Pada awal abad XX tumbuh elit modern Indonesia yang gejala dan prosesnya juga tampak dalam konteks lokal Surakarta yang semula merupakan kota kerajaan di pedalaman yang diawasi pemerintah kolonial, mulai berubah wajah dan semangatnya. Perubahan ini disebabkan berbagai faktor yang mendorong berbagai kemajuan di tanah kerajaan berkaitan dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dari status kerajaan hingga berbagai kebijakan ekonomi – politik kolonial.
A. Struktur Masyarakat
Surakarta sejak lama telah berhubungan dengan bangsa-bangsa lain. Kehadiran bangsa-bangsa lain maupun etnis lain dari luar Surakarta menyebabkan pertemuan beberapa kebudayaan yang berlainan itu semakin “erat”. Kebudayaan asing yang masing-masing didukung oleh etnik berbeda mempunyai struktur sosial yang berbeda pula, bercampur dalam wilayah Surakarta. Akibat pertemuan kebudayaan tersebut, kebudayaan Jawa di Surakarta diperkaya dengan berbagai kebudayaan lain. Lambat laun pengaruh tersebut semakin besar mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan. Terkait dengan pertemuan berbagai kebudayaan itu menimbulkan perubahan struktur pada masyarakat Jawa. Selain itu wilayah-wilayah kerajaan telah memiliki struktur sosial tradisional yang bertahan hingga pemerintahan kolonial dan bahkan dipertahankan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian politik kolonialnya.
Banyak ahli antara lain Burger[1], Wertheim[2], Larson[3], Kuntowijoyo[4], Sartono Kartodirdjo[5], Houben[6] dan sebagainya yang telah membahas tentang stratifikasi sosial masyarakat Jawa, khususnya Surakarta. Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat di Surakarta sangat bertalian dengan kedudukan keraton di dalam struktur sosial di Jawa. Struktur masyarakat di Surakarta memiliki dua anutan yaitu struktur masyarakat tradisional kerajaan dan struktur masyarakat yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut F.A. Sutjipto[7] lapisan atas atau merupakan kelas elite, priyayi luhur, atau wong gede, merupakan kelas yang memerintah. Di strata ini ada raja dan para bangsawan serta pejabat kerajaan. Sebenarnya bila dilihat dalam sistem kategorisasi, kelompok atau golongan ini merupakan kelompok campuran priyayi yang berasal dari darah dalem dengan priyayi yang karena pangkat atau pengabdian. Adapaun lapisan bawah atau rakyat biasa, rakyat kecil atau wong cilik merupakan mayoritas penduduk kelas yang diperintah, baik penduduk kota maupun yang berada di pedesaan. Mereka adalah para pekerja yang tidak terdidik atau sedikit mendapat latihan kerja di perusahaan kecil. Rakyat kecil ini biasanya bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh perkebunan dan pabrik serta tukang, perajin dan lainnya.
Sartono Kartodirdjo lebih menekankan pada analisis tentang struktur pada masyarakat Jawa selama jaman kolonial, yang dipusatkan pada ”peranan pekerjaan dan pendidikan serta sebagai indikasi posisi sosial”. Pengamatan perubahan struktur sosial dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dalam perspektif sejarah karena masyarakat Jawa pada masa itu sebagian besar masih berakar pada tradisi lama.[8]Dampak perkembangan pendidikan dan pengajaran, menurut Sartono, menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan. Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo membagi masyarakat Hindia Belanda dalam beberapa kelompok sosial, yaitu: 1) elite birokrasi yang terdiri dari Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi, 2) Priyayi birokrasi termasuk Priyayiningrat, 3) Priyayi profesional, 4) golongan Belanda dan golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa, dan 5) orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung[9].
Struktur sosial tradisional menempatkan raja dan priyayi sebagai kelas penguasa sedangkan rakyat biasa yang terdiri dari petani, pedagang sebagai kelas yang diperintah. Struktur masyarakat tradisional ini mulai dirombak oleh pemerintah kolonial Belanda semenjak diberlakukannya politik liberal dan dilanjutkan hingga politik etis diberlakukan. Dengan direduksinya kekuasaan feodal Surakarta maka struktur masyarakat Surakarta pada masa awal abad XX mengalami perubahan dengan diberlakukannya struktur masyarakat yang dibuat oleh pemerintah kolonial yaitu golongan Eropa menempati piramida tertinggi dilanjutkan dengan golongan Timur asing yang terdiri dari bangsa China, Arab dan asia lainnya. Masyarakat pribumi Surakarta ditempatkan sebagai masyarakat kelas bawah dalam struktur masyarakat kolonial Belanda.
