Opini Eko Sulistyo
Tanggal
17 Agustus 2016 bangsa Indonesia memperingati 71 tahun proklamasi
kemerdekaan. Bagian penting dari peristiwa sekitar proklamasi adalah
peran kaum muda dalam mendesakan proklamasi kemerdekaan. Prolog dari
proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah kekalahan Jepang dalam Perang
Dunia II yang menyebabkan cengkraman atas Indonesia menjadi longgar.
Sementara pasukan sekutu sebagai pemenang perang belum datang
menggantikan kekuasaan lama. Transisi ini menciptakan vacum of power dan
memberi momentum menuju proklamasi kemerdekaan.
Janji
Indonesia merdeka dari pihak Jepang pertama kali terdengar pada akhir
Juli 1945. Untuk mempersiapkan kemerdekaan, pada 7 Agustus 1945
Pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) menggantikan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Pada 12 Agustus 1945, Marsekal Terauci, Panglima
Tertinggi Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara menerima Soekarno,
Hatta dan Radjiman di Dalat, Vietnam. Dalam pertemuan Terauci menyatakan
pemerintah Jepang telah memutuskan memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia yang pelaksanaannya diserahkan kepada PPKI.
Proklamasi
kemerdekaan ditentukan oleh perdebatan antara kaum nasionalis tua dan
kaum nasionalis revolusioner di sekitar kelompok pemuda di Jakarta
menjelang proklamasi kemerdekaan. Kaum nasionalis tua mayoritas adalah
lingkaran politik pendukung taktik kerjasama dengan Jepang dengan sosok
sentral pada Soekarno dan Hatta. Sementara kaum revolusioner yang
dimotori kelompok pemuda menolak taktik kerjasama dengan Jepang. Kaum
muda ini mewakili berbagai spektrum revolusioner seperti kelompok
Sjahrir, pengikut Tan Malaka dan pemuda revolusioner yang membangun
kembali PKI seperti DN. Aidit dan pemuda revolusioner lainnya yang
berbasis di Asrama Mahasiswa Kedokteran di Prapatan 10, Asrama Angkatan
Baru di Menteng 31 dan Asrama Indonesia Merdeka di Jalan Bungur Besar.
Bagi kaum
nasionalis tua, kemerdekaan harus dipersiapkan dan diselenggarakan oleh
PPKI, seperti mandat yang diberikan pemerintah Jepang. Kemerdekaan
tidak bisa dilakukan dengan cara revolusioner atau tanpa koordinasi
dengan Jepang. Sementara bagi kaum muda, menganggap proklamasi
kemerdekaan tidak boleh sebagai hadiah pemerintah Jepang. Karena itu
kaum muda menolak bila kemerdekaan dilakukan oleh PPKI yang dianggap
bikinan Jepang.
Namun
terlepas dari perdebatan yang terjadi, menurut Adnan Buyung Nasution,
proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan hasil kompromi antara yang berjuang
untuk kemerdekaan sambil bekerjasama dengan Jepang dengan mereka yang
bekerja dibawah tanah selama pendudukan Jepang. Kaum muda dan kaum tua
menjadi “sepasang sayap revolusi” yang saling melengkapi satu sama lain
(Buyung Nasution, 1995 : 13).
Empat Hari yang Menentukan
Tanggal
14 sampai 17 Agustus 1945 adalah hari-hari paling menentukan menjelang
proklamasi. Beberapa pertemuan dilakukan kaum muda merespon kekalahan
Jepang. Pada 14 Agustus 1945, Sjahrir menemui Hatta dan menyatakan
keinginan kaum muda agar proklamasi kemerdekaan diumumkan di luar
kerangka PPKI yang dianggap buatan Jepang. Dari sana Sjahrir menemui
Soekarno yang sikapnya sama dengah Hatta menunggu pengumuman resmi
kekalahan Jepang dan memutuskan soal kemerdekaan harus diputuskan dalam
rapat PPKI.
Pada
15 Agustus 1945, para pemuda mengadakan pertemuan di Laboratorium
Bakteriologi di Jalan Pegangsaan. Rapat memutuskan mengirim Wikana
sebagai pimpinan delegasi bertemu Soekarno. Wikana dan kawan-kawan
datang menemui Soekarno dengan tuntutan untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan. Jawaban Soekarno tetap sama dengan sebelumnya bahwa mereka
hendak mempersiapkan kemerdekaan tanpa terburu-buru bahkan menantang
pemuda untuk mengumumkan sendiri kemerdekaan.
Wikana
yang kecewa lalu mengertak Soekarno bila tak mengumumkan kemerdekaan
pada 16 Agustus 1945, akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.
Soekarno membalas gertakan tersebut dengan gertakan pula. “Ini leher
saya, seretlah saya ke pojok itu dan sudahilah nyawa saya malam ini
juga, jangan sampai menunggu besuk.” Wikana yang kecewa membawa
rombongan keluar rumah sambil kembali menggertak. “Tidak dapat
menanggung sesuatunya bila besok siang proklamasi belum juga diumumkan”
(Hatta, 1970 : 35).
Wikana
melaporkan hasil pertemuan dengan Soekarno-Hatta yang menolak usulan
mempercepat proklamasi. Kaum muda memutuskan tindakan tertentu harus
dilakukan untuk menunjukkan tekad kaum muda ingin merdeka. Menurut Ben
Anderson, Revoloesi Poemuda, tidak jelas siapa yang awalnya mengusulkan
rencana untuk “menculik” Soekarno-Hatta. Pertemuan memilih orang yang
akan menjadi pelaksana yaitu Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, dr.
Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih dan dr. Sutjipto (Anderson, 1988 : 96).
