Benteng Vastenburg adalah bagian upaya Belanda dalam "melumpuhkan" Kasunanan Surakarta
Sebagai kerajaan,
Keraton Kasunan Surakarta, memiliki sebuah stuktur pemerintahan yang tersusun
atas beberapa lembaga. Salah satu di antaranya adalah lembaga peradilan. Secara
kelembagaan, pengadilan keraton memberikan kontribusi dalam menegakkan hukum, menciptakan
keamanan dan ketertiban di wilayah Kasunanan Surakarta. Selain itu sistem
peradilan kraton adalah lembaga penegak hukum yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan yang dapat mengancam eksistensi
Raja. Sedang aturan hukum yang diberlakukan pada masa kekuasaan Keraton
Kasunanan Surakarta mengalami perkembangan dinamis mengikuti pergantian tahta
raja dan adanya pengaruh dunia barat menyusul masuknya kolonialisme dari Barat
di Jawa. Tulisan berikut adalah rangkuman Sutrisno Budiharto dari berbagai
sumber :
Perkembangan Angger
Nawala Pradata Pada Masa Kerajaan Mataram
Salah satu produk hukum
penting di Keraton Kasunan Surakarta adalah Angger Nawala Pradata yang
memuat aturan-aturan hukum berbagai jenis tindakan hukum sekitar tata kehidupan
masyarakat di bawah pemerintahan Kasunanan Surakarta. Namun aturan hukum dalam Angger
Nawala Pradata ini konon sudah mulai dirumuskan sejak zaman Kerajaan
Mataram Islam yang merupakan cikal-bakal dari berdirinya Kasunanan Surakarta.
Dari masa ke masa, Angger Nawala Pradata mengalami amandemen atau
pembaharuan supaya tetap relevan dengan perkembangan zaman [1].
Penyusunan Angger
Nawala Pradata tidak terlepas dari pengaruh kolonial Belanda. Larson
mengatakan, bahwa situasi politik Kasunanan sangat dipengaruhi oleh sikap dari
pihak Kasunanan sendiri terhadap pemerintah Belanda, Mangkunegaran, penduduk
dan wilayah di luar kerajaan [2]. Pengaruh
hukum Barat terhadap undang-undang yang berlaku di kerajaan ini konon
berlangsung sejak tahun 1709 ketika Pakubuwono I (1705-1719) masih bertahta di
Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Ketika itu, Pakubuwono I membahas sebuah
perjanjian dengan Belanda, salah satunya mencakup tata cara pelaksanaan
pengadilan [3].
Dalam perjanjian 1709
tersebut Sunan harus menyerahkan pelaksanaan pengadilan dan tanah di sebelah
timur Gunung Merapi dan Gunung Merbabu kepada pemerintah Belanda [4].
Kemudian pada masa
pemerintahan Pakubuwono II (1726-1749), tepatnya pada tanggal 7 Maret 1737,
terjadi Judisdictie Contract (Perjanjian Hukum) antara Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dengan pihak Belanda. Dalam Judisdictie Contract
tersebut terdapat reorganisasi Pengadilan Pradata (Pengadilan
Perdata) yang diberlakukan bagi warga Kesultanan Mataram Islam (pada waktu itu telah
menjadi Kasunanan Kartasura Hadiningrat). Pengadilan Pradata adalah
pengadilan sipil di lingkungan wilayah kekuasaan kerajaan yang menangani
perkara-perkara pidana maupun perdata. Dampak reorganisasi sistem peradilan di
Kasunanan pada masa pemerintahan Pakubuwana II ini membuat seluruh daerah
Mataram masuk ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Akibatnya Mataram
bukan hanya kehilangan wilayahnya tetapi juga harus tunduk pada
peraturan-peraturan pemerintah Belanda termasuk mengenai sistem peradilan [5]. Dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia,
peraturan hukum di Jawa (berupa Nawala Pradata, Angger Ageng, Angger Gunung,
Angger Arubiru, Angger Pradata) hanya berlaku di wilayah Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta, yakni mulai saat berakhirnya kerajaan Mataram pada
akhir abad ke-17 [6].
