Uang Lebih Berkuasa dari Tuhan dan Negara

Pada mulanya, manusia hanya melakukan barter barang dalam menjalankan aktivitas social-ekonominya. Namun, setelah Croesus menciptakan koin emas dan perak sebagai alat tukar pengganti barter, akhirnya lahirlah uang. Ketika Indonesia baru merdeka, juga menerbitkan aneka macam uang. Perkembangan jenis uang yang beredar di Indonesia setelah 1945 cukup beragam.






  










Sekedar tahu, Croesus adalah Raja orang Lydian yang memerintah di Yunani (kini di bawah Turki) pada 560-546 Sebelum Masehi [baca britishmuseum.org]. Dalam sejarah pemakaian uang kertas, Cina dianggap sebagai bangsa pertama menggunakannya, yaitu sekitar abad pertama Masehi pada masa Dinasti T’ang. Sedangkan pada abad modern, Benjamin Franklin ditetapkan sebagai Bapak Uang Kertas karena ia yang pertama kali mencetak dolar dari bahan kertas yang semula digunakan untuk membiayai perang kemerdekaan Amerika Serikat

Pada perkembangannya, uang di masa kini ternyata memberikan pengaruh luas pada sosio-kultural masyarakat. Bahkan, kadang uang dapat dianggap lebih berkuasa dari Tuhan dan Negara. Faktanya, pada era liberal ini, tidak sedikit orang lebih mementingkan uang dari pada Tuhan dan Negaranya. Apakah uang di Indonesia juga memiliki “kesaktian” semacam itu? Silakan saja direnungkan sendiri. Yang jelas, wajah uang Indonesia di masa lalu cukup unik, seperti yang tampak dalam foto-foto di bawah ini:  

Perkembangan jenis uang yang beredar di Indonesia setelah 1945 beragam. Contohnya adalah;
ORI (Uang Republik Indonesia) di pulau Jawa
URIDAB (Uang Republik Indonesia Daerah Banten)
URIPS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera)
URITA (Uang Republik Indonesia Tapanuli)
URIPSU (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara)
URIBA (Uang Republik Indonesia Baru Aceh)
UDMP (Uang Dewan Mandat Pertahanan Daerah Palembang).
Setelah tahun 1951, uang yang ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah adalah rupiah (Hukum Darurat No. 20 tanggal 27 September 1951 kemudian diperkuat dengan UU Pokok Perbankan No. 13 Tahun 1968)

[Sutrisno Budiharto/ dari berbagai sumber ]






Tags: