk mengekspresikan pandangan mereka serta mendiskusikan berbagai isu menyangkut kesejahteraan pribumi terutama soal pendidikan bagi kaum pribumi dan tentang masalah politik seperti kritik tehadap kaum priyayi korup dan pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan dan mengeksploitasi orang kecil. Beliau juga berani secara blak-blakan mencerca pejabat pribumi tetapi juga mempermalukan orang Belanda yang hidup bersama perempuan-perempuan pribumi dan menciptakan ras baru indo Belanda. Ia juga mengkritik kaum pribumi yang mengejar status menjadi birokrat administratif. Ia juga termasuk orang yang berdifat konservatif terbukti dengan sikapnya terhadap para pembaharu-pembaharu pribumi dan menuduh mereka sebagai agen Belanda dan berpura-pura ingin mengangkat harkat kaum pribumi. Tirto mengecap mereka sebagai tak otentik secara budaya dan pengkhianat budaya.

Medan priyayi terbukti populer di kalangan berpendidikan di Indonesia, pembacanya terdiri dari bupati, raja, patih, pemimpin distrik, jaksa dll. Kendati popularitas Medan Priyai tak perlu diragukan lagi, terutama di kalangan priyai berpenghasilan rendah, keuangan koran ini sangat rawan. Sikap boros dan kurangnya kemampuan akuntansi  menjerumuskan Medan Priyayi pada krisis finansial.

Nasionalime Tionghoa dan Tumbuhnya Sarekat Islam
Ketika kedudukan dan pendukung popularitas sarekat Islam meningkat, sementara popularitasnya menurun, tirto segera menuding Sarekat Islam anti Belanda. Meski begitu Tirto lah yang mendirikan sarekat Dagang Islam yang tujuan utamanya menjaga kepentingan kaum muslim di Hindia Belanda. Sarekat Islam berdiri tahun 1909 di kediaman Tirto dan berpusat di Bogor dan cabangnya dibentuk di senua tempat di Hindia Belanda yang tujuan utamanya melayani kaum muslim dari berbagai ras yang ada di Hindia Belanda.
Akhir tahun 1909 organisasi ini terncam karena pemerintah menolak anggaran dasar organisasi ini. Undang-undang komersial, perdagangan, dan kebangkrutan untuk orang Arab berbeda dengan undang-undang yang diberlakukan terhadap kaum pribumi, sehingga perkumpulan dagang yang melibatkan pribumi dan Arab sekaligus tak dapat diakui. Setelah pembubaran SDI yang pertama ini, Tirto meneruskan organisasi ini dengan nama yang sama tetapi hanya beranggotakan kaum pribumi.

Sarekat Dagang Islam juga didirikan di Surakarta yang pertama oleh Haji Samahoedi, seorang pedagang Batik Laweyan. Kekuatan modal orang Tionghoa dan penguasaan monopolistik mareka telah lama ditentang oleh para pedagang Batik pribumi.

Pertumbuhan kesadaran Tionghoa di Hindia Belanda telah dimulai sejak kuartal terakhir abad ke -19 mewujud pada organisasi Tionghoa yang disponsori kalangan peranakan di Batavia. Pada saat nasionalisme Tionghoa ini berada pada puncaknya itulah Sarekat Dagang Islam didirikan di Surakarta.
Terbentuknya Sarekat Dagang Islam merupakan titik balik bagi para pedagang Jawa di kota itu. Ktika itu, Tirto sedang mengalami krisis Medan Priyayi dan dia ditawari menjadi editor oleh para pemimpin Sarekat Dagang Islam di Solo. Kebangkitan Sarekat Islam di Jawa membuka sebuah fase baru bagi pers berbahasa anak negeri di jawa. Isinya semakin menyuarakan pandangan yang berbau politik. Kesadaran baru akan pentingnya pers dan organisasi seperti Sarekat Islam segera merembes ke masyarakat pribumi di luar Jawa.
Pertumbuhan pers di luar Jawa pada pergantian abad 19 ke 20 tidak banyak berbeda dengan di Pulau Jawa. Pers berbahasa anak negeri masa awal dirintis oleh para wirausahawan Eropa dan pedagang Tionghoa yang berkat kekuatan ekonomi mampu mengelola surat kabar yang melayani minat sector komersial sebagai surat kabar-pengiklanan.




