Lepaskan Beban Sejarah Tragedi 1965: Jangan Mau Ditipu Dendam Pemberontak

Alangkah rendahnya peradaban bangsa Indonesia bila tidak bisa menyelesaikan beban sejarah tragedi 1965. Untuk itu, Gubernur Lemhanas, Letjen (Purn) Agus Widjojo mengajak semua pihak untuk berdamai dengan masa lalu untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Hal itu dipaparkan Agus saat mengikuti diskusi  "PKI: Hantu atau Nyata" dalam acara ILC TV One. Pertanyaanya, sanggupkan semua pihak berdamai dengan masa lalu? Mari kita berkikir bersama.

Jejak Para Keturunan Pemberontak
Harus diakui, di Indonesia ini ada banyak sejarah pemberontakan, antara lain ada pemberontakan PRRI, ada pemberontakan DI/TII, ada pemberontakan PKI. Sejarah pemberontak tersebut kini tampaknya masih menjadi beban sejarah bagi bangsa Indonesia.

Secara faktual, di antara keturunan dari tokoh yang terlibat pemberontak di Indonesia itu kini masih ada yang aktif berpolitik. Bahkan, ada yang berambisi menjadi Presiden Indonesia. Ironinya, dalam dinamika politik masa kini, ada pihak tertentu yang mengeksploitasi beban sejarah pemberontakan di Indonesia, khususnya terkait tragedi politik 1965. Dalam beberapa tahun terakhir isu kebangkitan PKI sering diungkit melalui berita-berita hoax. Anehnya, Presiden Jokowi sendiri juga pernah diisukan sebagai keturunan PKI melalui hoax hingga pelakunya ditangkap dan diadili melalui proses hukum.

Isu kebangkitan PKI ini kembali memanas ketika YLBHI menggelar acara seni dan diskusi. Belakangan muncul isu bahwa dalam acara YLBHI ada rapat anak-anak PKI hingga terjadinya pengepungan kantor YLBHI. Kabar bohong bangkitnya PKI juga ditebarkan melalui twitter oleh akun @palto_id. Padahal, YLBHI tidak melakukan kegiatan seperti yang dituduhkan melalui media sosial tersebut.


Tawaran Solusi Rekonsiliasi
Menyusul terjadinya pengepungan kantor YLBHI tersebut, TV One menggelar diskusi dalam ILC berjudul "PKI: Hantu atau Nyata". Ada berbagai pihak yang hadir, baik dari tokoh anti komunis (PKI), LBH, korban tragedi politik 1965, Komnas HAM maupun Sukmawati Soekarnoputri (putri Bung Karno). Gubernur Lemhanas, Letjen (Purn) Agus Widjojo  juga ikut hadir dalam dialog yang dipandu Karni Ilyas tersebut.


Sekedar tahu,  Letjen (Purn) Agus Widjojo adalah anak dari salah satu pahlawan revolusi, Mayjen Sutoyo Siswoharjo. Tak aneh, bila Agus Widjojo cukup tahu masalah tragedi politik 1965. Dalam dialog ini, Agus Widjojo punya masukan cukup positif terkait tragedi 1965. Menurut Agus, bila bicara masalah dendam tragedi 1965, maka dirinyalah yang paling berhak karena ayahnya (kini Pahlawan Revolusi) menjadi salah satu korban dari tragedi 1965.

Agus menegaskan, tidak ada satu pihak pun yang berhak atau mengklaim dapat melakukan pelurusan sejarah terkait PKI. Agus justru berharap adanya rekonsiliasi dari berbagai pihak yang bersengketa pendapat. Karena itu, dalam diskusi, Agus memberikan apresisasi positif kepada Karni Ilyas yang bisa menghadirkan semua pihak yang bersengketa pendapat soal PKI. Sebab, menurut Agus, bila pertentangan pendapat soal PKI terus berlanjut hanya akan menghabiskan energi. "Kalau begini terus capek kita," ujar Agus.

Sehingga Agus mendorong berbagai pihak (baik kelompok anti PKI maupun korban tragedi 1965) untuk mencari solusi bagi bangsa Indonesia dan jangan mencari kebenaran menurut versinya sendiri-sendiri. Caranya, semua pihak harus mau melakukan refleksi apa kesalahannya dan bersedia mendengar pendapat pihak lain. Alangkah rendahnya peradaban bangsa kita bila tak mempu menyelesaikan beban sejarah tragedi 1965 tersebut. Namun Agus juga mencatat bahwa untuk mewujudkan rekonsiliasi tidak mudah dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh bangsa berkeberadaban tinggi yang bisa berdamai dengan masa lalu.

Kalau PKI bersikukuh tak bersalah maka kita akan begini terus. Bangsa Indonesia yang rugi sendiri karena bisa ketinggalan dengan negara lain. Diibaratkan, Indonesia hanya jalan di tempat pada beban sejarah konflik 1965. Untuk itu Agus mengajak untuk berpikir ke depan dan perlu refleksi diri untuk melepaskan diri dari beban sejarah 1965. Kalau masing-masing pihak masih ngotot-ngototan tidak akan ada habisnya.

Jangan Tertipu Oleh Dendam Keturunan Pemberontak
Pendapat Letjen (Purn) Agus Widjojo sangat benar, betapa rendahnya peradaban bangsa kita bila tak mampu melakukan rekonsiliasi dan berdamai dengan masa lalu. Namun, kalau masih ada pihak tertetnu yang membersar-besarkan isu kebangkitan PKI, maka masyarakat perlu bersikap bijaksana karena komunisme memang tak akan mungkin bangkit. Kenapa? Paham komuniasme terbukti sudah runtuh karena gagal memberikan keadilan di berbagai negara. Fakta yang terjadi, globalisasi dan liberalisasi sudah mengalir deras di Indonesia dan berbagai belahan dunia, termasuk Rusia, China.

Sekali lagi, kalau masih ada pihak tertetnu yang membersar-besarkan isu kebangkitan PKI, patut diwaspadai jangan-jangan ada Neo Orde Baru yang akan bangkit. Yang penting, jangan mau diperalat orang-orang ambisius dengan mengeksploitasi "dendam" masa lalu keturuna para pemberntak. Lebih baik berdamai dengan masa lalu dan memandang ke depan dengan pikiran jernih dan konsep pembangunan lebih modern.

Sangat menyedihkan kalau kita hanya terseret oleh dendamnya para pemberontak. Presiden Joko Widodo tidak ada kaitannya dengan jejak para pemberontak, baik DI/TII, PRRI maupun PKI. Tapi ada yang mencoba-coba mengaitkannya untuk menanggung beban sejarah tragedi 1965 melalui hoax dan berita bohong. Sebagai Presiden RI yang berkuas, Joko Widodo memang punya kewajiban mewujudkan rekonsiliasi nasional terkait bebam sejarah tragedi 1965. Namun rekonsiliasi nasional ini tak akan mungkin terwujud bila masing-masing pihak bersikukuh pada egoisme kelompoknya sendiri. Sehingga isu PKI dimungkinkan akan terus dihembus hingga Pemilihan Presiden 2019 nanti. Yang perlu dicatat, di antara keturunan dari tokoh yang terlibat pemberontakan di Indonesia, kini masih ada yang aktif berpolitik. Bahkan, ada yang berambisi menjadi pemimpin dengan memainkan isu yang kurang sehat bermuatan dendam masa lalu. Karena itu, bila para generasi Indonesia ingin terbebas dari beban sejarah masa lalu dan dendam keturunan pemberontak, jangan pernah bertindak emosional dalam menentukan pilihan politik. Bukan begitu? ( @SutBudiharto )

.