Salah satu syarat untuk berakhirnya kekerasan Geger Pacinan 1740 adalah semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu komplek pecinan di luar batas Kota Batavia (kini menjadi Glodok). Hal ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa [1]. Namun pasca Geger Pacinan tersebut, menurut Leonard Blussé (sejarawan asal Belanda), akhirnya menimbulkan dikotomi antara etnis Tionghoa dan pribumi yang masih terasa hingga akhir abad ke-20 [2].
Seperti inilah rekaman gambar pasca Geger Pacinan:
De Kroekoet in Toko Tiga in Glodok te Batavia (1872) [KITLV]
Chinese wijk te Batavia met links Pasar Glodok (1872)
Straat in de Chinese wijk Glodok te Batavia (1872)
Erepoort in de Chinese Kamp te Batavia ter gelegenheid van de ambtsaanvaarding van koningin Wilhelmina op 6 september 1898 [KITLV]
Het Chinese kamp te Batavia (1890) [KITLV]
Het Chinese kamp te Batavia (1890) [KITLV]
Pasca Geger Pecinan 1740, orang-orang Tionghoa di Batavia mulai aktif berdagang lagi. Seperti yang dilukiskan Jhr Josias Cornelis dalam tiga gambar ilustrasi di bawah ini:
Een Chinees die stof ter verkoop aanbied Batavia (1881-1889) [Tropenmuseum ]
Een provisiekamer (goedang) Jakarta (1881-1889) [Tropenmuseum ]
Een openbare verkoop Jakarta (1881-1889) [Tropenmuseum ]
Selain menimbulkan kampung pecinan, Geger Pecinan 1740 juga melatari munculnya nama daerah baru di Batavia. Salah satu etimologi untuk nama Tanah Abang (yang berarti "tanah merah") ialah bahwa daerah itu dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana.
Seperti ini wajah Tanah Abang tempo doeloe:
Seperti ini wajah Tanah Abang tempo doeloe:
Tanah Abang in Batavia (1875) [Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde]
Rivier de Tanah Abang in Batavia met aangrenzende weg (1875)
[Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde]
Heuvel en straatweg Tanah Abang Batavia ( 1880) [Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde]
Het Europese kerkhof in Tanah Abang met het monument voor pastoor Van der Grinten
[Ilurstrasi Jhr Josias Cornelis koleksi Tropenmuseum]
Nederlandse en Indonesische man praten nabij poortgebouw van kerkhof in de wijk Tanah Abang te Jakarta, Indonesië (1947) [foto: Cas Oorthuys]
[ Sutrisno Budiharto -BERSAMBUNG ]
Menengok Tionghoa di Indonesia Tempo Doeloe (1)
Menengok Tionghoa di Indonesia Tempo Doeloe (2)
Nederlandse en Indonesische man praten nabij poortgebouw van kerkhof in de wijk Tanah Abang te Jakarta, Indonesië (1947) [foto: Cas Oorthuys]
[ Sutrisno Budiharto -BERSAMBUNG ]
Menengok Tionghoa di Indonesia Tempo Doeloe (1)
Menengok Tionghoa di Indonesia Tempo Doeloe (2)
[1] Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka. ISBN 978-979-96887-4-3.
[2] Blussé, Leonard (1981). "Batavia, 1619–1740: The Rise and Fall of a Chinese Colonial Town" [Batavia, 1619–1740: Muncul dan Runtuhnya Kota Kolonial Tionghoa]. Journal of Southeast Asian Studies (dalam bahasa Inggris) (Singapore: Cambridge University Press) 12 (1): 159–178.