Film dokumenter "Gegijzeld in Indonesie" produksi TV Nasional Belanda ini mengkisahkan penyanderaan dan pembebasan dua warga negara Belanda: Martha Klein dan Mark van der Wal di Mapenduma, Papua di tahun 1996.
Pada waktu itu, Martha dan Mark tergabung dalam sebuah ekspedisi yang dinamakan "Ekspedisi Lorenz". Mereka disekap bersama 11 orang lainya oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik yang menghendaki kemerdekaan Papua dari Republik Indonesia. Pada bulan Mei 1996, Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) berhasil membebaskan para sandra setelah menggelar operasi berlabel "Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma".
Berikut video "Gegijzeld in Indonesie"
Mengapa Navy dan Yosias Dibantai?
SELAMA empat bulan lebih seminggu, persisnya 129 hari, 11 sandera di
tangan yang menamakan diri Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau yang
disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan Irian Jaya (GPK Irja), hidup
di tengah hutan belantara. Konon, terutama di hari-hari terakhir
penyanderaan, mereka kadang makan, kadang tidak. Barulah sergapan
Operasi Militer Pembebasan Sandera, yang sebagian besar anggotanya
dari Kopassus, benar-benar mengakhiri penderitaan mereka. Memang, tak
sepenuhnya ini sebuah sukses besar, 2 dari 11 sandera ditemukan tewas.
Berikut kronologi penyanderaan disusun dari berbagai sumber.
8 Januari 1996. Dikabarkan oleh Mission Aviation Fellowship cabang
Wamena kepada Kodim Jayawijaya, Irian Jaya, sejumlah peneliti yang
tergabung dalam Ekspedisi Lorentz '95 disandera oleh OPM kelompok
Kelly Kwalik, di desa Mapenduma, kecamatan Tiom, kabupaten Jayawijaya.
Ekspedisi itu sendiri sudah berada di Mapenduma, sekitar 160 km di
barat daya Wamena, sejak tanggal 18 November 1995.
10 Januari 1996. Kodim Jayawijaya melaporkan adanya penculikan itu ke
Kodam Trikora. Belakangan diketahui, jumlah sandera 26 orang termasuk
seorang bayi berusia sekitar enam bulan. Tujuh orang sandera adalah
warga negara asing (empat Inggris, dua Belanda, dan satu Jerman).
11 Januari 1996. Kodam Trikora mengirimkan pasukan gabungan ke lokasi
penyenderaan. Pada hari itu juga pasukan Kopassus tiba di Jayapura,
dan langsung ke Wamena, kabupaten Jayawijaya.
13 Januari 1996. Sembilan sandera dibebaskan di Desa Jigi, Kecamatan
Tiom. Mereka adalah empat karyawan Puskesmas Mapenduma, tiga aparat
desa Mapenduma, dan dua guru SD Mapenduma. Pada hari yang sama, untuk
pertama kalinya, penyandera melakukan kontak pembicaraan dengan
Keuskupan Jayapura melalui radio komunikasi lapangan (SSB). Kepada
Uskup Munninghoff di Keuskupan Jayapura itu, penyandera minta
disediakan helikopter dan menyatakan keinginannya bertemu dengan tokoh
agama.
15 Januari 1996. ABRI mengirimkan dua buah helikopter, obat-obatan,
dan tiga tokoh agama: Paul Bourkat (ketua Missionaris), dan anggotanya
bernama Andreas van der Boel, dan Uhuwanus Gobay (dari Sinode GKII).
Mereka diharapkan menjadi mediator, karena mereka cukup akrab dengan
Desa Mapenduma.
Hari itu helikopter pulang ketambahan satu penumpang, Frank Momberg,
warga negara Jerman anggota WWF (World Wide Fund for Nature), salah
satu lembaga yang ikut mendukung tim Ekspedisi Lorentz ini. Ia memang
dilepaskan oleh penyandera, diminta menjadi mediator mewakili
penyendera. Dari Moberg-lah diketahui seorang sandera, Martha Klein
dari UNESCO, sedang hamil. Tapi, katanya, mereka semua diperlakukan
dengan baik, semua cukup makan, tak ada yang sakit.
