Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik Surakarta (1912-1942) - IV

0
Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik Surakarta (1912-1942)
(Karya Goerge D.Larson diterjemahkan oleh Dr.A.B.Lapian)

[Bagian Keempat]

BAB IV
RADIKALME DAN KOMUNISME DI SURAKARTA
1918-1927

Pertumbuhan Gerakan Radikal,1918-1920
Dalam sejarah Surakarta suatu tonggak penting adalah tahun 1918 ketika muncul suatu gerakan radikal menentang kedua istana,perusahaan perkebunan,dan gubernemen.Di samping masyarakat petani,gerakan ini juga menyusupi secara serius kalangan pegawai pribumi,polisi dan militer.Gerakan ini juga mendapat beberapa penganut dari kalangan aristokrasi dan kaum bangsawan.Walaupun gerakan ini akhirnya ditumpas oleh gubernemen,ia telah meninggalkan suatu warisan yang merintis jalan untuk gerakan komunis.

Alasan dasar yang dikemukakan oleh para pemimpin radikal adalah bahwa gerakan mereka timbul sebagai reaksi,agaknya hampir secara spontan terhadap kesulitan yang sangat besar di bidang ekonomi.Faktor-faktor utama yang sesungguhnya mencetuskan gerakan ini adalah : kehadiran beberapa pemimpin yang sangat bersemangat,terjadinya suatu bencana alam,kesalahan terhadap tindakan gubernemen menghadapi bencana ini,dan ketidakpuasan terhadap reorganisasi agraria yang dijalankan gubernemen.

Patut diingat bahwa pada masa awal gerakan Sarekat Islam,keraton menyediakan suatu tempat yang wajar bagi perasaan nasionalisme Jawa yang sedang bangkit,bukan hanya di kalangan masyarakat Surakarta,tetapi juga di daerah-daerah Jawa lainnya.Ketika pengaruh keraton menurun maka popularitas gerakan ini di Surakarta menurun pula,dan selama suatu periode yang singkat karisidenan ini mengalami masa yang relatif tenang.Ketenangan ini tiba-tiba berakhir pada awal tahun 1915 terjadi bencana alam yang secara tradisional di Jawa di anggap sebagai pertanda berakhirnya dinasti raja.

Pada bulan Maret 1915 muncul penyakit pes di ibukota,dekat stasiun kereta api Jebres yang mungkin berasal dari Jawa Timur dan meluas ke seluruh kota dan pedesaan.Penyakit ini mereda pada tahun 1916 namun muncul lagi pada tahun 1920.Khususnya di daerah Boyolali dan Klaten serta ibukota mencatat angka kematian yang paling tinggi.Untuk memberantas penyakit ini pemerintah Belanda telah mengambil beberapa tindakan,bekerjasama dengan raja-raja pribumi.

Pada Kongres NIP di Solo tanggal 21 Maret,diadakan pagelaran wayang yang berkisar tentang sjarah keluarga Raja-raja mataram dengan tujuan menjatuhkan citra Kraton.Kraton memberikan reaksi keras dengan protes tertulis yang dikirim oleh Pangeran Hadiwidjojo kepada asisten residen untuk melarang semua pertunjukan selanjutnya.Namun,Tjipto maju dalam kongres dan memberikan ringkasan dari bebrapa tema utama tentang pertunjukan yang dilarang.

Pada kongres ini berpidato pula Haji Misbach,diantaranya mengkambinghitamkan perusaaan perkebunan dalam hal kekuarangan makanan di kalangan orang miskin bulan Desember 1915,seluruh kota Surakarta secara sitematis diperbaiki blok demi blok dan diperluas ke sejumlah kota dan desa tetapi cara ini tidak maksimal untuk mecegah pecahnya epidemi yang kedua.Selain itu adanya masalah dengan pembayaran uang muka untuk perbaikan rumah oleh gubernemen sehingga memancing kemarahan rakyat.Di garis depan perlawanan ini ada dua anggota Insulinde cabang Solo yaitu Haji Mohamad Misbach sebagai aktivis utama dan Dr.Tjipto Mangoenkoesoemo yang dianggap sebagai otak di balik gerakan yang sedang timbul di Surakarta.

