Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik Surakarta (1912-1942) - V

0
Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik Surakarta (1912-1942)
(Karya Goerge D.Larson diterjemahkan oleh Dr.A.B.Lapian)

[Bagian Kelima]

BAB V
KERATON BERGERAK MAJU 1927 – 1935

Budi Utomo dan Keraton, 1927 – 1935
Pada awal 1922 mendorong Belanda untuk ikut campur dan memaksakan pengunduran diri dari dua putra Susuhunan dari kedudukan pimpinannya dalam Budi Utomo. Undang-undang Pembaharuan Pemerintah yang disajikan pada bulan April 1922 sama sekali tidak sesuai dengan semangat komisi pembaharuan yang menghendaki partisipasi substansial dari penduduk Hindia dalam pemerintahnnya sendiri (Van Niel 1960:203-6).

Pada pertengahan 1923 Dr. Radjiman diganti sebagai ketua pengurus pusat oleh Woerjaningrat (Van der Marel, MvO 1924:11) yang meneruskan politik moderat tetapi juga meneruskan kritiknya terhadap gubernemen. Perpecahan dalam pimpinan Budi Utomo menjadi lebih nyata lagi pada tahun berikutnya, dan pada kongres yang diadakan tanggal 10-12 April 1925 di Solo, pengurus pusat yang umumnya terdiri dari pegawai Kasunanan, diganti oleh sebuah pengurus yang lebih radikal. R. Slamet, pegawai pada dinas pegadaian dan anggota dewan kota Semarang, menjadi ketua yang baru. Pengurus pusat baru ini yang terdiri dari komisaris dari Semarang, Buitenzorg (Bogor), Batavia, Pekalongan dan Yogyakarta, kini berpindah ke Semarang dan gerakan ini menjadi lebih aktif di bidang politik (Petrus Blumberger 1931: 34–6).

Pada kongres tanggal 2 – 4 April 1926yang diadakan di Solo politik non-kooperasi akhirnya diterima secara resmi. Tetapi hal ini ternyata merupakan suatu malapetaka, sebab para anggota yang kemudian mengundurkan diri dari dewan-dewan kota sesuai dengan politik tersebut, diganti oleh anggota dari luar Budi Utomo, jadi akibat sesungguhnya adalah bahwa Budi Utomo telah hilang suaranya dalam badan-badan yang berpengaruh ini. Ditambah lagi dengan keberatan dari banyak anggotanya yang menggantungkan hidupnya kepada pekerjaan gubernemen, menjurus ke sebuah rapat dalam bulan Juni 1926 di Yogya yang meninggalkan politik non-kooperasi dan tiga anggota militan dari pengurus pusat di Semarang mengundurkan diri. Pada kongres pada hari Natal tahun 1926 dipilih lagi sebuah pengurus pusat lain, dikepalai oleh RMAA Koesoemo Oetojo, mantan bupati Jepara dan anggota Volksraad. Pengurus pusat berpindah ke Yogya dan politik non-kooperasi ditolak dengan tegas (Petrus Blumberger 1931: 37, 277–83).

Sebagaimana halnya dengan kampanye keraton sebelumnya untuk Sarekat Islam dan Budi Utomo, Susuhunan sekali lagi memutuskan untuk mengadakan perlawatan yang mencolok ke luar Vorstenlanden disertai oleh sebuah iringan yang besar. Yang khas mencerminkan suasana baru untuk menegaskan kembali kepentingan keraton adalah sebuah pidato pada awal Februari 1926 dalam sebuah pertemuan Narpowandowo oleh RT Djaksodipoero, salah seorang tangan kanan Woerjaningrat dan menantu dari Pangeran Koesoemodiningrat, seorang kakak terkemuka dari Susuhunan. Pada tahun 1920-an ia memegang berbagai jabatan di keraton dan kepatihan dan menjabat sebagai ketua Budi Utomo cabang Solo dan ketua umum dari Jong Java.

Sekitar Juli 1926 sebuah Studie Club Indonesia, didasarkan atas badan yang didirikan oleh Dr. Soetomo di Surabaya dua tahun sebelumnya, didirikan di Solo.  Keanggotaannya tidak pernah banyak tetapi terdiri dari Woerjaningrat, Dr. Radjiman dan kaum politikus lainnya yang berpengaruh. Kegiatannya yang paling adalah publikasi yang bernama Timboel, sebuah penerbitan yang pro-puri, pro-nasionalis yang mulai terbit dua bulan sekali dalam bulan Januari 1927. Di bawah redaksi Dr. Radjiman dan RP Mr. Singgih dan dengan subsidi f 200 sebulan dari keraton (sebagian dari kas keraton dan sebagian dari kantong Pangeran Koesoemojoedo sendiri), Timboel melancarkan kampanye selama lebih dari enam tahun melawan politik Belanda di Vorstenlanden, terus menerus mendesak supaya diberi otonomi yang lebih besar.

Budi Utomo mendapat pengikut baru, terutama di kalangan elite yang berpendidikan yang pada umumnya setuju dengan jalan “non-ko”. Keanggotaan meningkat dari 1425 pada akhir 1928 menjadi 1795 pada akhir tahun 1930. Angka-angka ini mencerminkan kenyataan bahwa Budi Utomo pada hakekatnya tetap menjadi partai kaum elite. Partai ini tidak pernah berusaha untuk menjadi organisasi massa. Di Surakarta, meskipun ada kegiatan baru pada pihak pengurus pusat Budi Utomo, cabang-cabang lokal pada umumnya tetap tidak begitu aktif. Sekitar Juli 1929 cabang di ibukota sesungguhnya menurun dari jumlah 180 sebelumnya menjadi 100 anggota. Kongres Yogya tanggal 31 Desember 1927-1 Januari 1928 Budi Utomo juga memutuskan untuk bergabung dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan  Politik Kebangsaan Indonesia, atau yang disebut PPPKI, federasi dari semua partai politik Indonesia yang terkemuka.