16 Januari 1996. Penyandera membebaskan lagi seorang wanita, Nyonya
Ola Yakobus Mindipa dan bayinya yang baru berusia 6 bulan. Dia adalah
istri Jakobus, petugas di Wapenduma yang biasanya menemani peneliti
dari LIPI, yang juga ikut disandera. Dengan dibebaskannya ibu dan anak
itu penyendera menuntut dikirimi makanan dan obat-obatan.
Kantor berita Reuter mengungkapkan bahwa Inggris telah mengirimkan
tiga orang detektif anggota Scotland Yard ke Irian Jaya. Tetapi,
Kapuspen ABRI Brigjen Suwarno Adiwijoyo mengaku belum mengetahui
kedatangan mereka dan menyatakan bahwa bisa saja mereka datang ke sana
(Irian, Red) untuk berpartisipasi, asalkan menghargi kedaulatan
Indonesia.
17 Januari 1996. ABRI mengirimkan 10 buah selimut, rokok, dan mie
instant dengan helikopter. Ini sebagai pertanda bahwa ABRI lebih suka
mengadakan pendekatan persuasif, dan ini diwakili oleh para
misionaris. Diharapkan mereka berhasil membujuk penyandera membebaskan
sandera. Serangan militer dikhawatirkan membahayakan keselamatan
sandera. Ini baru akan diambil bila jalan persuasif jelas gagal.
Sementara itu Frank Momberg tetap bersama ABRI.
18 Januari 1996.. Di hari ke-11 penyanderaan, wilayah Wamena
ditetapkan sebagai kawasan non-fly zone, bebas penerbangan, kecuali
ada izin dari petugas keamanan.
19 Januari 1996. Komandan Kopassus Prabowo Subianto menyatakan ada
titik terang dalam upaya membebaskan sisa sandera, 14 orang. Ada
pernyataan pers dari Sekjen PBB Boutros-Boutros Ghali agar para
sandera segera dibebaskan melalui cara damai. Pada hari yang sama,
ABRI mengirimkan dua orang misionaris, Paul Bourkat dan Andrian van
der Boel, ke Mapenduma, tanpa Frank Momberg yang dipinjamkan oleh
penyandera.
Pada malam harinya, pukul 20.00 waktu setempat, ABRI
mengeluarkan pernyataan resmi bahwa pejabat ABRI telah mengajukan
rencana pembebasan sandera secara damai kepada penyandera melalui para
perantara. Ini merupakan kesimpulan setelah ABRI mendapat laporan dari
dua misionaris tersebut. Konon, dua misionaris itu bertemu dengan
Daniel Kogoya, komandan operasi yang berada di bawah kepemimpinan
salah seorang tokoh OPM, Kelly Kwalik. Meski begitu, ABRI tetap
menyiagakan pasukan.
20 Januari 1996. Sebuah sumber sipil menyebutkan bahwa para sandera
asing berkirim surat ke negaranya masing-masing, yakni Inggris,
Jerman, dan Belanda dan PBB, melalui kedubes masing-masing di Jakarta.
Surat-surat itu konon dibawa oleh Frank Momberg. Inti dari surat tanpa
sampul yang dibuat tanggal 10 Januari itu, adalah: permintaan agar
ABRI tidak terburu-buru masuk, agar Inggris, Belanda, dan Jerman
mengurus keselamatan mereka, dan bila ABRI masuk mereka akan dibunuh
penyandera.
25 Januari 1996. Negosiasi antara dua misionaris dengan penyandera,
yang sudah langsung dipimpin oleh pimpinan tertinggi sempalan OPM,
Kelly Kwalik, di Mapenduma menemui kegagalan. Pada hari itu Kelly
Kwalik bahkan menghapuskan isyarat-isyarat pembebasan sandera yang
sebelumnya diberikan Daniel Yudas Kogoya. Ini dinyatakan oleh Kepala
Penerangan Kodam Trikora Letkol Maulud Hidayat. Sumber militer di
Wamena mengakui bahwa negosiasi-negosiasi antara ABRI, yang diwakili
misionaris, dan pihak penyandera harus dimulai lagi dari awal.
