Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik Surakarta (1912-1942) - III

0
Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik Surakarta (1912-1942)
(Karya Goerge D.Larson diterjemahkan oleh Dr.A.B.Lapian)

[Bagian Ketiga]

BAB III
KERATON DAN KEHIDUPAN POLITIK 1914-1922

Pada kemunduran SI ada tiga perkembangan utama dalam bidang politik di Surakarta. Yang pertama, pada tahun 1914 adalah pergeseran pimpinan Budi Utomo dari Yogya ke Solo. Pada awalnya keterlibatan keraton Solo berhati-hati, tapi pada akhir 1921 Susuhunan mengadakan kunungan ke daerah-daerah dan putranya memimpin Budi Utomo sehingga menyebabkan Belanda menjadi gelisah untuk turun tangan dan mengurangi keterlibatan keraton dalam politik. Pada kedua tahun 1916 dengan pengangkatan seorang politikus muda menjadi kepala baru di istana Mangkunegaran dan dengan cepat membuktikan sebagai administrator penguasa yang sanggup dan yang juga tetap memberi sumbangan penting kepada kebangkitan Jawa di bidang politik dan kebudayaan. Kesempatan yang tidak dimanfaatkan untuk mengadakan persesuaian paham antara kedua keraton di Solo ini akan membawa konsekuensi politik yamg amat penting di kemudian hari. Yang ketiga pada tahun 1918 ketika pecah suatu gerakan yang menentang kedua keraton tersebut, menentang tanah perkebunan dan gubernemen, yang mengawali dasawarsa berikut yang penuh dengan kerusuhan radikal.

Budi itomo – Perkembangannya hingga 1915
Budi Utomo secara resmi didirikian oleh sekelompok mahasiswa kedokteran di Batavia dalam bulan Mei 1908 dan merupakan organisasi nasionalis yang pertama di Hindia Belanda.
Pentingnya makna Budi Utomo dalam sejarah Indonesia adalah karena organisasi ini menandakan awal dari kebangkitan nasional di Nusantara. Yang belum mendapat penekanan sekarang yang cukup adalah bahwa kebangkitan “nasional” tersebut pada masa awalnya bukan bersifat Hindia atau Indonesia, melainkan Jawa. Yang juga memerlukan penekanan adalah bahwa gagasn yang paling menonjol di masa permulaan nasionalisme Jawa ini adalah restorasi kerajaan Jawa (bukan republik).

Sebagai sebuah organisasi yang politis sangat penting, yang mewakili suatu bangsa yang mengejar kemerdekaan terutama bagi orang Jawa, maka Budi Utomo tak boleh tidak mencantumkan kemerdekaan nasional sebagai program partainya.
Scherer menekankan bahwa Budi Utomo didirikan oleh para priyayi profesional yang non birokratis daripada oleh priyayi dari kalangan birokrasi tinggi, dan juga bahwa tindakan ini sendiri merupakan suatu langkah yang radikal. Tetapi dalam kenyataannya asal-usul Budi Utomo sama sekali tidak radikal. Dorongan yang kuat diberikan oleh seorang dokter Jawa pensiunan dari Yogyakarta, Dr. Wahidin Sudirohusodo, dan oleh Pangeran Notodirodjo.

Pada kongres Budi Utomo pertama diketuai oleh Dr. Wahidin diselenggarakan dalam bulan Oktober  1908 di Yogyakarta karena diadakan di Vorstenlanden dan karena Pangeran Notodirodjo dan keluarga Pakualam menunjukkan simpatinya. Diskusi kongres banyak memusatkan perhatian terhadap peranan pendidikan Barat untuk masyarakat Jawa.

Budi Utomo didirikan di Solo pada tahun 1908, dan juga pada tahun yang sama pada tahun 1909 cabang ini tidak meneruskan kegiatannya sebab tidak bisa setuju dengan policy yang ditetapkan oleh pengurus pusat. Ketika di bawah pimpinan dua ketua nasional yang pertama Budi Utomo membatasi dirinya pada soal sosial kultural dan menjadi relatif kurang dikenal karena munculnya organisasi lain terutama Sarekat Islamyang mendapat dukungan masa.