Pers di Sumatera

Pers berkembang di Pantai Barat dan Aceh, Pantai Timur karisidenan Tapanuli dan Palembang. Pertumbuhan pers tergantung pada denyut ekonomi kota untuk mendukung sirkulasi surat kabar dan berkala di kalangan pedagang dan penduduk setempat. Kota utama penerbitan surat kabar pada paruh abad ke-19 adalah Padang, Medan, Sibolga, dan Kuta Raja.

Bersamaan dengan bangkitnya kesadaran akan kebutuhan pendidikan model Barat, timbul pulalah minat menerbitkan surat kabar dan berkala, tidak hanya sebagai penyambung suara yang menuntut perubahan dan modernisasi, tetapi juga sebagai sebuah usaha awal dikalangan pebisnis pribumi Indonesia. Seperti halnya di Jawa, keredaksian surat kabar berbahasa anak negeri di Pantai Barat Sumatera juga dikelola orang-orang dari kalangan bangsawan, yakni rekan para priyayi di Jawa. Pertumbuhan pers di Pantai Barat Sumatera terjadi ketika perubahan-perubahan penting berlangsung di Pulau Jawa. Kebangkitan Boedi Oetomo di Jawa bukannya tidak mengambil perhatian kaum cerdik pandai di Sumatera. Mereka menemukan kenyetaan bahwa orang Jawa akhirnya terjaga oleh panggilan kemajuan dalam bentuk yang konkret dengan mendirikan organisasi yang menjanjikan akan mengangkat martabat orang Jawa di mata asing. Tetapi, di Sumatera, keluhan penduduk yang meratapi pendekatan kemajuan yang payah oleh kalangan elite berpendidikan, biasanya berpusat pada masalah kekosongan pemimpin pribumi. Mereka mengeluh bahwa pers sendiri tidak mengambil langkah konkret untuk membangunkan rakyat. Hasrat untuk menyaksikan orang melayu berpartisipasi di bidang perdagangan dan komersial selalu merupakan ambisi para pemimpin aristokratik di kawasan Pantai Barat.

Pers juga menarik perhatian pemerintah akan kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kondisi pendidikan penduduk asli. Menjelang akhir dasawarsa pertama abad ke-20, ketika rakyat di Pantai Barat Sumatera terangsang kegairahan baru untuk meraih kemajuan, sebuah generasi baru intelektual pribumi tampil untuk menjawab tantangan, berharap dapat menyingkapkan kepada masyarakat konsep dan gagasan mereka tentang perubahan dan modernisasi. Namun, generasi baru intelektual ini terbelah ke dalam dua kelompok yaitu kaum elite pegawai negeri dan guru yang mendapat pendidikan model Barat di sekolah-sekolah sekuler, kelompok yang kedua yaitu terdiri dari orang Sumatera yang meendapat pendidikan di Mekah dan Kairo, terutama di bidang teologi islam.

 Kaum Muda dan Kaum Kuno
Rivai (editor Bintang Hindia) membagi kaum intelektual Indonesia ke dalam dua kelompok kepemimpinan: modernis dan tradisionalis. Dia mengajukan konsep tentang bangsawan pikiran dan bangsawan usul untuk merujuk lahirnya elite Barat baru dan elite feodal konservatif. Kaum muda yakni semua orang hindia yang tidak suka lagi memungut aturan kuno, adat kuno, kebiasaan kuno, tetapi yang mau memuliakan diri dengan pengetahuan dan ilmu. Kaum kuno yakni yang terkubu di dalam struktur feodal dan system nilainya, dan tidak tergerak oleh imbauan akan modernisasi dan kemajuan. Criteria yang dipakai untuk mengelompokkan orang Indonesia antara 1900 dan 1907 adalah: pendidikan, tata karma, cara berpikir dan cara berbusana yang didasarkan pada patokan Barat.