4 Februari 1996. Setelah ABRI putus kontak dengan penyandera sejak 26
Januari, tersebar spekulasi bahwa Kelly Kwalik telah membawa sandera
yang jumlahnya 14 orang keluar Mapenduma ke arah Papua New Guinea.
6 Februari 1996. Para keluarga sandera asal Inggris yang ditahan di
Irian Jaya mengimbau agar putra-putri mereka segera dibebaskan.
Menurut mereka, putra-putri mereka bukan merupakan bagian dari
"pertikaian" yang terjadi di sana. Keluarga para sandera masing-masing
Maarten van der Kolk, ayah dari Annette van der Kolk, Susan McIvor,
ibu dari Anna McIvor, dan Carolyn Miller ibu dari Daniel Stark, serta
Dr Kate Robson Brown, pacar dari William Oates mendatangi BBC Siaran
Indonesia di London. Pada hari yang sama Kodam Trikora menyatakan
bahwa pihaknya secara keseluruhan sedang melakukan cooling down,
termasuk dalam pemberitaan di media massa.
7 Februari 1996. Tim ICRC (Komite Palang Merah Internasional) yang
akan membantu Satgas ABRI untuk membebaskan sandera tiba di Wamena.
Tim ini terdiri dari Ference Mayer dan Silviane Bonadei. Pada saat itu
dikabarkan bahwa lokasi penyanderaan telah berpindah dari Mapenduma ke
desa Geselama, sama-sama di kecamatan Tiom. Ini merupakan pertemuan
ICRC-Kogoya sejak duet Kwalik-Kogoya memutuskan kontak dengan Satgas
ABRI dan para misionaris 25 Januari 1996. Kepada ICRC, Kwalik-Kogoya
menyampaikan pembebasan sandera tidak bisa dilaksanakan 25 Februari
1996 karena harus menunggu izin dari pimpinan OPM di PNG.
24 Februari 1996. Penyanderaan telah memasuki hari ke-48. Harapan akan
penyelesaian muncul setelah ada pertemuan antara Tim Palang Merah
Internasional dengan Daniel Kogoya di kampung Geselama. Tapi Daniel
masih merahasiakan keberadaan para sandera. Sandera juga menyampaikan
permintaan agar perwakilan dari negara-negara asal sandera: Inggris
dan Belanda, untuk turut dalam rombongan Tim IRC dalam pertemuan
berikutnya. Daniel Kogoya sehari sebelumnya menitipkan film mengenai
foto-foto kondisi para sandera. Tetapi sampai Sabtu malam, film itu
belum tercetak akibat sulitnya mendapatkan studio foto di Wamena.
25 Februari 1996. Daniel Kogoya menyatakan tidak akan membebaskan para
sandera sebelum mendapat kontak dari pimpinan mereka di Papua New
Guinea (PNG). Pernyataan Kogoya itu disampaikan kepada Tim Komite
Palang Merah Internasional. Tim IRC juga belum diberitahu di mana
posisi para sandera dan posisi para anggota OPM lain di sekitar
Geselama itu. Pada pertemuan itu. Kogoya menyampaikan permintaan
obat-obatan, bahan makanan, dan agar pembebasan sandera dihadiri
perwakilan negara para sandera serta diabadikan dengan kamera video.
26 Februari 1996. Diperoleh keterangan bahwa para sandera ditempatkan
di sebuah gua yang dijuluki "gua kelelawar," dengan ketinggian tujuh
meter di atas tanah dengan cara menaiki tangga dan setelah sampai,
tangga diambil kembali. Tim ICRC menyerahkan kaset yang berisi rekaman
kebijakan Pangdam VIII Trikora Mayjen TNI Dunidja bahwa ABRI akan
menarik pasukan dari lokasi sekitar penyanderaan, jika Kelly Kwalik
dan Daniel Kogoya dapat membebaskan sandera dalam keadaan selamat.
