Kronologi Mega Korupsi Rp 38 T Penjualan Kondensat Pada Era SBY
Februari 10, 2018
0
Setelah sekitar dua tahun lamanya, Bareskrim Polri berhasil merampungkan penyidikan kasus dugaan korupsi penjualan kondensat yang melibatkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ( SKK Migas). Sebagaimana telah dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI, sebesar kerugian negara mencapai USD 2,72 miliar atau setara Rp 38 triliun.
Proses penjualan kondensat yang melibatkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ( SKK Migas) dilakukan pada 2009 ketika SBY menjadi Presiden Indonesia. Sedang pengusutan perkara dugaan korupsi lewat penjualan kondensat sudah dilakukan Bareskrim Polri sejak 2015. Korupsi itu melibatkan SKK Migas (dulu bernama BP Migas), PT TPPI dan Kementerian ESDM. Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana.
Pertama, yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh SKK Migas untuk menjual kondensat. Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan wakil presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina. TPPI justru menjualnya ke perusahaan lain. Penyidik juga menemukan bahwa meski kontrak kerja sama SKK Migas dengan PT TPPI ditandatangani Maret 2009, namun PT TPPI sudah menerima kondensat dari BP Migas sejak Januari 2009 untuk dijual.
Selain itu, PT TPPI juga diduga tidak menyerahkan hasil penjualan kondensat ke kas negara. Kalkulasi dari Badan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat dugaan korupsi itu mencapai 139 juta dollar AS.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Mohammad Iqbal mengatakan, penyidik telah menyelesaikan berkas perkara TPPI dengan membagi menjadi dua berkas. "Pertama, berkas perkara dengan tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono. Kedua, berkas perkara dengan tersangka Honggo Wendratno," kata Iqbal dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (16/12/2017).
Iqbal menjelaskan, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka adalah tindak pidana korupsi pengolahan kondensat bagian negara yang melawan hukum, tanpa dilengkapi kontrak kerjasama, mengambil dan mengolah, serta menjual kondensat bagian negara yang merugikan negara. "Sebagaimana telah dilakujan audit perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI sebesar 2,72 miliar dollar AS," ucap Iqbal.
Penyidik telah mengirimkan berkas perkara ke jaksa penuntut umum (JPU) sebanyak empat kali. Penyidik juga telah memenuhi petunjuk formil dan materiil dari JPU. Penyidik telah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana itu. Hingga saat ini penyidik sudah memeriksa 30 saksi, baik dari pihak SKK Migas, PT TPPI dan Kementerian ESDM. Belakangan.
Dalam kasus ini, penyidik telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni Djoko Harsono, Raden Priyono dan Honggo Wendratno. Dua tersangka di antaranya telah ditahan, yakni; Djoko Harsono dan Raden Priyono. Sementara Honggo Wendratno jadi buron.
Sebelumnya, Honggo Wendratno tak bisa ditahan karena menjalani perawatan kesehatan pascaoperasi jantung di Singapura. Akan tetapi, Singapura melalui akun Facebook Kedutaan Besar Singapura untuk Indonesia membantah keberadaan Honggo di Singapura. "Honggo Wendratno tidak ada di Singapura. Kami telah menyampaikan hal ini kepada pihak berwenang Indonesia pada kesempatan sebelumnya. Singapura telah memberikan bantuan penuh kepada Indonesia dalam kasus ini, sesuai dengan undang-undang kami dan kewajiban internasional," demikian pernyataan resmi Kemenlu Singapura.
Dilansir merdeka.com, Kabagpenum Divhumas Mabes Polri, Kombes Pol Martinus Sitompul menegaskan Polri akan menyebarkan foto tersangka dugaan korupsi dan pencucian uang penjualan kondensat bagian negara, eks Direktur Utama TPPI Honggo Wendratno. Sementara itu, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengaku dirinya telah berkoordinasi mengenai hilangnya Honggo Wendratmo dengan atase polisi Singapura.
"Saya sudah kontak dengan atase polisi sana, bahwa dia udah cek bahwa tidak ada dokumen yang mendukung bahwa Honggo ada di Singapura, tetapi kan kita harus cek lagi, karena tidak menutup kemungkinan dia menggunakan identitas lain," kata Setyo.
Setyo menjelaskan, Polri mengendus penyamaran identitas Honggo saat singgah di Singapura untuk berobat. Namun saat di kroscek, yang bersangkutan berhasil menyamarkan jejak dan berlabuh ke tempat lain. Polri pun kini kehilangan jejak Honggo. "Kalau informasinya kan yang bersangkutan sakit di sana, sudah di cek oleh atase ternyata tidak ditemukan. Dokumen nya juga enggak ada, dokumen dia keluar (dari Singapura) mana juga enggak ada," tutur Setyo.
SES NCB Interpol, Brigjen Pol Napoleon Bonaparte mengatakan Bareskrim Polri beberapa bulan lalu sudah meminta red notice kepada Interpol Pusat di Lyon, Perancis, yang disebar ke 192 negara. Bahkan sampai dengan minggu kemarin, penyidik masih meminta lagi atau memberikan reminder letter kepada negara-negara tertentu.
"Yang kita detected sering dikunjungi oleh dia dan kami masih menunggu respons dari negara itu. Yang baru merespons baru Singapura menyatakan tidak ada di Singapura, tapi kami akan tetap melakukan kroscek-kroscek kepada dia," kata Napoleon.[berbagai umber]
Posting Komentar
0Komentar