Konsekuensi dari pembagian struktur masyarakat kolonial di Surakarta adalah berhubungan dengan politik yaitu untuk melemahkan kekuasaan golongan bangsawan yang memiliki kekuasaan penuh dalam struktur masyarakat tradisional. Walaupun begitu, pemerintah kolonial Belanda tidak menghapuskan struktur masyarakat tradisional di Surakarta secara penuh, struktur masyarakat tradisional ini digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam mengatur masyarakat di wilayah Surakarta. Selain itu, pembagian struktur masyarakat kolonial ini juga memberikan hak dan kewajiban yang berbeda dalam kehidupan masyarakat di Surakarta.
Suhartono[10] menggambarkan bahwa masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial yang besar yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dam priyayi, dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dan lain-lain. Bangsawan adalah golongan sosial atas yang memiliki hubungan genealogi dengan raja. Mereka merupakan sentana atau keluarga raja. Priyayi juga termasuk golongan sosial atas dan mereka merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau narapraja.
Dua golongan sosial yaitu priyayi dan wong cilik menempati wadah budaya yang berbeda yang ditunjukkan oleh struktur apanage. Di satu pihak, priyayi dengan gaya hidupnya, kebiasaan, makanan, dan pakaian, serta simbol-simbolnya menunjukkan gaya aristokrat. Keadaan semacam ini menjadi pola ideal bagi priyayi, bahkan Dezentje, penyewa tanah asing yang luas meniru gaya hidup bangsawan Jawa. Di lain pihak bagi wong cilik, lingkungan pedesaan banyak mempengaruhi tingkah laku mereka. Kebiasaan polos, terbuka, dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan.
Status sosial memiliki hirarki yang terdiri dari golongan-golongan sosial sebagai berikut, golongan penguasa, bangsawan, dan priyayi menempati status sosial atas. Para elit birokrat yang mendapatkan tanah apanage membentuk golongan penguasa. Mereka hidup dari pajeg, pundhutan, dan berbagai layanan. Status sosial serta hak-hak pribadi mereka dapat diketahui dari gelar dan lambang yang dipakai yang menunjukkan dari golongan mana mereka berasal.
Bersamaan dengan perkembangan birokrasi kolonial dan agro-industri pada pertengahan abad XIX, golongan birokrat makin kuat statusnya untuk mendukung pelaksanaan administrasi kolonial. Banyak jabatan dalam pemerintahan kolonial mulai diisi oleh priyayi cilik, seperti juru tulis, penarik pajak dan kasir sampai dengan pengawas-pengawasnya dengan gelar mantri. Jadi kedudukan golongan bangsawan dalam birokrasi kolonial maupun dalam pemerintahan kerajaan mulai tergeser setelah masuknya golongan priyayi cilik.
Kuntowijoyo[11] menegaskan bahwa keberadaan priyayi cilik yang mampu menguasai kedudukan dalam birokrasi kerajaan maupun birokrasi kolonial dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu suwita padapriyayi tinggi kemudian magang pada salah satu profesi. Diwisuda menjadi priyayi sungguhan adalah sebuah kehormatan bagi seseorang. Maka mata rantai kepriyayian yang bergerak dari bawah ke atas itu menjadikan politik bagi priyayi adalah patron-client politics. Hal ini berlaku baik bagi priyayi yang bekerja dalam pemerintahan maupun yang bekerja sebagai abdi dalem keraton.
[ Joko Prayitno - Phesolo - BERSAMBUNG ]
[1] D.H. Burger, Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Bharata, 1983).
[2] W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
[3] George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990).
[4] Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004).
[5] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hal. 92.
[6] Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, (Yogyakarta: Bentang, 2002), hal. 604.
[7] F.A. Sutjipto, Beberapa Aspek Kehidupan Priyayi Jawa Masa Dahulu, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, Seri Bacaan Sejarah Indonesia, No. 11, t.t.), hal. 1-2.
[8] Sartono Kartodirdjo, Sejarah…loc.cit.
[9] Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), hal. 11.
[10] Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 32-33.
[11] Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawula: Surakarta 1900-1915, ( Yogayakarta: Ombak, 2004), hal. 109.