Halimah Yacob berhijab kuning (foto Reuter) |
Hari ini
Rabu (13/9/2017), Halimah Yacob, 62 tahun, akan dilantik menjadi Presiden
Singapura. Politikus yang pernah menjadi penjual nasi padang itu akan menjadi
presiden perempuan etnis Melayu pertama di Singapura. Tampilnya Halimah Yacob sebagai presiden
perempuan etnis Melayu pertama di Singapura ini tidak lepas dari peran para
elit politik setempat dalam reformasi konstitusi untuk membangun inklusifisme
dan keberagaman bangsa Singapura.
Gagasan perubahan
konstitusi Singapura berawal dari Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong
pada 2016 lalu. Hal itu didasari kenyataan bahwa masyarakat Singapura
terdiri dari multi ras. Negara berpenduduk 5,6 juta jiwa ini didominasi oleh etnis
China sebanyak 74,1%, Melayu (13,4%), dan India (9,2%), dan lainnya 3,3%. Namun
dalam 30 tahun terakhir, Presiden Singapura selalu berasal dari etnis China dan
dua periode India. Karena itu, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengusulkan
untuk amandemen konstitusi agar etnis minoritas dapat tampil menjadi Presiden
Singapura. Hasil perubahan konstitsi memutuskan bahwa posisi presiden dalam
Pemilu 2017 ini akan diperuntukkan bagi kandidat-kandidat dari warga etnis
Melayu. Pemilu “khusus” itu digelar karena selama 30 tahun terakhir etnis
Melayu tidak ada yang tampil menjadi presiden.
Setelah
tahapan pemilu berjalan, Pada hari Senin (11/9) lalu Badan Urusan Pemilu
Singapura menetapkan bahwa hanya ada satu kandidat yang mendapat sertifikasi
kelayakan untuk menjadi presiden, yakni Halimah Yacob. Sedang kandidat etnis
Melayu lainnya tidak mendapat sertifikasi kelayakan untuk menjadi presiden. Karena menjadi calon tunggal, hari
ini Rabu (13/9/2017) Halimah Yacob akan dilantik menjadi Presiden Singapura.
Presiden Anak Penjual Nasi Padang
Siapakah Halimah
Yacob? Dari berbagai informasi media, masa lalu istri Mohammed Abdullah
Alhabshee ini ternyata digambarkan sebagai sosok yang hidup dalam
kesederhanaan. Ayahnya sudah meninggal saat Halimah berusia 8 tahun. Sehingga Halimah
dan empat saudara laki-lakinya harus berjuang hidup bersama ibunya di sebuah
apartemen di jalan Hindu, Singapura.
Padahal, ibu
kandung Halimah hanya bekerja sebagai penjual nasi padang dengan gerobak dorong
di Shenton Way. Tak aneh, bila masa-masa sekolah Halimah di Singapore Chinese
Girls 'School dan Tanjong Katong Girls' harus dilalui dengan perjuangan keras
karena dia harus membantu ibunya berjualan nasi padang. Terkadang Halimah harus
mengerjakan tugas sekolah sembari membantu ibunya mengelap meja dan mencuci
piring. Mengingat keterbatasan ekonomi itulah Halimah kadang sampai nunggak
membayar biaya sekolahnya.
Keterbatasan
ekonomi keluarganya tersebut juga sempat membuat repot Halimah saat hendak
melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Singapura. Namun kecerdasannya
membuat Halimah mendapatkan beasiswa dari Islamic Religious Council of
Singapore sebesar 1.000 dolar Singapura. Sementara kakaknya yang sudah bekerja ikut
membantu Halimah sebesar 50 dolar Singapura per bulan.
Halimah akhirnya
menyelesaikan kuliah pada 1978. Kemudian Halimah bergabung dengan National
Trades Union Congress (NTUC) sebagai divisi hokum yang membuatnya aktif
memperjuangkan hak-hak pekerja. Pada 1999 - 2001, Halimah tercatat sebagai
orang Singapura pertama yang duduk di lembaga buruh internasional
(International Labour Organisation/ILO). Tahun 2001 dia terjun ke dunia politik
dan terpilih sebagai anggota parlemen Singapura dari Partai Aksi Rakyat
(People's Action Party/PAP).
Pada 2013,
Halimah menjadi perempuan pertama yang menjabat Ketua Parlemen (Group
Representation Constituency) Singapura. Halimah akhirnya menarik perhatian
banyak orang setelah 6 Agustus 2017 menyatakan
akan maju dalam pemilihan Presiden Singapura. Untungnya, dalam dalam pemilihan
Presiden Singapura ini Halimah Yacob tidak perlu menjalani proses pemungutan
suara secara nasional karena kandidat lainnya telah dinyatakan gugur. Kini, Halimah
akan dicatat sebagai perempuan pertama yang menjabat Presiden Singapura.
Belajar dari Pemilihan Presiden Singapura
Walau hasil pemilihan Presiden Singapura 2017 sempat mendapat reaksi negatif, kesadaran kalangan elit politik Singapura dalam membangun inklusifisme dan
keberagaman etnis bangsanya, pantas mendapat apresisasi positif. Kebijakan elit singapura tersebut bukan hanya membuka ruang kepada elit minoritas setempat, tapi juga terbukti bisa mengantarkan anak penjual nasi Padang sebagai presiden perempuan etnis Melayu pertama di Singapura.Kesadaran kuat semacam itu masih sulit ditemukan di Indonesia. Meski secara hukum telah menyepakati Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tapi dalam praktik politiknya, justru terjadi hal-hal sebaliknya, entah itu dalam kebebasan beribadah atau dalam kontetasi Pilkada.
Contoh paling tragis terjadi pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Jika menyimak lagi proses Pilkada DKI Jakarta lalu, sungguh memprihatinkan. Aroma "politisasi agama" sangat kuat. Selain mengeksploitasi "sentimen agama", juga terdapat sentimen etnis, bahkan jenazah pendukung Ahok ikut menjadi "korban" terkait adanya gerakan menolak menyalatkan jenazah. Sangat beda dengan Singapura bukan?
Karena itu, kalangan elit politik Indonesia, mestinya banyak belajar dari kedewasaan elit Singapura. Itu wajib dilakukan karena Indonesia lebih besar dari Singapura. Terlebih,masyarakat Indonesia jauh lebih beragam dari Singapura, baik dalam suku, budaya dan agamanya. Kalau praktik-praktik "politisasi agama" terus digencarkan di Indonesia, bagaimana Indonesia bisa berkembang maju mengejar ketertinggalan? Jangankan berkembang maju, kalau praktik-praktik "politisasi agama" tetap dihalalkan dalam kontestasi Pilakada maupun Pilpres, maka Indonesia dapat terpecah-pecah akibat ambisi buta segelintir elit. Sebelum terlambat, masyarakat Indonesia perlu mewaspadai hal ini. Setidaknya, jangan sampai dibohongi dengan "politisasi agama" demi menjaga kesatuan dan keberagaman Indonesia. (@SutBudiharto)