Perkembangan Angger
Nawala Pradata Pada Masa Kasunanan Surakarta
Setelah Pakubuwono II
memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 1745, nama kerajaan
berubah menjadi Kasunanan Surakarta. Sehingga Pakubuwono II dikenal sebagai
Raja pertama di Kasunanan Surakarta. Kemudian pada tahun 1847 diadakan
perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dengan Susuhunan di Surakarta yang
dimuat dalam Staatsblad van Nederlands Indie tahun 1847 nomor 30. Pada
tahun itu juga keluar peraturan-peraturan lainnya yang dikenal dengan jaman
Regerings Reglement (RR) dari pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan
sistem hukum Belanda menggantikan sistem hukum setempat (contohnya Angger
Pradata Akir). Peraturan-peraturan itu tercantum dalam Staatsblad van
Nederlands Indie tahun 1847 Nomor 23 a.l. tentang Rechterlijke
Organisaties (Organisasi Badan-badan Peradilan), pemberlakuan Burgerlijk
Wetboek (KUH Perdata) dan Wetboek van Koophandel (KUH Dagang). Namun
untuk menghindari kekosongan sistem hukum, maka segala kebiasaan atau adat yang
telah pernah diatur dalam Angger Pradata Akir - maupun peraturan seperti Angger
Sedoso, Nawala Pradata dll. – untuk sementara masih bisa dipergunakan [7]. Artinya, Perjanjian 1847 itu sangat tidak
menguntungkan bagi Kasunanan Surakarta karena Pakubuwono II menyerahkan
kedaulatan kerajaannya kepada pihak Belanda, termasuk juga dalam ranah
pengadilan dan hukum. Perjanjian Kasunanan Surakarta dengan Belanda tersebut
akhirnya berpengaruh pada kekuasaan raja Kasunanan Surakarta berikutnya.
Pada masa pemerintahan
Pakubuwana III (1749-1788) dan masapemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820)
sistem peradilan masih berjalan di bawah peraturan pemerintah Belanda.Ketika
Pakubuwono IV (1788-1820) berkuasa hanya mewarisi hasil-hasil perjanjian
Kasunanan Surakarta dengan Belanda yang sudah dirumuskan oleh raja sebelumnya.
Sehingga kedudukan Kasunanan Surakarta hanya sebagai bawahan dari pihak
kolonial Belanda.
Namun, pada era
kekuasaan Pakubuwono IV terjadi penetapan Pengadilan Surambi sebagai
pengadilan tertinggi sekaligus sebagai pengadilan banding bagi kasus-kasus yang
tidak dapat diselesaikan oleh Pengadilan Pradata dan Pengadilan
Balemangu (pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan, semacam
pengadilan agraria, dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan). Pengadilan
Surambi sendiri adalah pengadilan yang berlandaskan pada Syariat (Hukum)
Islam. Sebelum ditetapkan sebagai pengadilan tertinggi, Pengadilan Surambi
menangani perkara-perkara hukum keluarga (misalnya nikah, talak, dan waris),
serta kasus-kasus pidana.
Pengaruh kolonial
Belanda pada era PB IV sangat kuat. Bahkan, undang-undang Angger Nawala
Pradata mengalami amandemen dengan memperluas wewenang dan tugas Pengadilan
Pradata untuk menangani perkara-perkara kriminal. Kasus-kasus tindak
kriminal yang diatur dalam Angger Nawala Pradata antara lain: perkara
yang berhubungan dengan tindak perampokan, pencurian (termasuk pencurian
hewan), atau perampasan, praktek penggelapan, perjudian, dan lain sebagainya.
Perkembangan berikutnya, masih dipengaruhi oleh sistem administrasi Belanda,
kasus-kasus sipil seperti membakar rumah, menyamun, dan sejenisnya, dimasukkan
ke dalam kategori perkara kriminal. Pada tanggal 15 Mei 1771, perkara-perkara
di atas dicantumkan ke dalam kitab hukum undang-undang Angger Nawala
Pradata.