Perselisihan antara kaum sekularis dan elite islam mengakibatkan polarisasi kelompok aktivis islam dalam kubu kaum muda dan kaum tua. Polemic keagamaan semakin menghangat pada peride 1911-1913. Pertikaian dan pertentangan di kalangan masyarakat minangkabau kian memburuk. Kelompok agama kaum muda tanpa ragu mengecap kafir kaum tua yang menolak ambil bagian dalam ibadah bersama. Ketika gelombang kontroversi Islam itu menghantam dunia Minangkabau pada 1911 dan 1912, menyusul munculnya Al-Moenir, sebuah kecenderungan modernisasi yang lain mulai tampak di tengah masyarakat, kali ini dari kalangan intelektual perempuan. Tumbuhnya kepedulian perempuan Minangkabau akan kedudukan mereka di tengah masyarakat, bersamaan dengan kebutuhan mendesak akan pendidikan model Barat yang dirasakan oleh lapisan terpelajar masyarakat Minangkabau, menambah hangat konflik nilai yang sudah meruncing oleh polemic yang tiada henti antara kaum tua dan kaum muda. Konflik nilai-nilai budaya tercermin dalam kontroversi agama versus adat. Santri muda menghasratkan dogma islam puritan sebagai dasar ideology modernisasi.

 Koran Dja Endar Moeda
Pembandingan Datoek Soetan Maharadja dengan Dja Endar Moeda sebagai editor dan penerbit menjelaskan bahwa  Datoek Soetan Maharadja lebih seorang pembaru sosial, sementara Dja Endar Moeda lebih dalam terlibat di dunia jurnalistik dan industry pers pribumi. Dja Endar Moeda juga menulis artikel-artikel propaganda yang menghimbau penduduk asli mengejar pendidikan Barat dan kemajuan.









Pers Berbahasa Anak Negeri di Kota-Kota Lain di Sumatera

Di kota-kota lain, yaitu Medan, Kuta Raja, Sibolga, dan Palembang, dibandingkan dengan para pendahulunya, pers pribumi pada periode ini kurang peduli akan polemic-polemik rasial atau kegiatan propaganda. Menjelang 1913, hanya kota-kota tersebut yang menampung kegiatan pers. Pertumbuhan Boedi Oetomo dan sarekat islam di jawa telah mempengaruhi penduduk di berbagai bagian Sumatera untuk membentuk perkumpulan. Seperti yang selalu terjadi, adalah kaum jurnalis dan pers berbahasa anak negeri yang mengambil prakarsa mendorong para anggota kelompok berpendidikan bumiputra membentuk perkumpulan seperti itu, tetapi dampaknya kecil, gagal membangkitkan gerakan sosiokultural berskala besar. Peran penting pers pribumi adalah mendoong orang Indonesia berubah dan mengejar kemajuan dengan member kepada anak-anak mereka pendidikan secular Barat, dan tampaknya itu berdampak positif dalam menanamkan kepedulian di kalangan banyak orang tua pribumi. Menjelang 1913, tumbuhnya kesadaran sosial penduduk pribumi mendorong bertambahnya penjualan surat kabar di kalangan komunitas melek huruf.  Orang Tionghoa juga mulai mengencangkan genggaman mereka atas pers berbahasa anak negeri, yang sepenuhnya mereka manfaatkan untuk menyatakan ketidakpuasan mereka pada kebijakan gubernemen yang mempengaruhi kepentingan orang Tionghoa. Di pihak lain, pers menjadi media bagi mereka untuk mengiklankan barang dan layanan jasa.

Pers Berbahasa Anak Negeri di Sulawesi, Ambon, dan Kalimantan Kecuali di Sumatera, pertumbuhan pers anak negeri di luar jawa berjalan lambat. Sebelum Perang Dunia I, di luar Jawa dan Sumatera, pers berbahasa anak negeri hanya muncul di Sulawesi, Ambon, dan Kalimantan, khususnya di kota-kota Manado, Totok, Gorontalo, Tondano, Makasar, Ambon, dan Banjarmasin. Pers di wilayah tersebut gagal menarik para pengusaha dan jurnalis pribumi, juga gagal menciptakan minat terhadap jurnalistik di kalangan pribumi melek huruf. Pers di daerah-daerah itu dipelopori oleh orang Eropa, misionaris, pribumi Kristen, dan orang Tionghoa yang minatnya terhadap pers dimotivasi oleh tujuan misionaris atau komersial.