Dibukanya sekolah dokter oleh Belanda di berbagai daerah wilayah Jawa untuk pribumi menyebabkan banyak priyayi birokrasi tradisional secara terbuka memusuhi profesi yang baru ini (dokter,guru,ahli hukum). Para priyayi birokrasi tradisonal tidak suka dengan perluasan  priyayi sehingga meremehkan para priyayi baru dalam masyarakat secara mencolok “ priyayi rendahan “.Bentrokan antara priyayi lama dan priyayi baru ini menjadi pendorong bagi golongan terakhir untuk menuntut pembaharuan sosial.

Pada Oktober 1905,Tjipto lulus dari sekolah kedokteran di Batavia dengan gelar Indlandsch Arts maka sesuai persyaratan kontrak selama dia masih menjadi mahasiswa dengan bekerja dalam dinas gubernermen.Selama bertugas dia selalu berselisih dengan para bupati.Tahun 1912 Tjipto dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij dengan tujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Dalam tesisnya,Savitri Scherer memberikan gambaran yang kontroversional tentang gagasan politik Tjipto : “ Tjipto mau tak mau percaya bahwa perubahan sosial bisa dicapai melalui aksi konstitusional.Ia buta terhadap kenyataan bahwa konstitusi adalah konstitusi pemerintah kolonial.Ia naif dan lupa bahwa fungsi utama dari pemerintah kolonial adalah untuk melayani kepentingan penguasa kolonial serta bangsanya,bukan untuk bangsa yang dijajah yang eksistensinya hanyalah untuk melayani penguasa kolonial dengan baik sekali.Ironinya adalah bahwa kepercayaan yang dicurahkannya kepada Belanda,kepada konsep mereka,tidak timbal balik sebab tidak dibalas oleh Belanda “ ( 1975 : 105 )

Maret 1913 Indische Partij dilarang oleh Gubernemen dengan alasan bahwa organisasi ini adalah partai politik yang merupakan ancaman terhadap ketertiban umum.Biarpun sudah dilarang dan tiga pemimpin tertinggi ( Douwes Dekker,Tjipto dan Soewardi Soerjaningrat ) talah dibuang namun cita-cita Indische Partij belum berakhir.Banyak dari anggotanya bergabung dengan Insulinde mengambil alih kepemimpinannya dan membawanya ke adalam arus revolusioner.

Pada permulaan 1918 terjadi suatu insiden yang agak aneh di Surakarta yang menimbulkan amarah orang Muslimin yang saleh di seluruh Jawa dan menambah benih kegusaran kepada kaum radikal di Surakarta beserta sekutu mereka-kelompok Tjokroaminoto dalam Sarekat Islam.
Keputusan untuk mendirikan lingkar di luar ibukota ternyata merupakan saat penting dalam perkembangan gerakan radikal.Misbach dan kawan-kawannya mulai berhubungan dengan masyarakat pedesaan,menemukan sebuah sumber baru untuk mengadakan agitasi terhadap sistem agraria yang usang yang masih berlaku disana.Penduduk pedesaa Vorstenlanden umumnya masih sesak dalam peraturan-peraturan wajib yang mengekang dengan sanksi-sanksi pidana.

Periode antara kira-kira pertengahan 1918-1920 merupakan masa yang sulit dalam sektor ekonomi Hindia.Inflasi dalam biaya segala kebutuhan hidup sangat tinggi sedangkan gaji umumnya tidak berubah tarutama di daerah pedesaan Jawa muncul ketidakpuasan yang semakin bertambah.Namun demikian meskipun keadaan sosial dan ekonomi yang sudah sangat rawan di pedesaan Vorstenlanden sangat kontras sekali dengan keadaan di Yogyakarta.


[Sumber: Yudith Adhitya ]

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)