Kasum ABRI Letjen Soeyono mengingatkan, pihak ABRI akan mengambil
tindakan tegas kalau sampai penyandera bertindak brutal.
29 Februari 1996. Tim ICRC yang terdiri dari Ferenc Mayer, Rene Suter,
dan Silviane Bonadei bertemu Daniel Kogoya dan 13 sandera, di sebuah
gubug di desa Geselama. Ini merupakan pertemuan pertama antara para
sandera dan orang-orang di luar GPK setelah kontak antara mediator
yang menghubungkan Satgas Pembebasan Sandera yang bermarkas di kantor
Kodim 1702/Jayawijaya dan Daniel Kogoya terhenti,
25 Januari 1996.
Pada pertemuan ini, Kogoya mengirimkan pesan kepada Tim Satgas bahwa
pihaknya baru akan mempertimbangkan kemungkinan pembebasan sandera
setelah pihaknya ada kontak dengan pimpinan GPK OPM di PNG.
2 Maret 1996. Kelly Kwalik-Daniel Kogoya menyatakan tidak akan
melepaskan sandera sebelum mendapat pengakuan pemerintah RI terhadap
keberadaan negara Republik Papua Barat.
4 Maret 1996. Moses Weror, pemimpin dewan revolusi OPM, mengumumkan
bahwa pemimpin umat Katolik sedunia Paus Johanes Paulus II telah
mengirimkan surat kepada Kelly Kwalik dan Kogoya yang isinya agar
mereka segera melepaskan para sandera. Menurut Weror, surat itu dibuat
tanggal 25 Januari 1996 oleh Sekretaris Vatikan Kardinal Angelo Sodano
dan dikirimkan melalui Uskup Jayapura Herman Munninghoff, dan
Kwalik-Kogoya menyerahkan persoalan tersebut kepadanya. Tapi, Weror
baru bersedia memerintahkan pembebasan sandera setelah pemerintah
Indonesia menghubungi dirinya selaku ketua dewan revolusi OPM.
5 Maret 1996. Moses Weror menyatakan keinginannya melakukan negosiasi
dengan pemerintah dengan syarat di dalam delegasi pemerintah terdapat
tokoh seperti Menlu Ali Alatas, Ketua MPR/DPR Wahono, dan Ketua Umum
PDI Megawati, dan pimpinan lembaga internasional. Weror juga menuntut
kehadiran pemerintah Inggris, Belanda, wakil UNESCO, pimpinan Palang
Merah Internasional, dan Uskup Jayapura Herman Munninghoff mewakili
Vatikan. Perundingan inilah yang, kata Weror, akan menentukan
dibebaskan atau tidaknya sandera. Weror menyatakan, batas waktu
pembebaskan sandera adalah September 1996, ketika berlangsung Sidang
Majelis Umum PBB.
6 Maret 1996. Kepala Perwakilan Komite Palang Merah Internasional
untuk Asia Tenggara yang berkantor di Jakarta, Henry Fournier, dan dr.
Meyer tiba di Port Moresby untuk melakukan perundingan dengan OPM.
Mereka terbang dari Jakarta melalui Cairns. Pihak GPK akan diwakili
Moses Weror.
10 Maret 1996. Setelah bertemu tim ICRC di Port Moresby selama 2 hari,
Ketua Dewan Revolusi OPM Moses Weror memerintahkan agar Kelly Kwalik -
Daniel Kogoya membebaskan sandera yang belum dilepas. Weror menyebut
keputusan itu sebagai Komunike 10 Maret. Alasan Weror, penyanderaan
yang telah berlangsung lama sudah mendapat perhatian internasional,
dan sudah ada permintaan dari Sekjen PBB Boutros-Boutros Ghali, Paus
Johanes Paulus II, Presiden Parlemen Uni Eropa, dan Pimpinan IRC di
Swiss. Selain itu, Weror merasa puas setelah dijanjikan bahwa ICRC
akan membuka perwakilan di Irian Jaya. Menurut Moses Weror, komunike
itu dibuat setelah mempertimbangkan saran dari tokoh-tokoh OPM Irian
Jaya di luar negeri.