Rumusan undang-undang Angger
Nawala Pradata juga mencakup mengenai penanganan bagi perkara yang
berhubungan dengan pengadilan, seperti peraturan cara mengajukan perkara ke
pengadilan, peraturan mengenai penyelesaian perkara sehubungan dengan usaha
merintangi kelancaran pengadilan, peraturan terhadap perkara sehubungan dengan
usaha melindungi pelaku tindak kejahatan, dan lain sebagainya. Kasus yang muncul
dalam kehidupan sehari-hari pun diatur dalam Angger Nawala Pradata. Penanganan
kasus-kasus umum itu, misalnya peraturan tentang seseorang yang mengadakan
perjalanan di malam hari, aturan tentang urusan utang-piutang dan gadai,
peraturan tentang perkara seseorang yang mengganggu wanita, aturan tentang
penemuan dan kehilangan barang, aturan tentang perselisihan suami-isteri,
aturan yang berhubungan dengan izin membuka penginapan, aturan yang berhubungan
dengan penyelenggaraan pementasan, pertunjukan, atau acara keramaian lainnya,
aturan tentang pemeliharaan hewan, aturan yang berhubungan dengan tata tertib
lalu lintas, dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan
Pakubuwana V(1820-1823) dan Pakubuwana VI (1823-1830) masih tetap seperti masa
sebelumnya, khusuhnya mengenai pengaruh Belanda pada aturan hukum di Kasunanan
Surakarta. Tidak adanya perubahan peradilan yang signifikan pada waktu itu,
karena Sunan tidak sempat memikirkan perbaikan dalam pemerintahan mereka.
Selain disebabkan oleh singkatnya masa pemerintahan juga karena kondisi politik
saat itu tidak mendukung untuk memperbaiki pemerintahan akibat dari munculnya
pemberontakan yang terjadi di Kasunanan. Perubahan yang cukup signifikan
terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwana VII (1830-1858). Pada waktu itu
sistem pengadilan tradisional berubah seiring dengan reorganisasi yang
dilakukan pemerintah Belanda. Perubahan tersebut mengakibatkan muncul beberapa
pengadilan di wilayah Kasunanan termasuk adanya pengadilan pradata. sistem
peradilan di Kasunanan Surakarta mengalami banyak perubahan seiring dengan
perubahan pembagian wilayah kerajaan Mataram. Tiap-tiap daerah Vorstelanden
memiliki pengadilan sendiri-sendiri [8].
Pada masa Pakubuwono VII
(1830-1858), tepatnya pada tahun 1847, keberadaan Pengadilan Balemangu
dihapuskan. Alasannya adalah pengadilan agraria ini dinilai tidak mampu
menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Penghapusan Pengadilan
Balemangu ditetapkan melalui Acta van Overeenkomst (Akta Perjanjian)
dengan menghadirkan ahli hukum Belanda, Baron de Geer, yang kemudian diangkat
menjadi Residen di wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Setelah dihapuskan,
tugas dan wewenang Pengadilan Balemangu dilimpahkan kepada Pengadilan
Pradata. Ini artinya, undang-undang Angger Nawala Pradata pun
mengalami tambahan pembahasan untuk mengatur segala hal yang sebelumnya
ditangani oleh Pengadilan Balemangu. Perkara-perkara yang ditangani oleh
Pengadilan Balemangu cakupannya sangat luas, dan oleh karena itu, sejak
tahun 1874, Pengadilan Pradata dipecah menjadi dua dengan bagian
penanganan urusan yang berbeda, yaitu urusan perkara pidana dan urusan perkara
perdata.
Semua aturan tentang Pengadilan
Pradata pun diatur dalam undang-undang Angger Nawala Pradata,
misalnya orang-orang bertugas di pengadilan. Disebutkan bahwa Pengadilan
Pradata dipimpin oleh seorang wedana jaksa dengan dibantu oleh 12 orang
mantri jaksa. Keduabelas mantri jaksa ini masing-masing terdiri atas: satu
orang dari Kepatihan, satu orang dari Kadipaten Anom, satu orang dari Pangulon,
satu orang dari Prajurit, dan delapan orang Abdi Dalem Bupati Nayaka.