Rencananya
16 Agustus 1945 pagi Soekarno-Hatta akan memimpin sidang PPKI
membicarakan tentang kemerdekaan Indonesia. Namun sidang tidak jadi
dilaksanakan karena para pemuda telah “mengamankan” Soekarno dan Hatta
ke Rengasdengklok, Karawang, 81 Km dari Jakarta. Normalnya penculikan
adalah upaya paksa, bila perlu dengan kekerasan. Tapi yang terjadi
sebetulnya tidak ada paksaan fisik pada keduanya. Bahkan dr. Muwardi
yang ditugaskan menjemput Soekarno takut membangunkan Soekarno di pagi
buta. Akhirnya dia menunggu Chaerul Saleh untuk membangunkan Soekarno.
Menurut
Sidik Kertopati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, apa yang dilakukan
pemuda ini adalah upaya “pengamanan tokok nasional” untuk memberi
kebebasan pemimpin aksi mengorganisir revolusi. Karena menurut rencana
akan diadakan pemberontakan dan proklamasi yang akan diumumkan kaum muda
pada 16 Agustus 1945, namun pemberontakan tidak pernah terjadi karena
perencanaannya kurang matang (Kertapati, 2000 : 80).
Percepatan Proklamasi
Peristiwa
di Rengasdengklok sering dianggap sebagai keberhasilan kaum muda
menyepakati “percepatan” proklamasi kemerdekaan kepada Soekarno-Hatta.
Menurut Adam Malik, Riwayat Proklamasi Agustus 1945, di Rengasdengklok
Soekarni menjelaskan bahwa maksud membawa Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok adalah untuk menyiapkan kedua tokoh pergerakan nasional
tersebut menyatakan proklamasi kemerdekaan secepatnya atas nama seluruh
rakyat karena keadaan sudah mendesak dan memuncak (Adam Malik, 1956 :
42).
Namun
dalam bukunya, Sekitar Proklamasi, Hatta menyangkal semua fakta yang
menyatakan telah terjadi semacam perundingan atau kesepakatan.
Menurutnya selama di Rengasdengklok mereka didiamkan di rumah seorang
tuan tanah Tionghoa bernama Djiauw Kie siong hingga kembali pulang
malam hari ke Jakarta. Hal utama yang dikerjakan adalah bergantian
menggendong guntur yang agak rewel karena susunya ketinggalan di mobil
para pemuda. Bahkan celana Hatta basah terkena kencing Guntur sehingga
tak dapat menunaikan ibadah sholat (Hatta, 1970).
Dari
narasi sekitar peristiwa proklamasi ini terdapat dua klaim di sekitar
peristiwa Rengasdengklok. Klaim pertama menyatakan ada perundingan dan
kesepakatan di Rangasdengklok, seperti dinyatakan oleh kaum muda
sebagaimana ditulis oleh Adam Malik dan Sidik Kertapati. Klaim kedua,
menyatakan tidak terjadi perundingan dan kesepakatan apa-apa di
Rengasdengklok, seperti ditulis oleh Hatta.
Sementara
Soekarno dan Hatta “diamankan” ke Rengasdengklok, di Jakarta para
pemuda mengadakan pertemuan mempersiapakan proklamasi kemerdekaan
secepatnya. Dilaporkan bahwa proklamasi melalui radio pada pagi hari
telah gagal. Wikana melaporkan bahwa Subardjo sedang menjemput
Soekarno-Hatta, karena itu pengumumam kemerdekaan diundur hingga jam
23.00. Sekitar jam 01.00 pagi, Iwa Kusumasumantri memberi kabar bahwa
Soekarno-Hatta berada di rumah Laksamada Maeda untuk membicarakan
persiapan kemerdekaan. Peserta rapat lalu mengirim Chaerul Saleh dan
Sukarni untuk hadir dalam pertemuan di rumah Maeda sebagai wakil
golongan pemuda.
Meskipun hanya mengirim
dua utusan dalam pertemuan tersebut, kaum muda telah mengubah jalannya
proklamasi. Pertama, proklamasi bukan lagi sebagai hadiah dari Jepang,
tapi sebagai usaha dari rakyat dan bangsa Indonesia. Dalam pembukaan
rapat, Chaerul Saleh menyatakan menolak pertemuan tersebut sebagai
pertemuan PPKI untuk mempersiapkan kemerdekaan karena akan berbau buatan
Jepang. Soekarno menerima usulan itu dan menyatakan, “Rapat ini
bukanlah rapat PPKI, rapat ini adalah rapat wakil-wakil bangsa
Indonesia” (Kertapati, 2000 : 94).
Kedua,
mencegah pembacaan naskah proklamasi atas nama PPKI, yang dianggap
bentukan Jepang. Sebagai kompromi, disepakati bahwa proklamasi ditanda
tangani oleh Soekarno-Hatta sebagai “Wakil bangsa Indonesia”, bukan
sebagai pimpinan dan wakil PPKI.
Ketiga,
mempercepat tanggal proklamasi menjadi 17 Agustus 1945 menyimpang dari
rencana PPKI yang telah disetujui dan dijanjikan oleh pemerintah Jepang
pada 24 Agustus 1945.
Akhirnya, pada 17
Agustus 1945 jam 10.00 pagi Proklamasi Kemerdekaan di bacakan oleh
Soekarno. Sejak hari itu Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa
yang merdeka dan berdaulat menuju masyarakat adil dan makmur. Sebuah
janji kemerdekaan yang belum terwujud hingga 71 tahun usia proklamasi.(***)
Catatan: Artikel ini dipublikasikan pertama kali di Koran Sindo, 16/ Agustus 2016
Catatan: Artikel ini dipublikasikan pertama kali di Koran Sindo, 16/ Agustus 2016
Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.
.