14 Maret 1996. Di Port Moresby, PNG, Simon Allom, yang mengaku sebagai
juru bicara Kogoya dan Kwalik, menyatakan kepada surat kabar setempat,
Post Courier, mereka akan membunuh para sandera apabila tuntutannya
tidak dipenuhi. Simon Allom juga menyatakan pihaknya tidak tunduk pada
Moses Weror sebagai Ketua Dewan Revolusi OPM. Tuntutannya, agar 4
wakil GPK Jacob Prai (mantan Presiden Dewan OPM), John Otto Ondowame
(wakil OPM di Australia), Juru bicara pemerintah PNG William
Jonggonao, dan seorang komandan OPM Bonny Anaia, diikutkan dalam
perundingan pelepasan sandera. Bantahan Simon Allom ini menjadikan
upaya pembebasan sandera yang sudah berlangsung hampir tiga bulan
mentah kembali.
16 Maret 1996. GPK membebaskan sandera Abraham Wanggai. Dengan
demikian sandera yang belum dilepas ada 13 orang, 4 orang di antaranya
warga negara Inggris dan dua orang WN Belanda. (Tak begitu jelas
tanggal pembebasan dua sandera sebelumnya).
(Setelah 16 Maret ini berita tentang sandera sepi. Pada pertengahan
April berita dari Irian Jaya sempat mengejutkan masyarakat, tapi bukan
soal sandera. Melainkan, terjadi insiden yang menewaskan sejumlah
anggota Kopassus dan Kostrad, termasuk seorang letkol Kopassus. Baru
di minggu kedua Mei muncul berita seputar sandera lagi).
Memasuki pekan kedua Mei 1996. ICRC menyatakan mengundurkan diri dari
kegiatan mediasi antara Satgas ABRI dan Kelly-Kogoya. Alasannya belum
jelas. Pihak ICRC menyatakan, mereka terpaksa mundur karena tak bisa
lagi berada di posisi netral, tapi harus memihak. Sementara itu, salah
satu helikopter yang mengawal tim ICRC dikabarkan jatuh karena mesin
rusak. Semua yang berada di heli itu tewas, dan dimakamkan di taman
pahlawan.
14 Mei 1996. Kasum ABRI Letjen Soeyono menyatakan bahwa setelah empat
bulan ditempuh upaya persuasif tidak membawa hasil, termasuk melalui
ICRC, pihak ABRI telah memutuskan untuk membebaskan sandera dengan
operasi militer. "Sekarang ini tim sedang melakukan pengejaran GPK
untuk memburu anggota GPK," katanya.
15 Mei 1996. Drama penyanderaan 129 hari itu diakhiri. Dari 11 sandera yang masih bersama OPM, 9 sandera dibebaskan dengan selamat, sedangkan dua yang lain, keduanya warga negara Indonesia, masing-masing Navy Panekenan dan Yosias Mathias Lasamahu, meninggal dunia dibacok OPM. Di pihak OPM, menurut keterangan ABRI, 8 orang tewas, dua ditahan. Sedangkan operasi pembebasan ini, didukung 400 personil ABRI dari berbagai kesatuan, sebagian besar dari Kopassus; tak satu pun menjadi korban. Operasi pembebasan sandera kemudian dinyatakan selesai, diteruskan pemburuan OPM, dipimpin langsung oleh Pangdam Trikora Mayjen Dunidja.
(SWD, dari berbagai sumber)
Gegijzeld in Indonesie: Dokumenter TV Nasional Belanda Soal "Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma"
November 21, 2017
0
Tags:
Posting Komentar
0Komentar