Penampilan Soerjosoeparto – Mangkunegoro VII
Soerjosoeparto adalah putra ketiga Mangkunegoro V (1881-1896), tetapi walaupun berkelahiran bangsawan tinggi masa awalnya ditandai dengan suatu perjuangan melawan kemalangan. Ambisi yang telah diidam-idamkannya adalh untuk mengunjungi Eropa dan belajar di negeri Belanda untuk mengisi kekurangan dalam pengetahuannya, terutama dalam bahasa Jawa kuna. Soerjosoeparto sangat mendambakan suatu proses demokratisasi di kepulauan Hindi dan dibawah pimpinannya nasionalisme menjadi masalh terpenting bagi Budi Utomo (yang pada waktu itu masih lebih berorientasi kepada kebudayaan), dan perwakilan rakyat menjadi isyu tunggal yang paling penting.

Mangkunegoro VII dengan nyata menjaid salah seorang tokoh yang lebih menonjol dalam sejarah jawa, seorang tokoh renaissance modern yang pandai menulis dan mengambil tindakan, seorang penguasa yang terkenal karena memajukan kesenian dan karena upayanya untuk membantu kebangkitan kembali bahasa dan kebudayaan Jawa. Dalam tujuannya untuk memperbaiki kemakmuran rakyatnya, penguasa baru ini bekerjasama dengan Belanda dalam arti luas, namun dalam hatinya ia tetap seorang nasionalis Jawa yang sejati.

Peranannya sebagai pemimpin juga amat diperkuat pada awal Juli 1918 ketika atas inisiatifnya pertemuan pertama dari suatu rangkaian kongres untuk memajukan perkembangan kebudayaan Jawa diselenggarakan selama tiga hari di kepatihan Mangkunegaran. Prangwedono menjadi ketua kehormatan sedangkan Susuhunan bertindak sebagai pelindung tetapi menolak untuk menghadirinya, suatu sikap yang mengandung arti. Akan tetapi Susuhunan pun memperkenankan pintu keratonnya dibuka untuk umum selama kongres berjalan untuk pertama kali dalam sejarahnya.

Selain Belanda yang tidak akan menyetujui seorang politikus aktif sebagai kepala Mangkunegaran, adalah sikap Susuhunan yang dengan serius membatasi aspirasi kepemimpinan Prangwedono. Sejak masa pemerintahannya Prangwedono sudah terlibat dalam sengketa dengan Susuhunan mengenai kedudukannya. Pada kunjungannya perdana ke keraton ia mengenakan seragam letnan kolonel untuk menghindari kewajiban menyembah kepada Susuhunan memperlihatkan kepada Prangwedono bahwa ia sadar permainan di balik pakaian seragamnya, dan menyindir dengan kata perpisahan. Permusuhan di pihak Susuhunan dan pengiringnya diperbesar lagi karena anggapan mereka bahwa Prangwedono adalah seorang anak manja gubernemen, dan tak ada kesempatan yang dilewati tanpa Susuhunan menunjukkan bahwa ialah yang menempati kedudukan tertinggi di Vorstenlanden. Untuk sementara ketegangan ini membara di balik serangkaian insiden yang kelihatannya sepele. Tetapi pertentangan kepribadian dan ambisi Pakubuwono dengan kehendaknya untuk menegaskan kedudukannya sebagai penguasa tradisional yang tinggi, dan Mangkunegoro dengan upayanya untuk menandaskan kemerdekaannya akhirnya akan bermuara dalam suatu perang saudara dalam bidang politik.

Budi Utomo dan Keraton, 1916-1922
Sesudah pengunduran diri Soerjosoeparto sebagai ketua umum Budi Utomo. Banyak orang keraton tidak senang dengan pengangkatan Djojonagoro sebab mereka lebih condong kepada Woerjaningrat. Secara resmi Susuhunan memang telah menganjurkan supaya yang diangkat adalah Woerjoningrat. Karena kepintarannya dan kebijaksanaannya diakui oleh Belanda yang takut kepadanya dan oleh sebab itu makin membencinya lagi dan melihatnya sebagai seorang yang licik di pinggir panggung, yang dengan hati-hati melindungi dirinya sendiri sambil mendalangi tindakan-tindakan dalam keraton.

