Ada Apa Indonesiaku: Masalah Konflik Rohingya Sampai Diimpor ke Indonesia?

Munculnya krisis kemanusiaan di Rakhine State, Myanmar, adalah akibat konflik yang memiliki latar bekalang cukup pelik. Konflik itu sudah berlangsung cukup lama dan tak bisa dilepaskan dari pengaruh sejarah konflik pada masa kerajaan dan kolonial Inggris. Anehnya, konflik di negara anggota ASEAN itu, dieksploitasi oleh pihak tertentu di Indonesia dengan menggiring opini liar yang mengarah pada sentimen suku ras dan agama (SARA). Kenapa bisa jadi seaneh itu?

Keanehan Isu Rohingya yang Berkembang di Indonesia
Untuk mencari jawab keanehan itu, mari lihat hasil analisis opini media online yang dipaparkan Ismail Fahmi melalui facebook. Begini hasil analisis Ismail Fahmi. Dari 10.218 status opini yang masuk dalam filter analisisnya terdapat 5 topik yang dikaitkan dengan isu Rohingya; yakni;
- Pemerintah Indonesia
- Jokowi
- Umat Budha
- Aung San Suu Kyi
- Jenderal Min Aung Hlaing

Dari 10.218 status opini itu, terdapat 33% status opini publik yang mengaitkan isu Rohingya dengan Pemerintah Indonesia, sebanyak 25%  mengaitkan isu Rohingya dengan Jokowi, sebanyak 19% mengaitkan isu Rohingya dengan Umat Budha, sebanyak 18% opini mengaitkan isu Rohingya dengan Aung San Suu Kyi, dan sebanyak 6% opini mengaitkan isu Rohingya dengan Jenderal Min Aung Hlaing.

Di sinilah letak keanehannya. Dari sisi hukum  apa pun, konflik yang terjadi di Rakhine State, jelas menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Myanmar. Karena itu, seharusnya Pemerintah Myanmar yang menjadi sasaran publik dalam meminta pertanggungjawaban atas terjadinya konflik tersebut.

Tapi opini yang berkembang di Indonesia ternyata tidak demikian. Opini yang berkembang di Indonesia, justru lebih banyak menekan kepada Pemerintah Indonesia dan Jokowi ketimbang yang mengarah kepada Aung San Suu Kyi dan Jenderal Min Aung Hlaing. Artinya, tekanan ke dalam negeri Indonesia justru lebih besar jika dibanding dengan tekanan kepada Pemerintah Myanmar. Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya pihak tertentu yang ingin "mengimpor" masalah konflik Rohingya ke Indonesia. 

Yang mengkhawatirkan, menurut catatan  Ismail Fahmi, ada juga yang mencoba mengaitkan isu Rohingya dengat Umat Budha di Indonesia. Dari hasil analisis Ismail Fahmi, prosentase opini yang mengaitkan isu Rohingya dengan Umat Budha di Indonesia ternyata malah lebih tinggi ketimbang opini yang mengaitkan isu Rohingya dengan Aung San Suu Kyi dan Jenderal Min Aung Hlaing. Untuk itu, masalah ini patut diwaspadai karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik sentimen SARA yang dampaknya dapat menimbulkan disitegrasi bangsa.

Siapa Aktor "Pengimpor" Masalah Konflik Rohingya ke Indonesia?
Pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa sampai ada yang ingin "mengimpor" masalah konflik Rohingya ke Indonesia? Lantas, siapakah aktor-aktor yang menggiring opini tersebut? Untuk memastikan hal itu, silakan melacak langsung siapa saja yang melontarkan opini isu Rohingya. Hal itu mudah ditemukan dalam dunia maya melalui media sosial (facebook, twitter dll) maupun web-web pemberitaan.

Ini salah satu contohnya.