Rendahnya mutu berita di daerah tersebut mungkin disebabkan oleh tingginya angka buta huruf di kalangan penduduk pribumi. Menjelang akhir 1913, kegiatan pers berbahasa anak negeri di Indonesia Timur terpusat hanya di Makasar, Banjarmasin, dan Manado. Masalah utama yang dihadapi oleh semua penerbit surat kabar ialah kurangnya pelanggan. Ketiadaan artikel yang bermutu dan literer mencerminkan miskinnya aktivitas intelektual di Indonesia Timur. Alasan lain mungkin adalah kenyataan bahwa bahasa Melayu bukanlah bahasa ibu bagi masyarakat pribumi di Indonesia Timur.
Sejarah pers berbahasa anak negeri di kawasan ini berjalan bergandengan tangan dengan sejarah gerakan misionaris Protestan di Indonesia Timur sejak pertengahan abad ke-19. Maka dari itu, isi surat kabar pada masa awalnya di kawasan ini berorientasi misionaris.
Pers berbahasa anak negeri memainkan peran penting dalam memelihara bangkitnya kesadaran politik Indonesia.
Pelbagai kejadian yang menyusul berdirinya Sarekat Islam di Surakarta sejak 1912 hingga penghujung 1913 akan terbukti menentukan bagi lahirnya bangsa Indonesia. Memang menjelang 1913 sebuah hubungan dialektis telah terccipta antara kebangkitan kesadaran politik Indonesia dan pertumbuhan pers berbahasa anak negeri, dan masing-masing saling mendorong meningkatnya derajat militansi. Periode antara 1911 dan 1913 menyaksikan awal meluasnya kesadaran di antara orang Indonesia melek huruf. Seperti kita saksikan, perkembangan ini sangat terjalin dengan pertumbuhan pers yang dikelola oleh anak-anak negeri, yang umumnya bersifat pendidikan dan propaganda. Menjelang 1911, para penerbit dan editor pribumi telah sepenuhnya sadar akan kebutuhan untuk menjadikan “persatuan nasional” (yang diartikan: kesatuan politik anak-anak negeri di bawah pemerintahan Belanda) sebagai pesan sentral penerbitan mereka.

Berbagai petunjuk akan lahirnya kelompok-kelompok yang kelak merupakan pangkal kelas menengah pribumi terlihat pada periode 1911 – 1912. Dan munculnya pers yang berorientasi politik, yang bertindak sebagai corong bagi organisasi-organisasi Indonesia baru dan nasionalisme Indonesia ini. Kebulatan tekad memajukan pendidikan dan perdagangan, yang diperkuat dan diberi sifat agama oleh laju intensifikasi kesadaran politik islam di kalangan Muslim di Jawa dan beberapa bagian pulau-pulau di luar Jawa. Mereka berusaha meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan memajukan semangat tolong menolong di kalangan muslim. Pada penghujung 1912 Sarekat Islam memang telah menjadi organisasi massa Indonesia yang pertama. Tujuan utama Sarekat Islam tetap sama: a) memajukan perdagangan pribumi; b) memelihara semangat gotong royong; c) memajukan kesejahteraan pribumi; dan d) mematuhi ajaran dan praktek Islam. Kebencian pribumi terhadap Belanda juga diperkeras oleh ekspansi kegiatan misionaris Kristen. Menjelang akhir 1911, pers berbahasa daerah lebih banyak menonjolkan perdebatan di Parlemen Belanda tentang kegiatan misionaris.

Kebangkitan Indische Partij
Douwes Dekker sangat mengenal kehidupan dan kondisi di Hindia berkat pengalaman jurnalistiknya, ia peka terhadap ketidaksetaraan rasial, tempat bergantung kebijakan colonial. Digerakkan oleh munculnya berbagai organisasi pribumi pada masa itu, Dekker mengakui bahwa orang Indo pun memerlukan sebuah organisasi, tempat mereka menyuarakan tuntunan komunitas mereka. Upaya pertama Dekker untuk memajukan gagasannya bagi sebuah kebersamaan pribumi-Indo, dan untuk berkomunikasi dengan para intelektual Indonesia, diawali dengan penerbitan surat kabarnya, De Expres, yang mulai beredar pada 1 Maret 1912 di Bandung, harian berbahasa Belanda ini menyediakan forum guna membahas berbagai masalah politik actual di Hindia Belanda.
Berdirinya Indische Partij di Semarang pada 5 Oktober 1912, yang bertujuan membangkitkan patriotism semua orang yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya, menandai hadirnya organisasi politik pertama yang sesungguhnya di Indonesia. Akibat ketidakpercayaan orang Jawa Muslim terhadap komunitas Indo yang sudah berlangsung lama, Indische Partij sulit masuk ke kalangan penduduk pribumi secara luas. Indische Partij juga tak disambut hangat oleh Sarekat Islam. Sikap Dekker yang tidak melibatkan agama dipandang dengan skeptic oleh banyak kalangn Muslim, terutama mengingat kontroversi belakangan mengenai peranan misionaris Kristen Protestan.

Sarekat Islam dan pers
Mobilisasi Sarekat Islam sebagai sebuah gerakan rakyat banyak dibantu oleh keberadaan surat kabar yang dipimpin orang Indonesia di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para pemimpin Sarekat Islam bergerak agresif untuk mendapatkan dukungan pers di kota-kota besar. Pada 1 Januari 1913, harian Oetoesan Hindia mulai terbit sebagai organ resmi Sarekat Islam. Kebangkitan organ SI di beberapa kota penting di Jawa menendai sebuah titik balik dalam sejarah jurnalistik berbahasa daerah. Semangat kritis yang baru di dalam jurnalisme pribumi ini mungkin untuk sebagian menyumbang bagi perubahan atmosfer sosio-politik di Jawa sendiri, menyusul kebangkitan Sarekat Islam dan cabang-cabangnya. Obsesi untuk bebas dari acuan budaya priayi masyarakat Jawa secara terus-menerus ditiupkan oleh pers dan para editor Sarekat Islam.

Pers dan Kesadaran keindonesiaan
Kelahiran media organisasi dan bangkitnya gelombang kesadaran politik dan sosio-ekonomi kalangan pribumi mulai mengancam aturan colonial yang sangat mendasar. Setelah berlaku efektif selama lima puluh tahun, pemerintah merevisi UU Pers Tercetak tahun 1856 untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat pers di Belanda dan Hindia. Barangkali dipengaruhi oleh semangat Politik Etis, pemerintah menyetujui semacam kebebasan pers, meskipun dalam kenyataannya perubahan tahun 1906 itu sesungguhnya tidak mengubah system sensor preventif dan control represif yang diwariskan oleh UU tersebut. Namun, ketentuan dalam UU pers di Hindia itu dianggap tidak mencukupi untuk menghadapi kesadaran politik yang sedang bertumbuh. Menjelang akhir 1913, pemerintah bermaksud lebih mengetatkan UU pers di Hindia, khususnya yang berkenaan dengan ekspresi politik.

Dengan bantuan para mahasiswa di Den Haag, Soewardi merintis pendirian Biro pers Indonesia yang pertama, Indonesisch Persbureau, untuk menyebarkan berita yang dimuat di dalam pers pribumi di Hindia Belanda untuk sesame mahasiswa Indonesia di Belanda dan simpatisan yang mendukung surat kabar dan berkala beraliran sosialis di Belanda. Menjelang akhir 1913, kesadaran politik baru pribumi itu di Jawa ditandai oleh pengaruh pers dan kebingungan di kalangan surat kabar nonpribumi. Semangat baru yang kuat di kalangan pembaca pribumi memaksa banyak surat kabar yang dikelola orang Indo gulung tikar. Tumbuhnya sejumlah percetakan yang menerbitkan surat kabar dan berkala yang isi maupun semangatnya politis mengindikasikan bahwa panggilan menuju kemajuan dan modernisasi pada akhirnya menemukan khalayaknya. Kelahiran kesadaran nasional Indonesia hampir secara simulan membuahkan pers pribumi yang otentik sebagai juru bicara para perintis nasionalis.

Pertumbuhan pers yang secara tegas berpolitik membantu melahirkan sebuah kesadaran politik nasional yang baru. Menjelang akhir 1913, istilah “Indonesisch” mulai digunakan oleh sebuah perusahaan percetakan di Weltevreden, yakni Indonesische Drukkerij en Translaat Bureau (Percetakan Indonesia dan Biro Terjemahan) di Gunung Sahari (SD, 2-4-1914). Kesadaran “Indonesia” dengan begitu sungguh telah ditegakkan.

[Sumber: Yudith Adhitya
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)