Motif utama di balik keterlibatan keraton dalam politik selalu adalah kedongkolan terhadap campur tangan Belanda yang semakin besar dalam urusan Vorstenlanden. Tujuan pokok adalah otonomi politik, bukan hanya untuk Vorstenlanden tetapi juga untuk seluruh tanah Hindia.
Budi Utomo dalam waktu sementara waktu, berpegang pada politik yang relatif moderat di tengah-tengah suasana penuh harapan yang sedang memuncak. Bagi Woerjaningrat bahwa keadaan ini penuh frustasi karena ia menghadapi anggota-anggota yang umumnya konservatif, toleransi Belanda yang terbatas, dan kegagalan terus menerus di pihak Belanda untuk melaksanakan otonomi politik yang sesungguhnya.

Pada kongres Budi Utomo yang diselenggarakan dalam bulan Oktober 1920 di Yogya, Woerjaningrat mendesak keinginannya supaya lebih dekat dengan massa rakyat. Walaupun Budi Utomo telah melepaskan dirinya dari Konsentrasi Radikal dan menyatakan kesetiaannya kepada gubernemen, diumumkan pada kongres ini bahwa pendiriannya supaya tetap meneruskan perubahan politik dan menerima mosi yang menghimbau agar ada kontinuitas dalam kebijaksanaan pada Gubernur Jenderal dan tidak mengadakn perubahan dalam pedoman yang telah digariskan menuju perkembangan konstitusional bagi penduduk serta negeri.

Kemudian suatu perkembangan baru menggerakkan Budi Utomo dan keraton untuk mengambil tindakan yang lebih agresif. Dalam Keraton memperlihatkan tanda-tanda ketegasan yang baru. Narpowandodno, perhimpunan keluarga Susuhunan, mengadakan rapat pada tanggal 30 November 1921 untuk memprotes tindakan yang baru saja dilaksanakan gubernemen yang membuat pembedaan baru yang lebih tajam antara warga gubernemen dan warga Vorstenlanden.
Pada suatu rapat umum Budi Utomo tanggal 24-26 Desember 1921 di Solo, panggung telah disiapkan untuk peristiwa politik yang penting. Budi Utomo mempunyai tiga pokok dalam programnya : memajukan pendidikan, mempengaruhi suara dalam pemerintahan di tanah airnya sendiri, dan memajukan kepentingan ekonomi rakyat.

Karena adanya masalah di dalamnya di kepengurusan, berayunlah Budi Utomo ke sebelah kiri sudah tentu tidak luput dari perhatian penguasa Residen Harloff yang sangat gelisah karena perlawatan Susuhunan dan manfaat politik yang diambil oleh kelompok keraton waktu itu.
Paling sedikit untuk sementara waktu, berakhirlah usaha Budi Utomo yang patut dicegah dilihat dari sudut politik yang hendak memanfaatkan koneksinya dengan pangeran-pangeran Surakarta sebagai alat publisitas bagi aksi revolusionernya.

Tambahan Residen Harloff memberlakukan peraturan tertanggal 20 Mei 1920 yang membatasi hak untuk mengadakan pertemuam umum, peraturan yang sebelumnya tidak berlaku bagi Budi Utomo. Cabang Solo mulai tunduk kepada angin yang berkuasa dan pada suatu rapat pengurus tanggal 3 Maret pengurus pusat Budi Utomo dikecam karena telah mendukung para pemogok. Dengan campur tangan Belanda maka berakhirlah sudah masa cemerlang Budi Utomo dan mulailah suatu periode menyendiri.

Hubungan keraton dengan Budi Utomo, walaupun kurang menyolok, tidak pernah terputus, sebab Hadiwidjojo diganti sebagai ketua umum oleh Dr. Radjiman. Ia meneruskan jabatan ini selama kira-kira satu tahun, seperti yang dilaksanakannya pada tahun 1914, dalam peranan yang pada dasarnya sebagai caretaker (ketua sementara). Bagi kaum politikus keraton, acaranya kini adalah kewaspadaan.

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)