Dengan menumpang ketenaran icon Tempo, media abal-abal beralamat URL http://media-tempo-today.blogspot.co.id ini, menebarkan berita-berita provokatif sekitar isu Rohingya. Bila mencermati akun media sosial sejumlah tokoh politik, ada juga yang menyampaikan opini-opini cukup aneh. Bahkan, Tifatul Sembiri (mantan Menkominfo (era SBY) dan mantan Presiden PKS), ketahuan menyebar foto hoax terkait isu Rohingya.Seperti ini foto hoax yang diunggah dalam akun twitter @tifsembiring



Di antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga ada yang melempar opini sangat aneh. Salah satunya dipaparkan oleh Fadli Zon melalui akun twitter @fadlizon. Seperti ini screenshoot dari tutur katanya.

Jika memahami pernyataan Fadli Zon di twitter tersebut, rasanya sulit untuk dicerna dengan nalar sehat. Kenapa sulit dicerna dengan akan sehat? Faktanya, sejak tahun 2016 lalu, Pemerintah Indonesia sudah turun tangan langsung untuk mencari penyelesaian konflik Rohingya. Bahkan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah menemui Aung San Suu Kyi. Presiden Joko Widodo sendiri sudah memberangkatkan bantuan ke Myanmar sejak beberapa bulan lalu. Fakta yang terjadi di lapangan, justru Indonesia yang menjadi negara paling depan dalam menangani konflik Rohingya. Hanya perwakilan Indonesia yang dapat diterima Pemerintah Myanmar untuk membicarakan masalah penyelesaian konflik Rohingya karena pihak Pemerintah Myanmar menolak campur tangan dari negara lain maupun lembaga internasional.

Tapi entah kenapa tiba-tiba Fadli Zon melempar pendapat aneh bermuatan sentimen SARA. Dan anehnya, pernyataan konyol itu baru dilontarkan dalam twitter pada 3 September 2017 jam 10.00. Karena itu, Saya segera membalas pernyataannya itu dengan kalimat singkat saja. Begini tanggapan Saya kepada Fadli Zon:

Perkataan anggota DPR ini kurang menghormati dirinya sendiri karena tidak tahu apa yang telah dikerjakan pemerintah Indonesia untuk Rohingya.
Pernyataan Fadli Zon tersebut bukan hanya menunjukkan "kebodohannya" sendiri, tapi juga ada muatan politis berbau sentimen SARA dihembuskan di Indonesia. Ada unsur kebencian dalam perkataan Fadli Zon tersebut.

Waspadai Hoax dan Blokir Politisi Ngawur
Berangkat dari keanehan penggiringan opini konflik Rohingya ini, masyakat Indonesia perlu lebih waspada lagi dalam menangkap informasi di internet. Masalahnya, tokoh-tokoh politik yang seharusnya menjadi panutan, ternyata malah menunjukkan kebodohan-kebodohan yang tidak pantas untuk dicontoh. Bila masyakat Indonesia tidak waspada dalam menyikapi maraknya hoax dan sikap tolol para politsi yang ngawur, maka persatuan dan keberagaman Indonesia dapat terganggu. Artinya, masyarakat perlu pintar-pintar memetakan mana informasi yang dapat dipercaya dan siapa saja tokoh politik yang termasuk kelas murahan.


Saya sangat setuju dengan pendapat Eko Sulistyo (Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden) bahwa negara harus hadir melawan "hate speech" untuk mencegah timbulnya disitengrasi bangsa berlatar SARA. "Jangan ada lagi konflik berdarah sesama anak bangsa berbasis agama dan etnis di bumi Indonesia.  Bangsa dan rakyat Indonesia yang damai dan bhineka kelewat berharga untuk dipertaruhkan."

Idelanya, pelaku penyebar berita palsu dan penebar kebencian harusnya ditindak secara hukum seperti yang sedang dilakukan polisi terhadap Sindikat Saracen. Naman alangkah baiknya jika masyarakat lebih dini mencegah penyebaran hoax. Bila mendapati poltisi kelas muarahan yang menyebar hoax atau pernyataan ngawur, bisa segera diblokir saja. Dari pada pening memikirkan penebar hoax dan kebencian yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa akibat konflik SARA, lebih baik langsung memblokir akun-akun politisi kelas murahan tersebut. Bukan begitu? (@SutBudiharo)