Ketua Pengadilan Pradata diberi gelar Ngabehi Natayuda, namun
pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV, gelar tersebut diubah
menjadi Ngabehi Amongpraja. Sedangkan untuk para pembantu ketua atau
para pelaksana Pengadilan Pradata dianugerahi gelar Lawang Sarayuda,
sebagaimana disebutkan dalam Angger Nawala Pradata PB IV berikut ini:
Marmane Si
Ngabehi Amongpraja Ingsun gadhuhi nawalaningsun, dene Ingsun gawe kawulaningsun
Jaksa ana ing Pradhataningsun. Iku Ingsun andhikakaken ambeneri marang sakehe
kawulaningsung ingkang padha apara padu, iku Si Ngabehi Amongpraja, sira
anganggoa ingkang temen-temen lan ingkang resik-resik; sarta ikhlas atinira,
lan sakancanira jejeneng Lawang Sarayuda kabeh,…
Sejak tahun 1824, atau
pada masa kepemimpinan Pakubuwono VI (1823-1830), gelar Ketua Pengadilan
Pradata diganti menjadi Ngabehi Tumenggung. Selanjutnya, pada masa
pemerintahan Pakubuwono VII, tepatnya sejak tahun 1847, susunan pelaksana Pengadilan
Pradata mengalami sedikit perubahan. Patih Dalem didapuk sebagai ketua
pengadilan dengan 6 orang bupati yang diangkat oleh Sri Susuhunan Pakubuwono
sebagai anggota Pengadilan Pradata. Selain itu, pelaksanaan tugas-tugas
di Pengadilan Pradata juga dibantu oleh 2 orang pejabat lainnya, yakni Ngabehi
Hamong Praja dan Pengulu Tafsir Anom atau Ketua Pengadilan
Surambi. Perihal perubahan susunan kepegawaian Pengadilan Pradata ini
juga ditegaskan di dalam Angger Nawala Pradata sebagai berikut:
Kang dadi
panggedhene ing Pradata Dalem Adhipati akanthi wadana nenem,
apadene akanthi raden tumenggung hamong praja, lan mas pengulu tafsir anom,
anadene wadana mau kang gawe Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan.
Angger Nawala Pradata juga menjelaskan
pembedaan Pengadilan Pradata yang berkedudukan di ibukota Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dengan Pengadilan Pradata yang ada di daerah. Pengadilan
Pradata di ibukota istana disebut dengan nama Pengadilan Pradata Gedhe,
sedangkan Pengadilan Pradata yang berada di daerah dinamakan pengadilan
Pradata Kadipaten. Mengenai hal ini, diterangkan dengan gamblang dalam Angger
Nawala Pradata sebagai berikut:
Sarehning
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan wis kagungan karsa,…
amuwuhi Pengadilan Dalem ana sajabaning nagara enem panggonan kaaranan
Pradata Kabupaten. Ing mangke parenging karsa Dalem kalawanan condonging
Kanjeng Tuwan Residen, Pradata Dalem sajroning nagara kaaranan Pradata Gedhe
ing Surakarta.
Sejak diterapkannya
pembagian Pengadilan Pradata yang ada di ibukota dan di daerah, maka Pengadilan
Pradata Gedhe yang berkedudukan di pusat pemerintahan ditetapkan menjadi
pengadilan tertinggi di Kasunanan Surakarta, menggusur posisi puncak yang
semula diduduki oleh Pengadilan Surambi. Perubahan ini tidak terlepas
dari hegemoni pemerintah kolonial Hindia Belanda yang tetap berusaha menanamkan
pengaruhnya di dalam urusan internal Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Ditetapkannya Pengadilan Pradata Gedhe sebagai pengadilan tertinggi
kerajaan untuk menggantikan posisi Pengadilan Surambi dapat dimaknai
sebagai upaya menggeser kedudukan hukum Islam (yang diejawantahkan melalui Pengadilan
Surambi) sebagai dasar hukum pengadilan di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dengan demikian, lembaga pengadilan yang berhubungan dengan kepentingan dan
ketertiban umum memiliki posisi yang lebih tinggi daripada lembaga pengadilan
yang bersifat lebih khusus.
--------------------------------------------------------
[1] Angger Nawala
Pradata Kasunanan; http://kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/hukum/
[2]G. D Larson, Masa
Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, (Yogyakarta:
UGM Press, 1989), hal., 5.
[3] Angger Nawala
Pradata Kasunanan; http://kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/hukum/
[4]Serat Perjanjian
Dalem Nata, ( Surakarta: Radya Pustaka, 1940), hal., 19.
[5] Achmad Ridwan
(Skripsi);"Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum
di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903"; Universitas Sebelas Maret
Suirakarta – 2010.
[6]Ugrasena Pranidhana;
"Angger Pradata Akir:" Peraturan Hukum di Kerajaan Jawa Sesudah
Mataram"; Makara Sosial Humaniora Vol.7 No.2 Desember 2003.
[7]Ugrasena Pranidhana;
"Angger Pradata Akir:" Peraturan Hukum di Kerajaan Jawa Sesudah
Mataram"; Makara Sosial Humaniora Vol.7 No.2 Desember 2003.
[8] Achmad Ridwan
(Skripsi);"Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum
di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903"; Universitas Sebelas Maret
Suirakarta – 2010.
Posting Komentar
0Komentar