Kampanye Untuk Otonomi Lokal  
Pada tahun 1918 keinginan untuk melancarkan pemungutan pajak lokal yang baru dari penduduk ibukota Surakarta dan Yogyakarta, khususnya untuk membiayai perluasan kekuatan polisi, mendorong gubernemen untuk sekali lagi mempertimbangkan pendirian dewan kota di kedua kota ini. Tetapi tidak lama kemudian keraton mulai menyadari bahwa gubernemen belum bersedia untuk memberikan otonomi sesungguhnya kepada Vorstenlanden melainkan hanya bermaksud untuk mengadakan serangkaian perubahan administratif yang mungkin akan atau tidak akan disertai pembentukan sebuah dewan penasehat lokal. Dalam sebuah rapat umum pada awal Mei 1928, Narpowandowo di bawah Hadiwidjojo yang belum berapa lama menggantikan Koesoemojoedo sebagai ketua, memutuskan untuk mengirim sebuah petisi kepada Gubernur Jenderal yang dilaksanakan dalam bulan Juli berikutnya, dan yang menuntut dengan singkat supaya gubernemen:
  1. Dalam perubahan yang sedang direncanakan itu akan mengambil tindakan politik maupun administratif (yaitu, memberi otonomi);
  2. Mempertimbangkan mosi Narpowandowo dari bulan April 1927;
  3. Menyerahkan sebanyak mungkin kekuasaan kepada pemerintah swapraja dan mengurangi kekuasaan Gubernur Surakarta menjadi bersifat “pengawasan” saja.

Gagasan untuk mengkonsolidasi Vorstenlanden dalam satu unit administratif tunggal sebenarnya sudah pernah dipikirkan gubernemen untuk pertama kalinya pada tahun 1909 dan sewaktu-waktu timbul tenggelam pada tahun-tahun berikutnya. Gagasan ini mendapat perhatian yang lebih besar pada tahun 1920-an tatkala serangkaian perubahan administratif di pulau Jawa menjurus ke pembentukan tiga provinsi: Jawa Barat (1926), Jawa Timur (1929),dan Jawa Tengah (1930).

Mangkunegaran Dalam Kepungan, 1931-1935
Pada tanggal 29 Juni 1930 Pakempalan Kawoela Ngajogjakarto atau PKN didirikan atas prakarsa Pangeran Soerjodiningrat, adik tiri terkemuka dari Sultan, dengan tujuan untuk mempererat hubungan antara masyarakat umum dengan keraton Yogya. Pangeran Soerjodiningrat bertindak sebagai ketua dan sebagian besar dari 26 anggota lainnya dari pengurus pusat juga merupakan anggota keluarga Sultan. Tujuan organisasi ini dikemukakan sebagai berikut: 1. Memperkuat Kerajaan Yogyakarta dan Keluarga Rajanya dalam pengertian bahwa pemeintahan yang mandiri dalam arti seluas-luasnya akan dicapai atas dasar demokrasi; 2. Meningkatkan keadaan sosial dan ekonomi dari penduduk bumiputra di Yogyakarta.

Reaksi istana Mangkunegaran terhadap serangan yang rupanya datang dari keraton dan yang makin lama makin menjadi serius, akhirnya diberikan pada bulan Juli 1933 dengan berdirinya Pakempalan Kawoelo Mangkoe Negaran atau PKMN. Dan sebagai penangkis tambahan terhadap PKS, legiun mulai mengadakan latihan besar-besaran di seluruh pedesaan. PKMN yang bertujuan untuk memajukan kemakmuran kerajaan Mangkunegaran maupun kesejahteraan dan rasa setiakawan di kalangan penduduknya, secara terbuka dipromosikan oleh Pangeran Mangkunegoro sendiri yang menghadiri perayaan-perayaan khususnya. Sesudah PKS menyelenggarakan kongresnya dalam bulan November 1933, PKMN melancarkan ofensif propaganda yang besar di pedesaan. Rapat-rapat diadakan dan cabang-cabang didirikan di seluruh kerajaan sehingga segera menjamur mencapai sekitar 30.000 anggota.

Dalam pertandingannya dengan keraton, istana Mangkunegaran jelas dipermalukan. Walaupun PKMN cepat meningkat hingga mencapai sekitar 30.000 anggota dan barangkali malahan lebih tinggi jumlahnya serta mendapat dukungan nyata dari pegawai Mangkunegaran, perkumpulan ini rupanya tak pernah bisa merebut antusiasme rakyat kecil dan ternyata bukan merupakan penghalang besar bagi PKS. Pada bulan-bulan awal 1935 dilaporkan bahwa anggota PKMN membelot dan bergabung dengan PKS. Pada akhir 1936 anggota PKMN menurun sampai hanya sejumlah nominal saja dan istana telah mundur dan bersandar kepada cabang pemudanya saja sebagai imbangan utamanya untuk menghadapi propaganda PKS. Rakyat kecil di Mangkunegaran mungkin melihat keraton dan bukan istana sebagai pusat politik mereka yang sah. Barangkali juga keraton dianggap berada di garis depan dari pergerakan kebangsaan, sedangkan istana mungkin dilihat terlampau dekat bersekutu dengan Belanda. Barangkali peranan Mangkunegoro sebagai penguasa atau administrator yang aktif – yang dikagumi oleh begitu banyak oleh pengamat Belanda – juga menyebabkan ia tidak berhasil mendekati rakyatnya karena mereka tidak menganggapnya sebagai raja sejati.


[Sumber: Yudith Adhitya ]
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)